Written by: Rivandra Royono, a fellow traveller.
Setelah ditelantarkan oleh bintang pop Korea dan tai chi master, yang sebenarnya adalah inisiator pertama petualangan Kiluan, akhirnya gua, Duy dan Stania berhasil merapatkan barisan dan memantapkan tekad untuk berangkat. Kami juga berhasil merekrut orang asli Lampung, Nita dan adiknya, untuk ikut berpetualang. Mereka berdua akan kami jemput di Bandar Lampung dan lalu bersama-sama menuju Kiluan.
Berangkat Kamis pagi buta (dan definisi “pagi buta” adalah penerbangan jam 6.30 pagi, yang mengalami sedikit delay), gua, Duy dan Stania sempat terkatung-katung di langit Lampung karena, sebagaimana diterangkan oleh pilot Sriwijaya Air, visibility hanya 1 km, yang ternyata tidak cukup untuk mendaratkan pesawat di Bandara Lampung berhubung landasannya hanya sepanjang kolam renang ukuran olimpiade. Untunglah kami mendarat dengan selamat. Sesampai di Lampung, mobil yang kami charter datang terlambat…tentunya. Ketika Stania menelepon mereka, jawaban yang diterima adalah, “Habis jalannya jauh Mbak, dan nanjak.” Tampaknya sehari sebelumnya jalannya dekat dan menurun, tapi tiba-tiba saja pagi itu berubah drastis, dan itulah sebabnya mereka telat menjemput kami. Tapi setidaknya mobil itu sudah dicharter eksklusif untuk Geng Kiluan, dan kami bertiga sudah siap untuk kalau tidak berselonjoran, ya berakrobat di dalam mobil—atau setidaknya itulah rencana kami.
Setelah menunggu selama satu setengah jam, akhirnya mobil Elf yang kami charter itu datang; dan bersama mobil itu, datang pulalah si sopir, si kenek, dan seorang gadis yang duduk di kursi depan beserta tasnya yang sebesar Duy tergeletak di kursi tengah. Tampaknya definisi “charter eksklusif” agak berbeda di Lampung dibandingkan di belahan dunia lainnya. Ketika Duy menanyakan siapa gerangan si gadis misterius ini, jawaban yang diperoleh dari supirnya adalah, “Oh dia adik saya, Mbak. Mau numpang sampai ke kota.” Karena tidak mau ribut, kami bertiga diam saja dan masuk ke dalam mobil. Tapi Duy sempat memastikan bahwa mobil itu memang didedikasikan khusus untuk Geng Kiluan. Si kenek meyakinkan kami dan berkata, “Oh iya Mbak. Memang ini buat Mbak dan kawan-kawan aja. Kami ga ngangkut orang lain.” Dan ketika beberapa menit setelah keluar dari bandara ada orang-orang yang melambai-lambaikan tangan di pinggir jalan meminta untuk ikut naik, si kenek dengan tegas menggelengkan kepalanya. Kami bertiga sepakat bahwa masih bisa diterimalah jika kita ditemani adik si supir beserta tasnya sepanjang perjalanan; toh cuma sampai kota saja.
Setelah 15 menit lepas dari bandara, berhentilah mobil kami di pinggir jalan, di mana segerombolan orang tengah menanti. Si kenek turun dari mobil dan menyapa mereka semua. Gua, Duy dan Stania saling bertatapan, dan mulai mereka-reka apa yang akan terjadi berikutnya. Yang terjadi berikutnya tidak terlalu jauh dari rekaan kami: Sepasang suami-istri dan anak mereka yang masih bayi memanjat masuk ke dalam mobil, membawa barang-barang dagangan mereka, dan duduk di kursi paling belakang. Meskipun tahu tidak ada gunanya, Duy sekali lagi bertanya kepada si kenek kenapa tiba-tiba ada satu keluarga beserta setengah isi rumah mereka duduk dengan manisnya di dalam mobil yang sudah kami charter itu. Sambil tersenyum ramah, si kenek menjawab, “Oh itu saudara, Mbak. Mereka mau numpang sampai desa sebelum Kiluan.” Setelah memastikan tidak akan ada lagi kakak, adik, ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, atau saudara sesusu dari sepupu anak tiri paman angkat si kenek yang akan ikut lagi, mobil kembali bergerak. Kali ini untuk mengangkut Nita dan adiknya.
