comments 6

Bulan Maret, Setahun Kemudian

Ini hari Minggu dan kami berdua saja di toko buku, Maesy dan saya. Shinta sedang libur dan Annie minta ijin mengerjakan sesuatu untuk urusan pindah kos. Tadi siang kami datang dengan kopi panas di tangan Maesy, dan kardus besar yang membuat pinggang sakit di tangan saya. Hari toko buku dimulai – kami mencatat buku yang baru tiba, membaca pesanan, membalas permintaan rekomendasi, membungkus buku-buku yang dibeli, menuliskan beberapa ucapan di kartu. Pesanan sedang tak terlalu banyak dan semua beres di pukul empat dan kami bisa menghabiskan sisa hari melakukan apa saja. Maesy duduk di bangku dekat jendela, bersandar rileks di dinding, lalu mulai membaca. Di antaranya ia bertanya sendiri, kenapa ya hantu gentayangan di cerita selalu memburu mereka yang dulu menyakitinya? Saya mengangguk-angguk. Saat itu Roberta Flack menyanyi tentang pemuda yang kerjanya selalu sedih, dan buku-buku berjajar di rak seperti barisan penonton yang takjub mendengarkannya.

“Menurutmu apakah kebetulan ada kata trans dalam translator?” Maesy berkata lagi. “Indah, ya?”

Saya mengangguk-angguk.

“Eh mau lihat Afrizal Malna waktu masih berambut?”

Saya melongok dan memandang takjub foto Afrizal muda yang belum gundul.

Bang Anas mengetuk pintu kaca. Di dekatnya Mahira cengar cengir, tingginya sepundak bapaknya. Sejak tahun lalu Mie Chino harus tutup di pasar dan Bang Anas tak lagi menjadi tetangga kami. Tapi kami senang ia masih ada di sekitar. Sekarang ia buka kedai es durian dan mi karet di foodcourt. Jika sedang jeda saya kerap main ke sana, duduk-duduk saja, ngobrol, atau makan cendol durian (setengah porsi saja bang! kalau penuh perutku mual). Kadang dia cerita soal sekolah Mahira, kadang ia mengeluh saat dagangan sepi, atau soal kulkas di rumahnya yang tempo hari terendam banjir. Bang Anas melongok di pintu kaca dan berkata bahwa hari ini mau pulang cepat. Ia lalu menjauh sambil menggandeng Mahira. Di tangga pasar, bapak anak itu pamit ke Samson yang duduk santai di depan toko vinylnya. Samson masih begitu, dengan kumisnya itu, dan satu kaki naik di bangku. Saya senang jika turun tangga dan menjumpainya berselonjor di sana, atau melihatnya senyum-senyum di dekat jendela saat ia jalan ke toilet. Saat duduk di foodcourt, atau melewati kios yang sepi, atau bangku kayu yang bertumpuk-tumpuk di depan pintu rol yang tutup entah sudah berapa lama, saya merasa pasar agak murung, mungkin rindu melihat mereka yang dulu sering mampir. Tapi melihat wajah-wajah yang familiar ini rasanya menyenangkan — Bang Anas, atau Samson, atau Adam yang meluncur di gang-gang dengan skuternya. Seakan hari-hari gembira pasti akan kembali datang untuk semua.

Ini hari Minggu yang tak terbayangkan tahun lalu, bahwa ia adalah hari-hari membungkus pesanan, yang tak lagi diisi teman lama dan kenalan baru, atau mereka yang membuat janji bertemu, atau mereka yang memenuhi ide romantis tentang menghabiskan akhir pekan di toko buku. Tidak ada lagi Ipank dan Nesya yang suka muncul, menghabiskan mi karet dan –dengan bibir berminyak– bertanya sedang ada buku baru apa. Sudah lama kami tak menjumpai Ricky yang membaca di bangku kayu depan, hingga malam saat ia menemani Annie menutup toko. Sudah lama meja tengah tidak disulap menjadi meja makan malam bersama Mbak Reda, atau Nisya dan Ney, sebelum hari berakhir.

Tapi, di antara usaha menahan rindu akan hari yang biasa itu, ada juga hal menyenangkan yang tak kami sangka temukan dari pekerjaan bungkus membungkus hingga gempor ini. Kami kembali tersadar betapa buku masih selalu menjadi bahasa kasih sayang antar orang dekat. Kami membungkus buku yang disertai pesan manis dari dosen kepada mahasiswanya, atau dari murid kepada mantan gurunya yang menemani di saat-saat tersulitnya, atau sekelompok teman yang mengirim hadiah buku bagi salah satu anggotanya — lengkap dengan puisi-puisi yang mereka tulis dan beri judul kumpulan puisi jelek. Beberapa minggu lalu Maesy menulis pesan cinta dari seseorang yang panjangnya sampai dua lembar. Saat selesai ia melipat rapi kertas itu lalu berkata bahwa ini yang membuat hal-hal tetap menyenangkan. Saya menggodanya dengan bertanya emang ngga ada hal lain yang menyenangkan. Saat itu kami di toko hingga agak malam karena hujan. Saya membaca di dekatnya, Shinta di dalam mengetik-ngetik di komputernya, dan lagu-lagu terdengar, dan di dekat kami ada teh yang masih panas. Maesy melihat ke sekeliling lalu memasang senyum.

