Pria dengan gaun bermotif bunga sepanjang lutut maju ke depan mimbar. Rambutnya pirang, panjang, dibiarkan tak diikat. Bibirnya bergincu merah. Di mimbar ia membacakan puisi karyanya. Puisi tentang seseorang yang perlahan bangkit dan membebaskan diri dari keharusan menjadi pribadi yang bukan dirinya. Puisinya biasa saja, sebetulnya, tapi jujur. Gaya deklamasinya yang terkadang merintih terkadang melolong itu pun tidak istimewa, tapi sungguh-sungguh. Di akhir puisi, saat ia mendeklarasikan bahwa ia sekarang manusia bebas, hadirin bertepuk tangan riuh.
Saya dan Maesy menonton sambil bersandar di sebuah pohon taman, ikut bertepuk tangan. Bersama perempuan berbaju gombrong bertuliskan “I’m not your threesome”,pasangan pria yang memegang spanduk “Love conquers hate”, seseorang yang entah perempuan entah lelaki yang bahunya sedang menjadi sandaran bagi pasangannya, dan banyak lagi.
Siang itu di taman kota Portland, Oregon, suasana sedang semarak dengan warna-warni dan ungkapan cinta. Cinta yang menembus batas-batas.
Itu adalah akhir pekan di bulan Juni saat Portland semarak oleh Pride Festival. Saat jalan-jalan utamanya dipenuhi pawai komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, questioning,intersex, hingga aseksual. Tidak hanya mereka, ini adalah perayaan bagi semua yang merayakan persamaan hak bagi siapa pun tanpa memandang orientasi seksualnya. Berbagai kelompok aktivis hak asasi manusia ikut berpawai, juga kelompok seniman, kepanduan, hingga veteran. Kami juga bertemu kelompok Raging Grannies, para nenek aktivis yang bergerak mengkampanyekan berbagai isu kemanusiaan.
Pride Festival adalah perayaan tahunan di berbagai kota yang dilakukan untuk memperingati Stonewall Riots, sebuah titik balik pergerakan LGBT di Amerika Serikat saat kontak fisik antara aktivis dan polisi meluas dalam demonstrasi spontan di New York pada Juni 1969.
Setelah pembacaan puisi tadi, seorang pemuda kurus maju ke depan. Ia pemuda dengan wajah yang terus-terusan memasang senyum. Ia menyebarkan informasi bahwa asuransi negara bagian telah juga mencakup operasi cuma-cuma bagi penduduk berpenghasilan rendah yang ingin menjalani prosedur ganti kelamin. Ia lantas mengacungkan spanduk dengan nomor telepon hotline yang bisa dihubungi untuk keterangan lebih lanjut. Ia meninggalkan mimbar diikuti sorak sorai gembira para penonton.
Kami berjalan ke dekat mimbar untuk berbicara lebih lanjut dengan Sean, si pemuda kurus tadi. Kepadanya kami ucapkan selamat atas kemajuan gerakan yang demikian pesat ini. Sean pemuda yang ramah, ia bisa berbicara dengan senyum yang tetap mengembang di wajah. Kami sempat omong-omong tentang gerakan persamaan hak di Amerika. Betapa ini adalah perjuangan dengan jejak yang panjang. Bagaimana hingga tahun 1960-an polisi masih kerap melakukan sweeping pada tempat-tempat kaum LGBT biasa berkumpul. Polisi menahan, bahkan mempermalukan mereka di depan publik. Tindakan opresif yang justru membuat gerakan semakin solid. Baru pada tahun 1972 aktivitas homoseksual tidak lagi dikriminalkan di negara bagian Oregon.
Namun tantangan masih terus mendera. Epidemi AIDS pada periode 1980an memojokkan kaum LGBT saat penyakit ini sering dianggap kutukan atas perilaku mereka. Gerakan persamaan hak terus digencarkan melawan stigma sosial dan hambatan hukum hingga akhirnya pemerintah negara bagian melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2014.
“Tapi perjuangan masih jauh dari selesai, Bung. Walaupun penerimaan legal sudah ada, penerimaan sosial masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang,” begitu kata Sean sebelum kami berpisah.
Terbersit di kepala saya orang-orang yang masih beranggapan homoseksualitas adalah penyakit yang harus disembuhkan.
Pride Festival tahun 2015 pun menjadi istimewa bagi kota Portland karena untuk pertama kalinya ia diresmikan oleh Kate Brown, gubernur pertama di Amerika Serikat yang secara terbuka mengumumkan bahwa dirinya seorang biseksual.
