comments 46

Memperkenalkan: Kisah Kawan di Ujung Sana

Malam belum mencapai pukul sepuluh, Gypsytoes sudah terlelap. Sejak beberapa hari ini asmanya kambuh. Kasihan, ia kerap terbangun malam-malam karena sesak nafas. Karenanya ia kurang tidur. Hari ini suasana hati kami sebenarnya sedang baik. Baik sekali malah. Namun, ia terlalu lelah untuk merayakan hal-hal hingga larut. Saya biarkan ia tergolek begitu di sofa, dengan musik yang diputar perlahan. Bunyi terompet terdengar seperti merayap-rayap sementara saya duduk menulis di sisinya.

Sore tadi kami mendapat kabar baik. “The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana”, buku pertama kami, sudah naik cetak. Kurang sebulan dari sekarang, ia sudah bisa ditemui di toko buku. Tentu kami antusias sekali, perjalanan menuliskannya hampir setahun terakhir ini akan mencapai babak barunya. Ini perjalanan yang menyenangkan yang juga mendekatkan kami.  Bersama-sama kami membaca tulisan lama, surat-surat lama, catatan percakapan, dan membincangkan masa-masa saat kami terpisah jarak. Masa saat ia bertualang di sudut-sudut Eropa dan saya di Indonesia. Buku ini menjadi catatan tentang bagaimana kami saling menulis untuk tetap terhubung satu sama lain. Bersama-sama kami mengenang kegembiraannya saat berada di negeri dongeng Praha atau kegusaran saya saat ada di titik paling timur Indonesia . Bersama-sama kami mengenang persahabatan yang ia temui pada diri Ana dan Kiran, serta bagaimana Arip Syaman bisa membuat hidup saya tidak betul-betul nelangsa di sini.

Hal lain yang juga menyenangkan dari proses menulis ini adalah bagaimana kami bersama-sama mencoba menggali momen perjalanan-perjalanan kami saat itu. Beberapa tulisan di blog kami angkat kembali karena adanya kejadian, renungan, atau momen yang dulu tidak kami tuliskan tetapi tercecer di korespondensi kami yang lain. Perjalanan ke Baduy tidak hanya berisi penghormatan saya akan bagaimana masyarakat Baduy menjaga tradisinya, tetapi menjadi pertanyaan tentang sampai sejauh mana menjaga tradisi leluhur tidak melewati batas yang patut, dan sampai sejauh mana kebebasan setiap individu memilih jalannya harus dihormati. Perjalanan ke Taipei untuk Gypsytoes tidak hanya berisi keterpukauannya akan sebuah tempat baru tetapi membawa kenangannya akan kehidupan warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Perjalanan di Bangalore tidak hanya menjadi tempat kami bertemu kembali setelah sekian lama, tetapi juga tempat kami bersinggungan dengan perempuan-perempuan pemberani Blank Noise yang berkampanye menentang pelecehan seksual di jalanan India.

Gypsytoes

Di antara bergelas-gelas teh dan kopi, kami berbincang, menulis, dan mengenang kembali sebuah sore di kedai di Cikini saat kami hendak berpisah dan bersepakat untuk saling menulis. Kami mengingat kembali momen-momen perjalanan sesudahnya hingga sebuah pagi di bandara Soekarno Hatta saat Gypsytoes pulang dengan koper yang lebih besar dari tubuhnya itu, saat kami berpelukan dan saling mengejek betapa sembap mata kami yang kekurangan tidur.

Namun demikian, terkadang keributan terjadi juga. Saat saya menulis tentang wajah pulau Bali yang murung sebelah, ia katakan tulisan saya terkesan berjarak. Berani betul dia. Kami bertengkar. Sampai pada suatu titik saat kalah berargumen, saya katakan padanya kata-kata semacam, “Tahu apa kau?” Gypsytoes, sahabat saya yang sedang tergolek itu, bukanlah jenis orang yang bisa kau tentang dengan membabi buta. Keributan berlanjut. Dan, seperti di pertengkaran lain, anak itu lebih sering ada di pihak yang benar. Saat akhirnya tulisan itu saya rombak dan kami berdua puas, kami berdamai. Tak lama saya telah bisa mencoel-coel pipinya saat ia mulai senyum-senyum jumawa.

Twosocks

Gypsyoes masih tergolek lemah. Terkadang ia terbatuk-batuk dan mencoba menangani sesak di dadanya. Di saat begini, ia akan senang jika punggungnya saya gosok sebentar. Barusan ia sempat terbangun dan batuk-batuk. Saya ajak ia masuk ke kamar. Sambil menata selimutnya saya katakan padanya,

“Istirahatlah, jangan kau bangun dan batuk-batuk macam begitu. Nanti mukamu kubekap dengan bantal.”

Di antara wajahnya yang lelah ia berbisik, “Coba saja kalau berani.”

Anak ini, semoga ia segera sembuh dan bisa ke sana kemari lagi. Saya tinggalkan ia sebentar untuk menuliskan bagian akhir dari catatan ini.

Sebulan dari sekarang, “Kisah Kawan di Ujung Sana” akan lahir. Apakah orang akan membacanya, kami tak tahu.  Namun, bagaimana pun, ia akan mengisi dengan manis salah satu sudut di rak buku kami yang agak miring itu. Akan banyak saat di mana Gypsytoes dan saya memandangi buku berwarna biru muda itu dengan sayang.

