Ada hal-hal khusus dari sebuah perjalanan yang akan kita kenang untuk waktu yang lama. Ia bisa merupakan hal-hal di seputar kebaruan, keindahan, bincang-bincang mendalam, sampai yang remeh temeh sama sekali. Pendakian Ceremai akan saya kenang sebagai hari di mana Arip Syaman memasak dengan membabi buta di puncak gunung, Curug Sawer di Sukabumi sebagai tempat Najib merenungi pohon-pohon tua, atau Siem Reap di mana Gypsytoes bertanya bagaimana saya ingin meninggal dunia.
Saya tahu apa yang akan saya kenang dari pendakian ke puncak Gunung Prau dua minggu yang lalu. Ia adalah pendakian yang dilakukan beberapa hari menjelang pemilihan presiden yang gegap gempita itu. Menjelang pesta besar yang menimbulkan nyala gairah yang bercampur dengan harapan dan gelisah. Konon, pertaruhan yang begitu besar sedang dihadapi bangsa nan luas ini. Saat menapak puncak, di antara gumpalan-gumpalan awan, di tengah padang rumput yang luas, bayangan akan hari bersejarah beberapa hari sesudahnya tak lepas dari kepala maupun bincang-bincang sesama pendaki. Kami berbagi kecemasan di antara jeda perjalanan, kami bertukar harapan di antara api unggun yang menyala redup. Pagi hari itu, saat matahari tampak terbit di kejauhan dari puncak Prau yang berbukit-bukit, adalah pagi yang akan saya kenang untuk waktu yang lama. Ia adalah pagi saat saya mengucap doa agar pria berwajah sederhana itu menjadi pemimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Saat itu di dekat saya ada Rivan, seorang kawan dekat. Dengan caranya, ia pun mengharapkan hal yang sama. Kami yang saat itu mencapai puncak Prau sama-sama berpendapat bahwa pilihan dalam Pemilu ini adalah perkara yang sudah terang benderang. Namun, kami pun berbagi kecemasan saat kala itu hasil akhirnya sungguh tak bisa diprediksi. Tapi sudahlah, beberapa hari sesudah catatan ini dibuat hasil pemilihan presiden akan muncul. Jadi tak usahlah saya berpanjang-panjang tentang itu.
Ada satu lagi hal yang akan saya kenang tentang Prau. Ia juga adalah pendakian perpisahan saya dengan Rivan. Bulan Agustus nanti ia akan berangkat ke Amerika dengan niat mulia, bersekolah lagi. Kami berteman cukup lama sejak masa-masa bertenaga di bangku kuliah dulu walau berasal dari kampus yang berbeda. Saat ini ia seorang pekerja pembangunan penuh semangat yang menginginkan seluruh anak Indonesia mendapat pendidikan yang layak. Seperti halnya Najib, ia pun jenis yang beberapa kali lebih pintar dari saya. Ia mengerti fisika kuantum. Nah, itu seharusnya cukup menjelaskan. Dan walau usianya beberapa tahun di atas saya, ia masih bergairah untuk terus menuntut ilmu. Jauh dibandingkan saya yang malas tak ketulungan dalam urusan-urusan macam itu.
Tapi baiklah, kita berkisah soal pendakian gunung saja. Dalam perkara ini, Rivan pun keras kepala minta ampun. Walau usia terus merayap naik, ia masih terus mendaki. Empat tahun lalu ia takluk dan gagal mencapai puncak Merbabu dalam pendakian yang dihujani badai. Namun, Ia tak surut. Dijaganya tubuhnya dengan baik untuk terus berjalan. Ia membalas kegagalan Merbabu dengan mencapai puncak Sindoro dengan gagah. Ia juga berhasil mencapai puncak Kerinci dan Rinjani walau sesudah pendakian tubuhnya berantakan. Perjalanan gunung dan momen perpisahan kawan tentu sesuatu yang membuat perasaan syahdu. Apalagi ia bisa dibilang salah satu kawan dekat. Namun, ketika catatan ini ditulis, saat saya mengingat perbincangan yang kami lakukan diluar soal-soal Pemilu tadi, yang muncul justru hal remeh temeh saja.
ooo
“Saat berjalan di belakangmu macam begini, kupikir bentuk pantatku tidaklah buruk-buruk benar,” kata saya saat berjalan di belakangnya di sebuah tanjakan.
