Malam belum mencapai pukul sepuluh, Gypsytoes sudah terlelap. Sejak beberapa hari ini asmanya kambuh. Kasihan, ia kerap terbangun malam-malam karena sesak nafas. Karenanya ia kurang tidur. Hari ini suasana hati kami sebenarnya sedang baik. Baik sekali malah. Namun, ia terlalu lelah untuk merayakan hal-hal hingga larut. Saya biarkan ia tergolek begitu di sofa, dengan musik yang diputar perlahan. Bunyi terompet terdengar seperti merayap-rayap sementara saya duduk menulis di sisinya.
Sore tadi kami mendapat kabar baik. “The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana”, buku pertama kami, sudah naik cetak. Kurang sebulan dari sekarang, ia sudah bisa ditemui di toko buku. Tentu kami antusias sekali, perjalanan menuliskannya hampir setahun terakhir ini akan mencapai babak barunya. Ini perjalanan yang menyenangkan yang juga mendekatkan kami. Bersama-sama kami membaca tulisan lama, surat-surat lama, catatan percakapan, dan membincangkan masa-masa saat kami terpisah jarak. Masa saat ia bertualang di sudut-sudut Eropa dan saya di Indonesia. Buku ini menjadi catatan tentang bagaimana kami saling menulis untuk tetap terhubung satu sama lain. Bersama-sama kami mengenang kegembiraannya saat berada di negeri dongeng Praha atau kegusaran saya saat ada di titik paling timur Indonesia . Bersama-sama kami mengenang persahabatan yang ia temui pada diri Ana dan Kiran, serta bagaimana Arip Syaman bisa membuat hidup saya tidak betul-betul nelangsa di sini.
Hal lain yang juga menyenangkan dari proses menulis ini adalah bagaimana kami bersama-sama mencoba menggali momen perjalanan-perjalanan kami saat itu. Beberapa tulisan di blog kami angkat kembali karena adanya kejadian, renungan, atau momen yang dulu tidak kami tuliskan tetapi tercecer di korespondensi kami yang lain. Perjalanan ke Baduy tidak hanya berisi penghormatan saya akan bagaimana masyarakat Baduy menjaga tradisinya, tetapi menjadi pertanyaan tentang sampai sejauh mana menjaga tradisi leluhur tidak melewati batas yang patut, dan sampai sejauh mana kebebasan setiap individu memilih jalannya harus dihormati. Perjalanan ke Taipei untuk Gypsytoes tidak hanya berisi keterpukauannya akan sebuah tempat baru tetapi membawa kenangannya akan kehidupan warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Perjalanan di Bangalore tidak hanya menjadi tempat kami bertemu kembali setelah sekian lama, tetapi juga tempat kami bersinggungan dengan perempuan-perempuan pemberani Blank Noise yang berkampanye menentang pelecehan seksual di jalanan India.
Di antara bergelas-gelas teh dan kopi, kami berbincang, menulis, dan mengenang kembali sebuah sore di kedai di Cikini saat kami hendak berpisah dan bersepakat untuk saling menulis. Kami mengingat kembali momen-momen perjalanan sesudahnya hingga sebuah pagi di bandara Soekarno Hatta saat Gypsytoes pulang dengan koper yang lebih besar dari tubuhnya itu, saat kami berpelukan dan saling mengejek betapa sembap mata kami yang kekurangan tidur.
Namun demikian, terkadang keributan terjadi juga. Saat saya menulis tentang wajah pulau Bali yang murung sebelah, ia katakan tulisan saya terkesan berjarak. Berani betul dia. Kami bertengkar. Sampai pada suatu titik saat kalah berargumen, saya katakan padanya kata-kata semacam, “Tahu apa kau?” Gypsytoes, sahabat saya yang sedang tergolek itu, bukanlah jenis orang yang bisa kau tentang dengan membabi buta. Keributan berlanjut. Dan, seperti di pertengkaran lain, anak itu lebih sering ada di pihak yang benar. Saat akhirnya tulisan itu saya rombak dan kami berdua puas, kami berdamai. Tak lama saya telah bisa mencoel-coel pipinya saat ia mulai senyum-senyum jumawa.
Gypsyoes masih tergolek lemah. Terkadang ia terbatuk-batuk dan mencoba menangani sesak di dadanya. Di saat begini, ia akan senang jika punggungnya saya gosok sebentar. Barusan ia sempat terbangun dan batuk-batuk. Saya ajak ia masuk ke kamar. Sambil menata selimutnya saya katakan padanya,
“Istirahatlah, jangan kau bangun dan batuk-batuk macam begitu. Nanti mukamu kubekap dengan bantal.”