The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana

Baiklah, terakhir, kami hendak mengucap terima kasih kepada anda, pembaca blog The Dusty Sneakers yang kerap berkirim kabar dan kata-kata penyemangat. Salam hangat kami juga untuk kenalan-kenalan baru yang nanti membaca “Kisah Kawan di Ujung Sana”. Semoga teman-teman sekalian menikmati cerita-cerita kami seperti kami begitu menikmati menuliskannya.

Twosocks

46 Comments

    • Ah, thank you, Bama, for your encouragement. Semoga nanti ia bisa diterima dengan baik. Sekarang kami coba menenangkan kaki yang gemetaran ini dulu, haha

  1. Melysa

    Cant hardly wait to read your stories <3. Can I get your signatures too? *big grin*

  2. Kalian! Salah satu pasangan favoritku! :’D Aku akan langsung menyambar buku ini begitu melihatnya! 😀 Selamat, selamat merayakan! Dan semoga lekas pulih, Gyspytoes! 🙂

    • Aww terima kasih banyak ya Hanny 😀 Salam manis dari Gypsytoes, dia sedang menutupi kepalanya dengan handuk dan menghirup uap dari mangkuk yang berisi air panas dan essential oil. Konon ini lumayan membantu dia bernafas. Semoga dalam beberapa hari ia tidak rusak-rusak amat lagi hehe

  3. Sempat berpikir, kok ada nama-nama asing di buku itu, eh rupanya itu nama asli kalian ya?! hehehe…
    Congrats! Harus baca nih bukunya…

    • Hehe iya, itu nama kami. Terima kasih banyak ya untuk dukungannya. Ini membuat kami semangat di saat-saat berdebar seperti sekarang. Semoga nanti Rina menyukai bukunya

    • Halo Michel, penulis muda dengan bakat tak ketulungan kegemaran kami, kami juga ingin berterima kasih di laman ini walau juga sudah disampaikan melalui surel. Terima kasih ya Michel, kami akan mengenang dengan manis segala dukungan teknis dan moril mu untuk penulisan buku ini. Kami sering masih terharu sendiri kalau mengingat-ingat itu.

  4. Gak sabar bacanya dan ikut merasa deg2an. Kelihatannya sangat personal sekali kisahnya. Semoga bukunya mendapat karma baik di hati para pembaca 🙂

  5. woohoo! selamat yaaa, tetangga! tapi support groupnya belum dimulai juga nih :)))
    btw, ih keren, ada poster the catcher in the rye! 😀

  6. Entah kenapa saya selalu membayangkan proses menetasnya karya itu bagai sebuah perjuangan bunda melahirkan anaknya. Dihiasi penantian panjang, diiringi dengan peluh dan jerit kesakitan, diakhiri dengan senyum tak berkesudahan 🙂
    Selamat.. saya tak sabar membacanya
    eh, cepat sembuh buat Gypsytoes

    • Haha iya, kami pun berpikiran sama. Walau bingung juga mencari persamaan untuk tahap sekarang ini. Kalau melahirkan anak, puncak sakitnya adalah sesaat sebelum ia terlahir. Sementara untuk buku, saat sekarang ia sedang dicetak hingga ia betulan terbit, kami luntang-luntung saja sambil harap-harap cemas. Mungkin dengan analogi melahirkan, penulis buku itu bapaknya ya, sesaat sebelum sang anak lahir, bisanya harap-harap cemas saja 😀
      Salam hangat dari Gypsytoes, masalah asmanya kali ini agak berkepanjangan, tapi semoga ia bisa segera sehat seperti baru lagi.

    • Ah senang betul rasanya tulisan ini bikin Riri tertarik membaca bukunya. Bikin kami jadi tambah semangat. Terima kasih ya. Eh omong-omong, ransel darimu sekarang sudah nangkring di tempat kami haha. Semoga ia bisa kami rawat dengan baik dan sering dibawa putar-putar 😀

    • Hola Firsta!! Terima kasih ya. Iya, kemarin kami musti pergi lebih awal jadi nggak bisa ngobrol banyak. Semoga weekend besok kamu masih ada di Jakarta dan beredar di pasar Santa, jadi kita bisa ngobrol lebih lama sambil minum kopi yang enak betul itu. Sampai ketemu lagi, Firsta!

  7. Anonymous

    Merinding disko… Melankolis sekalee, Ted 😉 Semoga Gypsytoes-mu cepat sembuh… #hugs from jogjah#

  8. Pingback: Pasar Santa, Kala Senja Mempertemukan Kita | My Passion

  9. Pingback: Maesy Ang & Teddy Kusuma: On Journeys, Distance, and Friendship. | Beradadisini

  10. Pingback: Behind the Pages | The Dusty Sneakers

  11. Pingback: Pasar Santa, Kala Senja Mempertemukan Kita | Blog

  12. Rifqy Faiza Rahman

    Selamat, karya yang berbuah penuh makna. Doakan agar saya bisa mengisi sudut-sudut rak buku di rumah yang masih kosong dan belepotan debu. Membeli buku pun saya masih harus menabung.

    salam takzim, dan lekas sembuh buat kakak 🙂

  13. Pingback: Makna Integritas Natal bagi Seorang Pejalan | My Passion

Leave a reply to Firsta | Discover Your Indonesia Cancel reply