comments 17

New York Blues

Seorang kawan pernah berkata, New York adalah kota yang indah untuk jatuh cinta. Kota dengan alunan terompet yang merayap-rayap di antara gedung-gedungnya. Berjalanlah di antara gemerlap Manhattan, di sepanjang Brooklyn Bridge, rasakan denyut mereka para New Yorker. “The glamour of it all!!”  seru Charlie Chaplin. New York menyimpan fantasi untuk begitu banyak orang. Pemuda yang datang hanya dengan sebuah gitar dan cinta yang baru saja kandas, pengarang tanpa uang sepeser pun dan ide cerita yang hanya samar-samar, mereka yang datang dengan mimpi-mimpi besar. Ia adalah kota para radikal, oportunis, seniman, petualang, pedagang, penyendiri, pemberontak. Kota para eksentrik.

New York hidup di masa lalu dan masa kini secara bersamaan. Di Lower Manhattan, kamu akan melihat pub tempat dulu Jack Kerouac menggoret-goret tembok toilet dengan puisi-puisi yang ia karang dalam keadaan mabuk. Sementara di sudut jalan tak jauh dari sana, kamu akan melihat Apple Store yang membawamu melompat beberapa generasi ke depan.

“Apa hal tertentu dari New York yang membuatmu jatuh cinta padanya?” tanya kawan yang lain.

Seperti saat jatuh cinta pada seseorang, sering kita tak bisa mengurai betul penyebab utamanya, bukan? Ini pun begitu, sulit menyebut film apa yang paling New York, atau buku, atau lagu, atau kisah apa. Ia adalah gabungan dari semua itu. Dari Sinatra, hingga Jay Z, hingga Bob Dylan. Dari hiruk pikuk Broadway hingga semangat para aktivis muda di toko buku Bluestockings.

New York

Betapa hal-hal indah dan puitis sering diciptakan oleh kegilaan-kegilaan. Dan New York, kota dengan gemerlap yang tak pernah berhenti itu, juga rumah untuk mereka yang gila. “I hold a beast, an angel, and a madman in me,” bunyi salah satu puisi Dylan Thomas. Dulu, ia mendeklamasikannya di jalanan New York, di mana ia menerima sedekah dari orang-orang, dan menghabiskannya malam itu juga dengan bergelas-gelas bir di pub-pub di Greenwich Village.

Saya dan Maesy menyusuri jalan-jalan Manhattan dengan gembira, persimpangan dunia itu. Semua orang datang dari segala tempat, semua orang pernah berada di tempat lain. Ada tingkat anonimitas yang membuat siapa pun bisa menyelip dengan mudah di antara hiruk pikuknya.

Navigating New York

Kami menghabiskan hari-hari di sana dengan banyak kekaguman, tentu. Namun New York, seperti banyak fantasi yang lain, adalah juga sebuah ironi.

Kami teringat kelompok pemain akrobat berkulit hitam yang memberi pertunjukan jalanan di salah satu sudut Central Park. Saat melakukan pemanasan sebelum pertunjukan, salah satu dari mereka berseru kepada kelompok pengunjung,

“You white people look nervous. Come on, we are only six black man. We can’t hurt all of you — AT THE SAME TIME.”

“You will see a black man put up a show, running so fast and jumping without any police chasing him! New, huh?”

Kami tertawa agak canggung saat itu. Tentu pemain akrobat itu sedang melucu, tapi ia juga menunjukkan betapa rasisme masih merupakan isu yang belum tuntas. Walau peraturan dan norma sosial telah demikian maju, bias ras yang halus masih tetap menghantui. Dan ini kerap lebih sulit untuk ditangani. Maesy bercerita tentang sebuah penelitian yang menunjukkan betapa mantan narapidana kulit putih memiliki kemungkinan diterima kerja yang lebih tinggi dari warga kulit hitam yang bahkan tidak memiliki catatan kriminal sama sekali. Ada pula eksperimen yang dilakukan dengan mengirimkan 5000 lamaran kerja fiktif pada 1300 iklan lowongan. Kualifikasi semua pelamar dibuat serupa, dengan hanya satu pembeda: sebagian pelamar memiliki nama kaukasia seperti “Brenda”, sementara yang lain memiliki jenis nama warga kulit hitam seperti “Jamaal”. Pelamar dengan nama kaukasia memiliki kemungkinan diterima yang jauh lebih besar.