Dari taman kota kami berjalan ke daerah Pearl District, salah satu pusat keramaian festival. Di sana jalan-jalan semakin semarak dengan warna-warni pelangi. Musik berdentum di beberapa sudut. Orang-orang berparade dengan ekspresi warna-warni sebebasnya. Tak ada aturan berpakaian. Semua bebas menjadi dirinya. Pemuda, pemudi, anak-anak, kakek-nenek, semua mengungkapkan betapa cinta tidak mengenal batasan. Betapa semua perbedaan seharusnya bisa berdampingan. Kami ikut berjalan dalam keramaian, berparade, bernyanyi, menari mengikuti musik, menyapa orang asing, bergembira.
Di antara kemeriahan itu, kami berhenti di sebuah sisi jalan di mana garis batas polisi membentang. Di sana, sekelompok lain juga sedang berdemonstrasi. Kelompok ini mengacung-acungkan spanduk mengutuk segala tindakan homoseksual dan semacamnya. Mereka berteriak betapa kebebasan yang sedang ramai-ramai dirayakan ini hanya akan berujung pada api neraka.
“Hei homo! Tahukah kalian bahwa kalian akan dilaknat? Bahwa kalian akan ramai-ramai masuk neraka? Ya, ya, sana rayakan kebebasan kalian, sialan! Nanti kalian akan tahu sendiri!” begitu seorang pria gempal berteriak-teriak ke arah keramaian. Kencang sekali teriakannya sampai urat lehernya menonjol dan air liurnya sesekali menyembur.
Parade tetap berlangsung melewatinya. Beberapa orang berhenti sejenak, beberapa berlalu saja. Seorang peserta parade, pria berpakaian perempuan dengan rambut warna-warni, menghampiri dan menari-nari dengan gaya mengejek di dekat si pria gempal. Ia meletakkan tangannya di telinga, mendoyongkan ke dekat wajah si pria gempal, berpura-pura kesulitan mendengar teriakannya.
Beberapa peserta parade yang lain juga berhenti dan terlibat perdebatan dengan demonstran rekan-rekan si pria gempal. Mereka saling berdebat, beberapa sangat sengit, dengan hanya dibatasi garis polisi. Betapa pun sensitif isu yang diperdebatkan, dan nada bicara kian meninggi, tak sekali pun kontak fisik terjadi. Kedua kelompok hanya dibatasi garis polisi, tak satu polisi pun terlihat di sekitar. Pun demikian, semua tetap berjalan teratur. Tanpa benturan.
Amerika masih memiliki banyak pekerjaan rumah perihal kemanusiaan, tentu, tapi hari itu kami melihat betapa hukum dihormati dan kebebasan berpendapat terletak di tempat yang tinggi.
Seorang pemuda tanggung menghampiri demonstran anti parade. Ia berjalan mendekat sambil menjilat-jilat es krim. Salah satu demonstran, pria tua yang memegang spanduk bertuliskan daftar perilaku berdosa, berkata padanya, “Hei, anak muda, masih ada waktu untukmu untuk bertobat. Bertobatlah.”
Pemuda tanggung memandang pria tua lalu berkata, “Ah sudahlah, Pak. Aku tak mau berdebat denganmu, percuma. Kita berbeda. Kau di sana, aku di sini. Dan tak ada yang bisa kita lakukan soal itu.”
Si pemuda mengangguk hormat, lalu berjalan menjauh, tetap menjilat es krimnya yang mulai meleleh. Keramaian masih berjalan, musik masih berdentum, spanduk masih diacung-acungkan, Portland masih berwarna-warni.
Twosocks
(Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Magdalene.co )
Cinta itu seperti prisma, bola atau apalah, yang jika kita melihatnya dari sudut pandang berbeda, akan menghasilkan sikap dan opini berbeda pula. Tapi bisa saja cinta itu seperti cermin, sejauh mana kita bersikap mencintai. Apakah masih dalam batas-batas, atau sudah melewatinya. Rumit memang, tapi kalau saya berada di Portland seperti yang penulis rasakan, saya memilih ikut berbaur tanpa memandang orientasi mereka. Tuhan lah yang berhak menghakimi tentang kebenaran dan kesalahan 🙂
http://papanpelangi.co/2015/10/23/di-balik-kesulitan-ada-kemudahan/
Terima kasih Rifqy, sudah membaca catatan ini 🙂
cukup menarik yah disana.