comments 7

Khawatir banget ya, kemarin?

Saat terjaga pagi tadi, saya tak mendapati Maesy di kamar. Samar-samar ingatan muncul, Maesy berkata ia akan berjalan kaki di luar. Sepertinya saya sempat bilang agar ia tak bergerak terlalu banyak dan ia mengusap kepala saya, lantas berlalu, dan saya tak ingat apa-apa lagi. Saya membuka tirai, mencuci muka dan bergerak ke kulkas. Ada teko berisi sisa kopi kemarin di sana. Saya menuangnya ke gelas keramik, mencampurnya dengan susu kedelai dan mencemplungkan es batu. Sesudah meminumnya setengah, saya menuang sisa kopi hingga habis. Saat pulang nanti Maesy tentu senang jika menjumpai sisa kopi dingin, tapi saya sedang ingin menjahilinya. Sesudah delapan belas tahun, saya masih senang melihatnya pura-pura ngomel.

Dengan bekal es kopi susu, juga buku semalam yang masih tergeletak di atas meja makan, saya duduk di balkon, di pagi saat matahari belum seberapa tinggi, lalu mulai membaca. Bill Hayes menulis tentang hari-harinya di awal pandemi tahun lalu. Ia menulis tentang jalanan New York yang dulu dipenuhi kendaraan, yang kini berisi sepasang orang tua berjalan bergandengan di tengah jalan. Ia mengingat deru suara kendaraan yang kini berganti derak roda skateboard yang masih terdengar jelas dari ujung blok. Sekilas ini pemandangan yang indah, tapi saat ia menyadari dirinya, juga orang-orang yang ditemuinya mengenakan masker, ia tersadar bahwa ini seperti awal dari sesuatu yang buruk. Oh, tahukah ia saat itu bahwa itu adalah permulaan dari episode yang sangat, sangat, buruk?

Kini, lebih dari setahun sesudahnya, kita mendengar kabar sedih setiap hari, yang disusul kabar sedih lain, bahkan sebelum yang terdahulu mampu dicerna. Beberapa orang lebih beruntung merasakan kecemasan di rumah saja, yang lain harus meneguhkan diri bertaruh setiap hari di jalan. Ada yang mendengar berita sedih dari rumah, atau mengamati dari gawai. Banyak yang lain merasakannya langsung di antara antrian tabung oksigen, rumah yang sesak, bangsal IGD, parkiran rumah sakit, saat orang terdekatnya, atau dirinya, berusaha menggapai sisa-sisa udara dunia. Dan di satu tempat di langit-langit ruangan, kematian seperti bergelayut-gelayut. Inilah hari-hari ketika ketimpangan semakin menampilkan wajahnya, dan mereka yang berkuasa semakin menunjukkan wujud aslinya. Hari-hari ketika mereka yang di pinggir harus memendam rasa marah, sedih, tak berdaya sendiri saja, dan tahu bahwa jika pun episode ini bisa dilalui, ia akan meninggalkan luka yang mendalam.

Lewat dua minggu yang lalu Maesy mendapati dirinya positif. Saya masih ingat ia membaca hasil tes saat duduk di sisi tempat tidur yang menghadap jendela, sementara saya berdiri di dekat pintu. Waktu itu hati rasanya mencelos dan saya ingin meraihnya, dan memeluknya, tapi saya tahu itu tak bisa dilakukan. Maesy menangkap kegundahan ini dan ia berkata hal-hal akan baik-baik saja. Saya teringat adegan sebuah cerita saat si tokoh berkata pada maut yang menghampirinya bahwa ini belum saatnya. Dari dua ujung ruangan kami menekan kecemasan masing-masing dan berbicara bagaimana hari-hari sesudah itu akan ditangani — tentang pengaturan tidur, makan, kontrol dokter, cuci mencuci piring, kebutuhan vitamin, cadangan oksigen, kemungkinan-kemungkinan jika saya juga positif, juga rencana-rencana jika hal-hal tidak membaik. Beberapa minggu sebelumnya, saat menjaga Mamanya yang juga positif, ia sudah tahu segala yang harus disiapkan. Tapi tetap saja, ia punya asma, dan situasi di luar sedang sangat runyam dan kami tahu kami akan kesulitan jika Maesy harus dirawat di rumah sakit.

Dan hari berjalan, satu hari, dua hari, ada masa ketika nafasnya sesak, dan ia letih sepanjang hari. Enam hari, tujuh hari, ada malam ketika ia terduduk di lantai karena jantungnya berdetak jauh lebih kencang, dan ia nyaris menangis. Delapan hari, sepuluh hari, terkadang hal-hal berjalan santai dan ia duduk berjemur di balkon dan saya bercerita tentang suatu hal dengan suara lebih kencang dari meja makan, dan ia tertawa walau tak bisa terlalu kencang. Dua belas hari, dua minggu, ia masih letih tapi ia di sana, duduk di sofa dekat balkon, memasang senyum.