Nita dan adiknya tiba di tempat pertemuan tepat ketika mobil kami datang. Setelah melepas rindu dengan Nita, yang masih tidak mau bersentuhan dengan gua karena gua bukanlah muhrimnya, dan berkenalan dengan adiknya, Siska, yang sama ributnya dengan sang kakak, kami pun berangkat menuju Teluk Kiluan. Perjalanan ke Kiluan bisa dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah perjalanan di dalam kota Bandar Lampung, di mana kami sempat makan siang, menurunkan adik si supir, menyadari bahwa dua dari lima anggota Geng Kiluan tidak bisa berenang, dan mengkonfirmasi bahwa gua boleh menyentuh Nita dengan tujuan untuk menyelamatkannya seandainya dia tenggelam. Tahap kedua adalah perjalanan di luar kota Bandar Lampung, di mana jalannya mulus dan beraspal, melewati pantai Klara (singkatan dari “Klapa Rapet,” dan ya kami semua tertawa terbahak-bahak ketika Nita menjelaskan hal tersebut) yang mirip Ancol tapi airnya masih lebih bersih, dan melewati sawah-sawah menghijau di kaki bukit-bukit yang indah. Tahap ketiga adalah perjalanan melewati berbagai perkampungan, melintasi jalanan yang sempit dan penuh lubang yang rata-rata cukup besar untuk menyembunyikan seekor anak sapi. Bahkan kami sempat melewati satu lubang yang cukup besar untuk menyembunyikan dua ekor anak sapi, gembala mereka, dan ibu si gembala yang tengah hamil 8 bulan. Total perjalanan: 4 jam.
Kami tiba di Teluk Kiluan sekitar jam 3.30 sore, dan harus menunggu sekitar setengah jam untuk jemputan kami datang. Dari teluk, kami harus melintasi laut menggunakan jukung—sebuah perahu bermotor kecil—selama 15 menit untuk sampai ke Pulau Kiluan (beberapa orang menyebutnya Pulau Kelapa). Nama Kiluan itu sendiri, yang berarti “permintaan,” datang dari hikayat yang menyebutkan seorang pangeran Banten dahulu kala pernah meminta untuk dikuburkan di atas bukit di pulau tersebut—“kiluan” dalam bahasa setempat berarti “permintaan.”
Setibanya di Pulau Kiluan, hari sudah agak sore dan langit sedikit berawan. Kami segera ke pondok penginapan dan melepas lelah. Pondok penginapan kami berupa rumah panggung kayu dengan enam kamar. Semua kamar saat itu terisi, dan kami berlima menempati salah satunya. Kamarnya sangat sederhana, hanya sekitar 3 kali 3 meter, tanpa perabotan, dan lantainya dipenuhi kasur tipis, lengkap dengan bantal. Di depan pondok terdapat sumur yang dikelilingi kain terpal, di mana kami bisa mandi sekaligus mengencangkan otot tangan karena harus menimba air. Toilet terletak di belakang pondok dan sangat layak. Sore itu kami diajak Pak Chairul, pengelola pondok, untuk melihat tempat yang beliau sebut “laguna.” Untuk mencapai tempat itu, kami harus memanjat tebing yang cukup terjal setinggi sekitar 5 meter, tepat di pinggir laut. Dari atas tebing itu, kami bisa melihat lautan yang luas, dipenuhi pulau-pulau karang di sana-sini. Tepat di bawah kami, air laut menderu menerjang cekukan karang; di bawah mega dan tersabut terpaan angin kencang, kami menyaksikan pemandangan yang indah dan menakutkan secara bersamaan. Sepulang dari laguna, kami disediakan makan malam yang, menurut pendapat kami, luar biasa lezat. Malamnya kami diajak berburu kepiting segar. Kami diingatkan untuk hanya menangkap satu untuk tiap orang dan tidak menangkap yang masih kecil. Kepiting-kepiting yang kami tangkap langsung dibakar di atas api unggun di tepi pantai; meskipun tanpa bumbu sama sekali, boleh dibilang itu kepiting yang paling enak yang pernah kami makan.
Keesokan harinya, kami berangkat untuk melihat lumba-lumba. Ketika kami melihat pantai di pagi hari, barulah tampak keindahan sejati Pulau Kiluan. Di bawah langit biru dan bersitan emas cahaya matahari, pantai pasir putih Kiluan tampak seperti pantai yang hanya bisa ada pada sebuah foto yang telah direkayasa dengan Photoshop seharian. Lautnya pun sangat tenang dan tampak ramah mengundang semua untuk masuk. Dengan kaki terbenam di pasir putih, gua bahkan mempertimbangkan untuk tidak pergi berburu lumba-lumba dan menghabiskan hari di pantai saja. Untunglah akal sehat bergegas datang menghampiri.