Kami ingat sebuah siang saat duduk-duduk di Washington Square Park. Terlepas dari betapa ia adalah taman yang menyenangkan, dengan rumput yang halus, sinar matahari yang hangat, dan musik jazz sebagai latar, kami sulit untuk tidak memperhatikan beberapa ironi di dalamnya. Mereka yang siang itu duduk-duduk bersantai di dekat air mancur, atau tidur-tiduran di rumput sambil makan sandwich, adalah mereka yang berasal dari kelas menengah berkulit putih. Sementara para pemungut sampah, pengamen saxophone, dan mereka yang tak kuasa mendapat waktu bersantai di siang hari karena harus bekerja adalah mereka yang berkulit gelap. Pernah saya membaca, Long Island di New York konon adalah daerah pemukiman di Amerika dengan tingkat segregasi ras yang paling tinggi.

Bersama keindahan imajinasi akannya, New York juga akan menamparmu dengan kenyataan-kenyataan. Di antara segala kisah cinta itu, segala kisah romantis film Annie Hall itu, bukankah di sana juga ada kantung-kantung ketimpangan ekonomi dan segregasi ras? Di antara kemajuannya, bukankah di sana juga terdapat gedung-gedung tinggi di mana perusahaan-perusahaan yang pernah mengobrak-abrik sistem perekonomian dunia berkantor? Di antara karya-karya indah yang pernah dihasilkan kampung seniman di Greenwich Village, bukankah gentrifikasi telah membuat tempat itu begitu mahal sehingga seniman berkantung tipis hampir mustahil untuk tinggal dan berkesenian lagi di sana? Sehingga cerita generasi Beat yang menggelandang di sana menjadi cerita romantis masa lalu yang masih diulang-ulang dengan penuh nostalgia saja?

New York Subway

Petang itu kami duduk-duduk di Bryant Park, di dekat kami dua remaja sedang bercumbu. Di belakang kami gedung perpustakaan kota New York berwarna keemasan karena pendar lampu taman.  Di sisi lain terdengar musik swing yang mengiringi beberapa pasangan menari Lindy. Maesy duduk tenang-tenang di rumput sambil menulis di buku catatan kecilnya. Saya mengintip beberapa corat-coretnya. Beberapa adalah hal getir yang ia lihat.

“Late night train to the Bronx. You can count the number of white people with one hand.”

Beberapa yang lain adalah ungkapan cintanya pada kota ini.

“When it comes to loving a space, what matters most to you? Is it a space that provides you with companionable silence? A space that bring the extrovert in you? Never have I instantly felt at home in a new place as much as I am in New York. There is a self-confidence I feel in navigating subways, ease of being in my clothes as I walk down the street, feeling one with the pulse. People talk about the New Yorker walk, but I feel that even with my excited tourist tinted glasses, my feet fell into rhythm. “

Brooklyn Bridge

New York, kota yang indah untuk jatuh cinta itu, juga adalah kota yang begitu kompleks. Ia gaduh sekaligus tenang, ia gembira sekaligus sedih, ia indah sekaligus suram. Apa pun opinimu tentangnya adalah benar, sama benarnya dengan opini yang bertentangan dengannya.

Bukankah jatuh cinta juga seperti itu? Ia adalah konsep yang membawamu tumbuh besar dengan berbunga-bunga, untuk kemudian dibuat rumit saat kenyataan-kenyataan menjejakkan kakimu di tanah?

“Ia tidak membuat keindahannya berkurang, “begitu kata Maesy. “Hanya membuatnya lebih nyata.”

17 Comments

    • Iya, soal ini memang kerap jadi bahan perbincangan kami selama di sana. Dan diskusi Go Set a Watchman Jumat lalu bikin aku kepengin menuliskannya juga di sini. Terima kasih ya Yuki, sudah membacanya 🙂

  1. Haru saya dibuatnya. Nyuyok bukan hanya gedung-gedung tinggi yang membuat para pelancong menengadahkan kepalanya, ternyata Nyuyok juga memberi garis tegas pembeda warna kulit. Baik sekali tulisanmu tetangga.. Sempilan foto-foto hitam putihnya juga memperkuat tema segregasi warna kulit.

    Empat jempol!

  2. New York, kekontrasannya terdengar sedikit seperti Jakarta ya. Seperti biasa, selalu suka membaca cerita jalan-jalan dari The Dusty Sneakers. 🙂

  3. Pingback: Paris Blues

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s