comments 14

Desa Sawarna: What makes a road trip worth every mile

Jumat siang lalu Arip Syaman berkata bahwa dia tidak bisa ikut ke Sawarna karena pekerjaannya yang sedang menumpuk. ”But you gave me your word man..” kata saya pura-pura kesal. Beberapa saat Jakarta hening.

” F*ck it!! Kita pergi malam ini!” Arip Syaman, putra pertama bapak Haji Jaeni, lantas memutuskan. 

Desa Sawarna terletak di kabupaten Lebak, Banten, 7 jam  dari Jakarta. Kami berangkat menjelang tengah malam melalui jalur Pandeglang-Malingping-Bayah terus sampai Sawarna.  Saya, Arip, Sinta Satriana, Enda Ginting  dan Anggi Pinontoan, pacar si Arip . Kombinasi road trip yang klasik.  Open road, good music, and good friends. Tapi dengan kombinasi teman perjalanan macam Arip dan Ginting, tema pembicaraan kami tentu jadi sangat “berbobot”. Bahkan tag line trip inipun sangat menakjubkan: “Let’s rock out! With our cock out!”  Sinta yang malang, she was so corrupted.

Malingping: Sunrise and Open Road

Pagi hari kami sampai di desa Sawarna dan ditampung menginap di rumah mantan lurah Sarwana, almarhum pak Hudaya. Ibu Hudaya punya beberapa kamar yang biasa ditumpangi para traveller. Jika kalian pergi ke Sarwana, bertanyalah pada sembarang orang, semua pasti tahu di mana rumah Pak Hudaya. Setelah sarapan di saung bu Hudaya, kami berjalan kaki menuju tujuan pertama: Goa Lalay. Ditemani oleh kang Ikki, penduduk desa sawarna, kami berjalan melewati jalan-jalan pedesaan, sungai, dan hamparan sawah menuju goa Lalay. Goa sedalam sekitar 700m ini memiliki stalaktit yang bagus sekali. Untuk memasukinya kami melewati sungai bawah tanah dengan lumpur sedalam +/- 15 cm di bagian bawahnya . Walaupun cukup licin, medannya bisa dibilang tidak berat. Di bagian dalam goa tinggal gerombolan kelelawar. Seru sekali, kami beberapa kali dikencingi oleh kelelawar-kelelawar ini.

Goa Lalay: Entering the Muddy Passage

Batcave

Perjalanan dilanjutkan ke pantai Ciantir yang sepi dan berpasir putih. Pantai ini, terutama di sekitar bulan Juni, adalah salah satu tujuan para surfer. Dan sore itu, pantai Ciantir akan menjadi tempat homecoming surfing buat Enda Ginting. Setelah pulang ke Jakarta dengan gelar masternya, kesempatan untuk surfing membuat Ginting girang bukan main. Tentu saya tidak harus menceritakan tentang keahliah surfing kawan saya ini. Tidak banyak kemajuanlah dari catatan saya sebelumnya 😉  Tapi ada satu highlight dari perjalanan kaki kami ke Ciantir, pertemuan dengan seekor anjing kampung yang saya beri nama Arnold. Begitu bertemu kami langsung akrab dengannya. Dengan setia Arnold mengintil kemana-mana sepanjang sore itu. Saking setianya, kami percaya bahwa si Arnold ini adalah guardian angel kiriman emak si Ginting untuk mejaga kami di pantai ini.

Ciantir Beach: Homecoming Surfing!

Arnold the dog, our guardian angel

Tujuan berikutnya adalah Pantai Tanjung Layar. Menjelang senja kami berjalan menyusuri garis pantai Ciantir menuju ke timur.  Setelah melewati beberapa bagian pantai yang berbatu, tampak dua batu karang raksasa sekitar 300m lepas garis pantai. Inilah ciri khas pantai Tanjung layar kebanggaan masyarakat Sawarna. Pemandangan mengagumkan yang cukup untuk membungkam Arip yang ngomel-ngomel karena harus berjalan kaki lagi setelah dari pantai Ciantir. Saya, Sinta dan Ginting langsung memutuskan berenang menuju dua batu itu.

Two big rocks of Tanjung Layar

Tapi bagian terbaik Pantai Tanjung Layar ada di balik dua batu karang itu. Di sana ada hamparan batu pipih yang luas sekali sehingga kita bisa berjalan ke tengah laut dengan air yang hanya semata kaki. Sungguh sangat cantik. Diujungnya ada bentangan tembok batu karang yang menyerupai benteng. Tembok karang ini menahan gelombang laut dari baliknya. Kita berdiri di sana melihat ombak-ombak besar yang datang. Setiap kali ada ombak besar yang datang, kami akan menunduk berlindung di balik ‘benteng’ itu membiarkan hempasan ombaknya melewati kepala. Kami pun bekhayal bahwa kami memang sedang berlindung dari serangan kompeni atau semacamnya. We all have this little kid inside us, don’t we?

