Open road, you, and music. Kombinasi yang selalulah menarik. Beberapa lagu membuat kita mengemudi sambil menghentakkan kepala kesetanan dan berteriak ‘ and i’m freee, freee fallin..!! atau beberapa jazz lawas membuat pikiran berlari liar entah kemana saat kita meluncur menembus malam. Dalam perjalanan delapan jam yang berhujan dari Makasar ke Palopo, diantara August’s Rhapsody gubahan Mark Mancina yang mendayu, saya teringat betapa musik selalu memberi warna yang indah sekali di setiap perjalanan. Saat memandang keluar jendela, ia memberi cerita dari wajah-wajah yang kita lewati atau membawa kembali ingatan akan kisah-kisah lama. Mendengarkannya kembali lama sesudahnya mengingatkan kembali akan bau air laut yang kita lalui, obrolan kotor yang dibagi dengan kawan perjalanan, atau pertemanan yang terjalin ditengahnya.
Lagu These Street dari Paolo Nutini selalu mengingatkan saya pada road trip Pangandaran bersama Ginting dan Arip sekitar tiga tahun yang lalu. Hampir di sepanjang jalan kami mendengarnya. Berulang-ulang. Diantara dengkur Arip, diantara bualan Ginting, di antara lamunan-lamunan. Saat tertidur, saat terbangun, bahkan saat pipis di pinggir jalan. Hebatnya, saat itu adalah pertama kalinya saya mendengar nama penulis lagu muda Skotlandia ini. Jika sekarang saya mendengarkannya kembali, akan terbayang nikmatnya kopi susu di pagi hari setelah berjalan sepanjang malam. Atau perasaan yang muncul saat memandang wajah kawan dekat yang tertidur dengan pipi menempel di jendela kaca di jalanan sepi yang terik.
Berbicara mengenai jalanan yang terik, lagu lama Ebiet G. Ade, Berita Pada Kawan, akan membawa ingatan saya akan perjalanan-perjalanan sepanjang pesisir timur Aceh pasca Tsunami. Mulai dari Lhokseumawe, Bireuen, Pidie, hingga Banda Aceh. Di periode 2006-2007 saya kerap melintasi jalur ini. Dulu lagu yang luar biasa ini selalu membuat saya termenung-menung. Memperhatikan daerah yang menggeliat membangun dirinya setelah luluh lantak diterjang bencana. Melihat wajah-wajah yang mengatasi pedih dari konflik yang berkepanjangan. Sungguh lagu ini memiliki daya magisnya. Ia membuat jalanan yang dilewati serta wajah-wajah yang dilintasi bertutur lebih banyak. Syairnya yang pedih dan nadanya yang menyayat membuat saya percaya bahwa pada momen yang tepat, lagu ini akan membuat banyak orang menangis haru.
Banyak juga lagu yang mengingatkan saya pada laut. Lagu-lagu dari Jack Johnson misalnya. Nuansa santai dan laid back yang diciptakannya selalu mengingatkan saya pada air laut yang berbuih dibelah perahu atau perasaan bebas saat meminum air kelapa di pinggir laut dengan kaki telanjang penuh pasir. Saya teringat betapa saya betah berlama-lama duduk memandangi air laut dari pinggir perahu dalam sebuah perjalanan di Ujung Kulon. Lagu-lagu seperti Good people atau We’re gonna be friends benar-benar membuat saya merasa lepas, tenang, sekaligus impulsif. Beberapa saat kemudian, ketika saya melihat pulau Badul dalam jangkauan, tanpa berpikir lagi saya melepas kaos, mencebur, dan berenang ke arahnya. Saya melompat ke laut dengan perasaan bebas luar biasa.
Alam dan perjalanan memang selalu memiliki nadanya. Somewhere Over the Rainbow dengan ukulele yang menenangkan dari Israel Kamakawiwo’ole membawa kenangan akan laut di saat senja, Kingston Town dari UB40 membawa kembali perasaan saat berlari di sepanjang pantai Sanur di pagi hari. Melihat matahari terbit, bapak tua yang beryoga, atau pelayan kafe pinggir pantai yang mulai menata kursi. Gie dengan petikan gitar yang memukau dari Eross akan membawa ingatan pada pendakian gunung atau perjalanan kaki menembus hutan. Perasaan nyaris putus asa dari perjalanan tak berujung, bercampur dengan kekaguman akan alam, semangat yang menggebu, kecintaan pada Indonesia, dan lamunan tak berujung.
..Akan aku telusuri, jalan yang setapak ini
Semoga kutemukan jawaban..
Dan setiap orangpun akan mempunyai lagu perjalanannya. Lagu yang membuatnya termenung, menggila, tersenyum sendiri, menerawang, dan tentunya, tetap berjalan. Menyusuri jalanan kosong yang berdebu, pinggiran laut yang membebaskan, kota yang gemerlap, atau puncak gunung yang menggoda. Selamat datang kembali dari berlebaran, kawan-kawan. Janganlah berhenti berjalan.
Twosocks, September 2010
*Judul catatan diambil dari kumpulan puisi Walt Whitman, Leaves of Grass, 1856
good songs. dan seperti biasa, selalu suka tulisannya. jadi ikut2 termenung-menung nih hehe
another great writing Ted, ditunggu tulisan2 selanjutnya, jd pengen ngelist soundtrack of my life not just open road ^^
haha thanks anonymous fellas! ayo dibikin list nya and share your stories!
musik kita beda banget! gw lebih ke incubus atau radiohead. they’re true killer! but I got your point man. you remind me of the music and all the wild journey I’ve been through. thx for writing this man. peace!
yeah, my taste is usually kinda lame and old hehehe go ask Gypsytoes. Glad to know the post bring back the memory of your adventures. good feeling, huh?
Mine is Homesick by Kings of Convenience. Aside from the chilly feelin to hear it while looking at the moving clouds over blue sky, its because once I hit the road suddenly the definition of ‘home’ becomes blurry 🙂
betewe, nice pics of Semeru. How can u convince Rivan to join? :))
Cool song Duy! I think it’s dedicated for those who need somewhere to long for, rite? and Erlend Oye is Maesy’s favorite too!
btw, Rivan doesn’t need much convincing. Dia berjalan dg kuat dan ga ada matinya!deep down he is pretty cool, hahaha oh btw, it was Merbabu. Tapi suatu hari kita pasti ke semeru, kali ini elo musti ikut!