Jam 7 pagi kami sudah duduk di dalam jukung dan mulai melintasi laut. Kami menggunakan dua jukung; gua dan Duy di satu jukung, sementara Stania, Nita dan Siska di jukung yang lain. Selama 10 menit pertama, gua dan Duy sangat menikmati perjalanan air kami. Langit cerah, matahari bersinar, dan jukung kami bergerak melintas lautan, melewati pulau-pulau kecil di kanan-kiri kami. Tapi tiba-tiba saja kami menyadari bahwa perahu kecil kami adalah satu-satunya benda yang berada di tengah-tengah piringan air raksasa; kami berada di laut lepas. Di sekeliling kami hanyalah cairan biru pekat, bergelombang mengombang-ambing perahu kami. Seringkali kami bahkan tidak bisa melihat garis cakrawala di depan karena terhalang oleh tembok air yang pada saat itu tampak sewaktu-waktu dapat menggulung kami dengan mudahnya. Sembil terus berpegangan ke sisi perahu kuat-kuat, gua mendengar Duy menyuarakan pikiran gua, “Riv, gua ngerti sekarang kenapa kita harus pake life jacket.”
Tak berapa lama, si bapak pengemudi jukung mengabarkan bahwa kami sudah sampai di tempat di mana lumba-lumba Kiluan suka berkumpul. Gua dan Duy segera menajamkan semua panca indera untuk mendeteksi mereka. Namun ternyata para mamalia laut itu tidak kunjung datang. Setelah sekitar 30 menit berputar-putar di tengah lautan, kami mulai letih mencari. Kami berpindah dari kondisi ketakutan setengah mati ke bosan setengah mati (untunglah kedua kondisi tersebut tidak mengikuti hukum penjumlahan aritmatika). Kebosanan dan panasnya matahari juga mulai membuat kami delusional, dan seluruh percakapan di atas jukung pun menjadi seperti ini:
“Riv! Itu! Di sana, lihat! Waaah lucunya!”
“Bukan, Duy, itu perahu nelayan.”
“Oh…”
“Lihat di sana, Duy! Itu banyak banget!”
“Bukan Riv, itu riak ombak.”
“Oh…”
Mulai titik itu, hampir semua benda tampak seperti lumba-lumba bagi kami, termasuk seekor elang laut yang terbang melintas di atas kepala kami dan si bapak pengemudi jukung, yang tampak tidak nyaman ketika kami berdua menatapnya dengan mata berbinar-binar.
Setelah sekian lama, kondisi tidak juga membaik; kami benar-benar sudah hampir kehabisan energi dan siap untuk kembali ke pulau saja. Tapi baru saja gua mau membuka mulut untuk meminta pengemudi jukung untuk berputar haluan, tiba-tiba saja, sekitar 10 meter di depan jukung kami, seekor makhluk meloncat dari dalam air, tubuh abu-abunya basah berkilauan, berputar-putar di udara selama beberapa detik, dan mencebur lagi ke dalam air. Gua dan Duy bengong selama beberapa saat, dan lalu berteriak-teriak kegirangan layaknya anak umur 2 tahun yang melihat badut ditendang selangkangannya.
Aksi si spinner itu tampaknya jadi tuah bagi kami karena setelah itu keluarga demi keluarga lumba-lumba pun mulai berdatangan, bergelung di laut bersama-sama. Setiap kami melihat punggung lumba-lumba yang melengkung di atas air, jukung kami langsung menghampiri. Seringkali kami hanya melihat mereka selama beberapa detik saja, tapi ada kalanya jukung kami bergerak tepat di samping mereka untuk waktu yang cukup lama. Bahkan ada saat di mana satu di antara mereka berenang tepat di bawah permukaan air di pinggir jukung kami; seandainya kami menceburkan kaki ke air, sudah pasti akan menyentuhnya. Kami tahu mereka adalah binatang liar, tapi ketika kami berada di dalam jukung kecil di tengah lautan luas, lumba-lumba yang berenang mendampingi kami benar-benar tampak seperti sahabat yang menemani.