Lima hari lalu kami menonton film berdua di sofa, untuk pertama kalinya berdekatan sejak hari di kamar itu. Maesy benar, walau tak selalu mulus, hal-hal berjalan baik untuknya. Hari-hari dengan kecemasan itu kini ada di belakang, walau tak sepenuhnya, dan kini kami di sini, duduk di sofa dengan kaki berselonjor dan ditutupi selimut yang sama. Di tengah-tengah film Maesy mengangkat wajahnya dan mengamati wajah saya di ruang tengah yang hanya diterangi cahaya dari TV.

“Khawatir banget ya, kemarin?” tanyanya. Cahaya dari TV berpendar di wajahnya, terkadang agak biru, lalu jingga.

Biasa saja, kata saya padanya, tapi ia tahu itu ngibul. Kasihaaan, katanya sambil menepuk-nepuk pipi saya seperti berbicara dengan anak kecil. Kembali ia menyenderkan kepalanya, tangannya menyelip ke balik kaos saya, dan kami berdua menatap ke TV lagi. Saya tak betul-betul mengikuti pertunjukan di TV. Beberapa ingatan mampir di kepala, gambar-gambar yang akan terus diingat – ada pemandangan ketika Maesy tertidur kelelahan di sofa, dan saya memandanginya dari dapur, merasa lega melihat perutnya bergerak-gerak menunjukkan nafas yang teratur, juga saat ia terlihat ringkih ketika saya harus membawanya ke dokter, atau malam-malam saat punggungnya perlu digosok minyak agar nafasnya lebih lega, atau sore ketika ia harus mencereweti saya tentang bagaimana cara membuat sup dengan benar. Kini semua itu ada di belakang, dan setiap kali kesadaran itu muncul, saya meremas lengan atasnya, merasakannya benar-benar ada di sini, baik-baik saja.

Saya membaca catatan-catatan Bill Hayes agak lama, hingga matahari meninggi. Menjelang akhir buku saya disadarkan ketukan pintu dengan tempo yang familiar. Di balik pintu Maesy berdiri, tubuhnya berkeringat dan senyumnya lebar sekali. Ia bergerak ke kulkas dan bercerita tentang beberapa ribu langkahnya hari ini. Saya senang ini adalah hari ketika ia cukup kuat berjalan jauh, di hari lain ia masih kelelahan di tengah hari dan tertidur hingga sore. Saat ia mendapati es kopi sudah habis, ia tahu saya mau mengerjainya dan ia bilang saya gagal total. Sesudah jalan kaki tadi, ia mampir ke minimarket dan membeli es milo, yang ia minum sambil duduk tenang-tenang di tangga dekat salah satu pintu di GOR Sumantri. Itu salah satu tempat duduk favorit kami, satu dari sedikit tempat di Jakarta yang sepi, dengan pohon yang rindang, kodok yang melompat di rerumputan, dan suara burung yang sering terdengar.

Maesy menuangkan air dingin ke gelas lalu berjalan ke balkon. Beberapa saat kemudian, sesudah menyeduh kopi panas, saya menyusulnya. Saya ingat bulan Mei setahun yang lalu, saat juga duduk di sini, saya menulis tentang masa awal dari periode yang tak masuk akal ini. Mungkin seperti Bill Hayes, saya pun tak membayangkan pandemi ini akan menghantam kemanusiaan sehebat ini, dan betapa kerunyaman di luar sana masih terus berlanjut. Seberapa pun saya mensyukuri satu kecemasan yang baru saja berlalu, perasaan ironis akan terus menggantungi. Betapa kami bisa melaluinya dengan lebih ringan karena keleluasaan lebih yang kami miliki di dunia yang begitu timpang ini. Begitu banyak orang dengan kesulitan yang berlipat, kesedihan yang tak bisa kami bayangkan, dan dengan keteguhan hati yang tak mungkin kami miliki. Saya memandang Maesy yang duduk di samping saya, dengan wajah berkeringat, menikmati air dinginnya. Ia masih mudah letih, dan nafasnya gampang sesak, tapi kami duduk di sini, di hari ketika satu kecemasan berlalu. Di bawah sana, di jalanan Kuningan, terlihat orang-orang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, atau duduk-duduk membiarkan tubuhnya diterpa sinar matahari. Kami duduk diam-diam saja, menikmati hari-hari yang masih bisa dinikmati, di antara episode-episode kesedihan yang masih jauh dari selesai ini.

7 Comments

  1. I was blogwalking around and accidentally came across this blog. Semoga saat ini Mbak Maesy udah fully recovered yaa. I don’t know both of you but this writing makes me want to hear more stories about you, jadi aku turut mendoakan supaya Mbak dan Masnya senantiasa sehat dan bahagia supaya bisa terus membagikan ceritanya. Reading this reminds me of one of those film festival kind of movies that may not have action-packed plot or even particular world-changing problem, but you’re just enchanted in its way of delivering the story that you’re curious about what will happen to those characters after the movie ends.

    Anyhow, I guess I’m just rambling, which is my way to say how cool this blog is. Sehat-sehat selalu, dan salam kenal!

    • Salam kenal Adnabilah. Aduh, terima kasih untuk ucapannya, senang sekali tahu kamu suka dengan tulisan ini. Sekarang Maesy sudah sehat kembali, terima kasih ya untuk doanya. Sehat selalu juga untukmu. Salam hangat dari kami berdua 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s