Di antara wajahnya yang lelah ia berbisik, “Coba saja kalau berani.”
Anak ini, semoga ia segera sembuh dan bisa ke sana kemari lagi. Saya tinggalkan ia sebentar untuk menuliskan bagian akhir dari catatan ini.
Sebulan dari sekarang, “Kisah Kawan di Ujung Sana” akan lahir. Apakah orang akan membacanya, kami tak tahu. Namun, bagaimana pun, ia akan mengisi dengan manis salah satu sudut di rak buku kami yang agak miring itu. Akan banyak saat di mana Gypsytoes dan saya memandangi buku berwarna biru muda itu dengan sayang.
Baiklah, terakhir, kami hendak mengucap terima kasih kepada anda, pembaca blog The Dusty Sneakers yang kerap berkirim kabar dan kata-kata penyemangat. Salam hangat kami juga untuk kenalan-kenalan baru yang nanti membaca “Kisah Kawan di Ujung Sana”. Semoga teman-teman sekalian menikmati cerita-cerita kami seperti kami begitu menikmati menuliskannya.
Twosocks
Waaah pengen baca..jadi bulan October atau September? Gimana caranya yah dapet kopi buku?
Halo Andine! Mungkin di pertengahan September. Sip, nanti satu edisi buku akan kami simpan untuk saat Andine pulang ke Indonesia. Asyik! Jadi kita bisa sekalian ketemu dan omong-omong. Apakah ada rencana dalam waktu dekat?
😍😍 pengennya sih pulang saat liburan natal tapi entah gimana.
Jakarta selalu lebih indah di bulan Desember, semoga jadi ya 🙂
Keren! Congrats to both of u! 😘
Hola D! Terima kasih ya 😀
Woooohoo! Congratulations guys! Belum baca udah kebayang betapa seru bukunya.
Ah, thank you, Bama, for your encouragement. Semoga nanti ia bisa diterima dengan baik. Sekarang kami coba menenangkan kaki yang gemetaran ini dulu, haha
Cant hardly wait to read your stories <3. Can I get your signatures too? *big grin*
Wajah kami jadi memerah membaca ini. Terima kasih ya Melysa, untuk kata-kata penyemangatnya 🙂
I do mean it. Please sign the books for us. Oh ya, cepat sembuh ya Gypsytoes 🙂
And we do mean it, we are blushing hehe and we will gladly sign it for you. Oh, Gypsytoes sends her love 🙂
Kalian! Salah satu pasangan favoritku! :’D Aku akan langsung menyambar buku ini begitu melihatnya! 😀 Selamat, selamat merayakan! Dan semoga lekas pulih, Gyspytoes! 🙂
Aww terima kasih banyak ya Hanny 😀 Salam manis dari Gypsytoes, dia sedang menutupi kepalanya dengan handuk dan menghirup uap dari mangkuk yang berisi air panas dan essential oil. Konon ini lumayan membantu dia bernafas. Semoga dalam beberapa hari ia tidak rusak-rusak amat lagi hehe
Sempat berpikir, kok ada nama-nama asing di buku itu, eh rupanya itu nama asli kalian ya?! hehehe…
Congrats! Harus baca nih bukunya…
Hehe iya, itu nama kami. Terima kasih banyak ya untuk dukungannya. Ini membuat kami semangat di saat-saat berdebar seperti sekarang. Semoga nanti Rina menyukai bukunya
Ingin ikut berbahagia di laman ini meski sudah jauh-jauh hari terima kabar melalui surel 🙂
CONGRATULATIONS TO MY FAVORITE COUPLE ON THEIR DEBUT!
Halo Michel, penulis muda dengan bakat tak ketulungan kegemaran kami, kami juga ingin berterima kasih di laman ini walau juga sudah disampaikan melalui surel. Terima kasih ya Michel, kami akan mengenang dengan manis segala dukungan teknis dan moril mu untuk penulisan buku ini. Kami sering masih terharu sendiri kalau mengingat-ingat itu.