Menjelang gelap kami memutuskan kembali ke desa. Arnold yang setia, ia masih terus menemani kami sampai di tempat awal kami menemuinya. Ajaib sekali si Arnold ini. Benar-benar dia ini macam guardian angel kiriman emak si Ginting. Di tempat kami akan berpisah dengan Arnold, Ginting berkata: “Nah Arnold, tugasmu sudah selesai. Sekarang kau tak lebih dari sekedar makanan bagi kami”

Ginting gila.

Dan malam itu kami tidur nyenyak sekali.

Ada satu lagi yang musti dilakukan sebelum kalian meninggalkan Sawarna. Pergilah ke pantai Laguna Pari untuk melihat matahari terbit.  Pagi-pagi sekali sebelum jam 5 kami sudah bangun dan mulai berjalan (kecuali Arip dan Anggi yang memutuskan untuk tetap ngorok). Kami berjalan kaki kurang lebih 40 menit melewati hutan kecil dan sawah-sawah. Menyenangkan sekali berjalan kaki di pagi hari melewati sawah-sawah saat langit mulai kemerahan. Apalagi malam sebelumnya Sawarna diguyur hujan. Bau tanah jadi sangat segar.

A walk to the sunrise

One quiet morning in Laguna Pari

Pantai yang sepi di pagi hari sungguh menyenangkan untuk sekedar melamun. Melihat perahu-perahu di kejauhan yang tampak sebagai siluet. Tapi karena di sana sedang ada Ginting dan Sinta, tentunya kami juga melakukan hal-hal yang menakjubkan. Misalnya menanam Sinta dengan gundukan pasir dan kemudian karena Sinta tidak bisa bergerak dalam posisi tengkurap, Ginting pun mulai pipis di gundukan pasirnya. 😀 Hahaha bodoh sekali anak itu. Hal-hal macam itulah. Ini akan menjadi bahan ejekan dari Ginting ke Sinta untuk waktu yang lama. Kami terus bermain-main di sana sampai hari mulai panas.

Menjelang siang, kami berpamitan dengan ibu Hudaya dan kang Ikki untuk kemudian meninggalkan desa Sawarna kembali ke Jakarta. Another seven hours drive. Tapi dengan kawan-kawan perjalanan yang bodoh macam ini, setiap mil perjalanan jadi sangat menyenangkan. Senja hari saat Jakarta mulai memerah, kami akhirnya sampai.

Until the next trip guys!

December 2009, Twosocks

 

14 Comments

  1. Hangga

    travel blog ini ditulis dengan menarik sekali. saya tidak sengaja mampir dan senang sekali. terus menulis!

  2. dustysneakers

    Thanks Hangga. glad you like our writing :)masih akan ada banyak perjalanan dan banyak cerita. There are so many corners with lots of surprises. Keep walking!

  3. Mona

    Yaahh ……ampun, mama baru tau kalau kamu seneng kelayapan sampai kemana-mana….. Suatu hari ke Singkawang ya,,, lihat kampung halaman mama…

  4. dustysneakers

    Hi tan, yg ke sawarna itu saya bukan si maesy, tapi maesy juga pergi2 ke tempat2 yg jauh lebih gawat hehe

    Fita, sip! nanti kita tulis2 lagi. Kemaren2 sempat pergi ke galunggung, kampung naga, juga ke cibeureum sama the idiots. gypsytoes juga masih lanjut dg eurotrip nya. Thanks ya sudah visit 🙂

    • dustysneakers

      Desa sawarna memang sungguh keren. we should spread the news! Thanks sudah berkunjung mas Arya, semoga suatu hari berpapasan di sebuah perjalanan.

  5. Danang

    teman-teman memang mengasyikan meminjam sebuah tag laine nggak ada loe nggak rame,nice trip

  6. dustysneakers

    Thanks Danang, Salam Kenal!
    Jadi, fill your car with friends, turn on a good music, and hit the road!

  7. Halo! nemu blogmu dari TNT blog, I think you’ve got an amazing journey and life to be shared, very interesting. Will continue exploring your world here. Cheers!

  8. dustysneakers

    Thanks a lot Bee! Always nice to meet another traveler. I just read your blog and I’m loving it. As a Balinese, I envy you for having all the chance to explore the island. Let’s continue exchanging our travel tales! 🙂

  9. agoes

    woww keren ceritamu…padahal waktu kecil saya besar disawarna nan alami…dan thanks atas tulisan ini yg mana baru saya ketahui kalau paman saya ( Pak Hudaya ) telah almarhum…semoga banyak kesan ya setelah dari sana….salam

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s