Menjelang pukul enam kami menutup toko. Hari masih terang di luar dan kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Ini menjadi ritual pulang toko kami, berjalan kaki sedikit jauh hingga hari gelap, atau hingga kaki rada pegal sebelum mencari tumpangan pulang. Kadang kami ke Blok M, melihat restoran-restoran Jepang dari luar, di lain waktu kami menelusuri Cikajang, Wolter Monginsidi, Gunawarman, SCBD. Berjalan sambil ngobrol atau diam-diam saja, melihat kota berubah dari terang menjadi gelap, melihat orang-orang duduk di balik kaca restoran, atau mendahului badut yang berjalan lesu bersama anak kecil.

Beberapa hari lalu Maesy memotong pendek rambutnya. Lebih dari sepuluh tahun sejak rambutnya sependek ini. Jika ia sedang berjalan di depan, saya bisa melihat tengkuknya. Kemarin, saat sinar matahari menerpanya dari barat saya katakan ia seperti tokoh Klara di novel Kazuo Ishiguro. Ia membentangkan tangan seperti orang yang menyambut sinar matahari, mulutnya mengeluarkan bunyi-bunyi adegan dramatis. Kami sama-sama baru menyelesaikan Klara and the Sun dan sungguh mati menyukainya. Ishiguro menulis lapisan cerita yang kompleks dengan begitu sederhana, tentang ketimpangan kelas yang bisa membuat orang melakukan hal-hal tak terbayangkan. Maesy menangis di beberapa bagian. Sebuah kalimat bagus membuat saya menggedor pintu kamar mandi dan berteriak menyampaikannya pada Maesy yang sedang mandi di dalam. Dan akhir cerita, oh adegan akhir itu, ia membuat saya menutup buku dengan perasaan kosong. Kami berhenti sejenak di trotoar di Gunawarman karena ada mobil yang keluar dari restoran. Di dalamnya ada lima orang, dan karena jendela sopir terbuka kami bisa mendengar mereka tertawa kencang sekali. Sepertinya hidup mereka sedang baik-baik saja. Setelah mobil berlalu Satpam mempersilakan kami berjalan kaki lagi, lalu ia kembali ke bangkunya, membuka masker dan duduk sendiri. Kami terus berjalan, melewati penjual taco yang sedang ramai, di dalam penuh dan di luar pengunjung ngantri dengan duduk di bangku- bangku yang diletakkan berjarak. Kita sedang ada di masa yang akan dibicarakan hingga lebih dari seratus tahun ke depan—waktu pandemi dulu, waktu lagi covid itu — ini akan menjadi kalimat pembuka banyak sekali percakapan di masa yang entah sampai kapan. Di dekat saya Maesy berjalan, menoleh ke kanan kiri sebelum mendahului menyeberang, dan saya mengikutinya. Sebuah mobil sedan memperlambat jalannya saat kami melintas, sebelum kembali melaju di jalanan yang sepi. Dan lampu-lampu jalan telah menyala semua, dan kami masih hendak berjalan sedikit lagi.  

6 Comments

  1. Di bulan Mei 2019 saya pertama kali menjejakkan kaki di Post, setelah sekian tahun tahu tentangnya lewat blog ini. Masih ingat betul waktu dulu baca salah satu tulisan di blog ini tentang rencana untuk menutup Post. Saya masih kost di daerah Bangka waktu itu. Dan meskipun belum kenal kalian, ada rasa sedih pas baca itu. Untungnya sampai sekarang Post tetap ada. Kembali ke suatu siang yang panas dan gerah di bulan Mei hampir dua tahun yang lalu itu, pas saya menjelajahi Pasar Santa untuk pertama kalinya, melihat Post dan keramaian klub pecinta buku yang datang beberapa saat setelah saya datang, ada rasa hangat yang agak jarang saya rasakan di Jakarta. Dan saya rasa, saya bukan satu-satunya orang yang merasakan itu ketika datang ke Post. Sehat-sehat terus ya, Teddy dan Maesy!

    • Terima kasih Bama, sudah baca tulisan ini, juga ucapan penyemangatnya. Sehat selalu ya Bama (dan senang sesekali ketemu pas lagi jalan kaki di Kuningan atau di hari random pas beli grocery haha)

  2. Pingback: Jakarta-Bandung; – Kelana Sekata

  3. Anonymous

    Kalau misal saya kirim buku ke diri sendiri, bukan dengan pesan sweet ke irapakah membuat Post merasa senang juga? Hehehe.

    Membaca tulisan Mas Teddy, suara-suaranya selalu keluar. Heningnya. Magisnya. Sederhana tapi dalamnya. Serasa baca Semasa. Kayak beresonansi meski aku tidak mengalami. Kayak beririsan pada bagian tertentu dan kena sekali.

    Terima kasih sudah menulis iniii..
    Tulisan2 di IG juga suka banget. Tapi mau boom like nanti ga enak hahahahah. Salam ^^

    Semoga bisa kesampaian ke Post.

    • Anonymous

      Ya ampun kepencet post sebelum edit hahahaha. Ini Andina..

Leave a comment