Duy sang fotografer dengan sigap memotret teman-teman laut kami sampai menghabiskan sekitar 300 foto. Untunglah dia membawa kamera andalannya, karena sangatlah sulit untuk mengambil gambar lumba-lumba yang terus bergerak setiap saat. Dari sekian ratus foto yang Duy ambil, mungkin hanya beberapa puluh yang layak tayang. Kami terus berputar-putar bermain bersama lumba-lumba sampai lebih dari sejam.
Setelah puas, dan letih, kami bergerak kembali ke pulau. Di tengah jalan kami sempat menghampiri beberapa pulau tak berpenghuni, yang tampak seperti hutan-hutan rimbun mini yang terserak mengapung di laut. Sesampainya di pulau, kami segera disajikan makanan, yang segera kami lahap dengan rakus. Rencana awalnya, kami ingin langsung berenang-renang; tapi matahari sudah tinggi dan kami sudah cukup letih. Makanan yang enak pun membuat kami agak mengantuk. Akhirnya kami hanya mengaso di pondok di siang hari itu. Sambil menikmati angin laut dan udara pantai yang segar, kami tidur-tiduran di beranda pondok dan asik membaca buku favorit kami. Melihat kami bersantai, pengelola pondok menawarkan untuk memetikkan kelapa muda; suatu tawaran yang langsung diterima dengan senang hati. Untuk yang mengira kami buang-buang waktu ketika liburan, percayalah, untuk yang sehari-hari hidupnya penuh kesibukan, membaca buku favorit di rumah panggung di tepi pantai ditemani suara deburan ombak dan kelapa muda segar adalah kenikmatan surgawi.
Lewat tengah hari, kami diajak Pak Chairul untuk snorkling, tidak jauh dari pantai tempat kami menginap. Terumbu karangnya tampak rusak; Pak Chairul menjelaskan itu karena sampai sekitar dua tahun yang lalu banyak nelayan yang mengambil ikan menggunakan peledak. Namun sekarang kegiatan tersebut sudah dilarang dan masyarakat setempat, yang mendapatkan cukup banyak pemasukan tambahan dari para wisatawan, turut serta menegakan aturan tersebut. Setelah puas ber-snorkling ria, kami berenang-renang di air laut yang hangat dan bermain-main di pantai. Kami juga sempat mengubur Nita dalam pasir, tapi sayangnya Duy berpendapat bahwa kami tidak bisa pulang begitu saja dan meninggalkannya dalam keadaan terkubur.
Malam harinya kami kembali beristirahat di beranda pondok dan bertukar foto-foto yang sudah kami ambil sepanjang petualangan kami. Nita mengklaim bahwa dia berhasil merekam beberapa lumba-lumba menggunakan fungsi video di kameranya, tetapi ketika kami lihat, lebih banyak suara pekikan pujaan kepada pencipta langit, bumi dan seisinya, daripada gambar video lumba-lumba. Setelah puas melihat foto dan video, kami makan malam bersama terakhir di Kiluan. Dengan tubuh yang cukup letih dan agak gosong karena terbakar matahari seharian, malam itu kami tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya kami dijemput pagi-pagi untuk kembali melintasi laut ke teluk. Sesampainya di sana, kami menunggu sekitar sejam sampai mobil yang akan membawa kami ke Bandar Lampung datang. Pagi itu gua berdiri di tepi pantai teluk, memandang Pulau Kiluan di kejauhan. Pasir putihnya tampak menghiasi bibirnya; agak jauh di balik pulau, gua bisa membayangkan beberapa keluarga lumba-lumba tengah melintasi perairan, bermain-main dan berburu makanan. Perahu nelayan tampak berjejer di sepanjang pantai teluk. Matahari bersinar cerah, tergantung di langit biru yang tidak mungkin dapat disaksikan di Jakarta. Ketika gua membalikkan badan, mobil Elf yang siap mengantar kami kembali ke Bandar Lampung sudah datang. Gua menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara laut.
Saatnya pulang.
HAHAHA…………….
Serius lucunya. baca postingan ini serasa menyaksikan semua “penderitaan” yang Geng Kiluan alami.
thanks for sharing such a great moment.
ditunggu ya.. cerita-cerita selanjutnya
haha thanks Idho, si Rivan ini memang kawan yg agak lucu.eh btw kalau mau sharing cerita2 perjalanan juga, kami pasti akan senang sekali!