Gak sabar bacanya dan ikut merasa deg2an. Kelihatannya sangat personal sekali kisahnya. Semoga bukunya mendapat karma baik di hati para pembaca 🙂
Amiiinnnnn. Terima kasih ya Adie atas doanya. Oh, dan juga terimakasih ditemani deg-degan hehe
woohoo! selamat yaaa, tetangga! tapi support groupnya belum dimulai juga nih :)))
btw, ih keren, ada poster the catcher in the rye! 😀
woohoooo! Terima kasih,tetangga! Iya nih, support group ini musti segera dimulai. Nanti kita omong2 ya! Soal poster, hehe iya, sekarang dia jadi salah satu kesayangan kami di rumah. Btw, kita akan punya beberapa yg lain untuk ditaruh di POST! wihii
Catcher In The Rye juga???
Juga!!
Woah congrats two socks! Semoga bukunya cepet dijual online ya! 🙂
Terima kasih Angga! Siap, nanti saat buku terbit kami akan berkabar 🙂
kyaaaa…pasti beliiii….
terima kasih sudah membagi cerita-cerita kalian 😀
Hola Fika! Asyik! Terima kasih ya semangatnya 😀
Entah kenapa saya selalu membayangkan proses menetasnya karya itu bagai sebuah perjuangan bunda melahirkan anaknya. Dihiasi penantian panjang, diiringi dengan peluh dan jerit kesakitan, diakhiri dengan senyum tak berkesudahan 🙂
Selamat.. saya tak sabar membacanya
eh, cepat sembuh buat Gypsytoes
Haha iya, kami pun berpikiran sama. Walau bingung juga mencari persamaan untuk tahap sekarang ini. Kalau melahirkan anak, puncak sakitnya adalah sesaat sebelum ia terlahir. Sementara untuk buku, saat sekarang ia sedang dicetak hingga ia betulan terbit, kami luntang-luntung saja sambil harap-harap cemas. Mungkin dengan analogi melahirkan, penulis buku itu bapaknya ya, sesaat sebelum sang anak lahir, bisanya harap-harap cemas saja 😀
Salam hangat dari Gypsytoes, masalah asmanya kali ini agak berkepanjangan, tapi semoga ia bisa segera sehat seperti baru lagi.
Ya ampun manisnyaa. Gak sabar pengen baca. Baca ini aja terharu. Congrats on the book launch! Dan cepet pulih, Maesy!
Ah senang betul rasanya tulisan ini bikin Riri tertarik membaca bukunya. Bikin kami jadi tambah semangat. Terima kasih ya. Eh omong-omong, ransel darimu sekarang sudah nangkring di tempat kami haha. Semoga ia bisa kami rawat dengan baik dan sering dibawa putar-putar 😀
Hi Teddy dan Maesy,
Selamat ya untuk bukunya yang sudah mulai naik cetak 🙂 Btw, senang sekali ketemu lagi setelah (lumayan) lama ga ketemu. Sayangnya ga sempet banyak ngobrol.
Hola Firsta!! Terima kasih ya. Iya, kemarin kami musti pergi lebih awal jadi nggak bisa ngobrol banyak. Semoga weekend besok kamu masih ada di Jakarta dan beredar di pasar Santa, jadi kita bisa ngobrol lebih lama sambil minum kopi yang enak betul itu. Sampai ketemu lagi, Firsta!
Turut berbahagia atas kelahiran bayi kalian 🙂
Ah Fe, terima kasih ya. Kami pun sumringah selalu setiap kali mengingatnya 🙂
Merinding disko… Melankolis sekalee, Ted 😉 Semoga Gypsytoes-mu cepat sembuh… #hugs from jogjah#
Asyiknya berdisko, haha! Terima kasih dan salam hangat untuk yang di Yogya 🙂
Pingback: Pasar Santa, Kala Senja Mempertemukan Kita | My Passion
Woowww … Udah lama ga berkunjung, tampilan blog makin menawan, plus lahir sebuah buku 😉
Congrats, guys! 🙂
Hola Tim! Selamat datang kembali, hehe. Terima kasih ya, dan semoga nanti juga menyukai si buku biru saat akhirnya membacanya 🙂
Pingback: Maesy Ang & Teddy Kusuma: On Journeys, Distance, and Friendship. | Beradadisini
Pingback: Behind the Pages | The Dusty Sneakers
Pingback: Pasar Santa, Kala Senja Mempertemukan Kita | Blog
Selamat, karya yang berbuah penuh makna. Doakan agar saya bisa mengisi sudut-sudut rak buku di rumah yang masih kosong dan belepotan debu. Membeli buku pun saya masih harus menabung.
salam takzim, dan lekas sembuh buat kakak 🙂
Pingback: Makna Integritas Natal bagi Seorang Pejalan | My Passion