“ Pantatmu? Pantatmu yang mana?”
Kami berdua memang terberkahi dengan bentuk pantat rata yang tidak menarik hati. Saat saya kemudian berjalan mendahuluinya, ia berkata,
“Heh! Jangan marah, kau tetap boleh berjalan di belakangku dan pandang-pandang pantatku.”
000
“Aku senang mendaki gunung bersamamu,” katanya saat kami beristirahat dan melihat gumpalan-gumpalan awan di bawah.
“Kenapa?”
“Jalanmu lamban. Aku tak harus keteteran di belakang. “
“Anjing.”
000
Saya pun teringat kami sempat berbicara tentang betapa cerita Sangkuriang memenuhi syarat untuk masuk dalam kisah-kisah paling salah kaprah yang pernah ada. Semua urusan dimulai dari seorang putri yang saking ia malas mengambil alat tenunnya yang terjatuh, ia berjanji menikahi atau mengangkat saudara siapapun yang mengambilkan alat tenun sialan itu untuknya. Datanglah anjing. Maka kisah pun berkembang menjadi hubungan suami istri dengan binatang, keinginan bercinta dengan ibu sendiri, hingga kekerasan terhadap binatang di mana si anjing malang dibunuh anaknya sendiri yang seorang manusia. Konon, hati anjing yang juga bapaknya sendiri itu, disajikannya untuk makan malam pula.
Ini tentulah bukan hal-hal paling bermakna yang kami perbincangkan, apalagi untuk sesuatu yang sesyahdu pendakian perpisahan. Tetapi ingatan terkadang memang bekerja dengan caranya sendiri. Ia datang begitu saja. Seorang kenalan dulu bertutur, ia pernah menghabiskan berminggu-minggu berkemah dengan kelompok penjaga hutan di taman nasional Yosemite di Amerika, tetapi ia hanya ingat sebuah pembicaraan panjang tentang korek api saja. Tak lebih. Sisanya kabur dari ingatan. Pendakian Prau mungkin akan meninggalkan ingatan sebagai pendakian di seputar hari-hari Pemilu yang gegap gempita dan pendakian perpisahan untuk kawan saya Rivan.
Saat saya merenung lebih lanjut, muncul pula gambar terakhir saat sesudah pendakian Rivan dan saya berpisah di depan Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Di sana Rivan memeluk saya dan mengucap kata-kata perpisahan yang manis. Entah apa, saya tak ingat persis, tetapi manislah pada intinya. Saya ingat ia kemudian menjauh dengan taksinya ke bandara dan saya berpaling pada Irma, kawan pendaki yang tersisa. Kami yang kelaparan kemudian menggasak gudeg masing-masing sepiring lalu putar-putar Yogyakarta sebentar sebelum saya kembali ke Jakarta dengan kereta malam. Ah, jika saja catatan ini saya tulis di kereta malam itu, mungkin akan terdapat lebih banyak catatan memori yang tersisa. Tapi sudahlah, waktu itu saya molor-semolor-molornya.
Twosocks
PS:
– Salam manis untuk kawan-kawan mendaki Prau yang budiman semua. Irma (2 tahun, 4 gunung, not bad, eh?) Steven (Ayo kita dekor kios di Santa, haha!) Angela dan Hindra (Kalian membuat banyak orang ingin muda dan jatuh cinta dengan malu-malu lagi) Dhika dan Sarah (Semoga tidak kapok mendaki bareng ya, kapan-kapan mari cerita-cerita kisah pewayangan lagi) Rivan (Selamat jalan, nyet!)
– Terima kasih Hindra, untuk foto malam hari yang indah betul itu
Pendakian ke Prau juga merupakan pendakian yang berkesan buatku. Karena saat itulah, untuk pertama kalinya, aku berhasil mendaki sebuah gunung.
Dan akhirnya aku mengerti kenapa banyak orang yang candu dengan kegiatan ini 🙂
Wah, gunung pertama, tentu tak terlupakan. Untuk saya, yang pertama adalah Batur, duluu sekali. Girangnya masih tak terlupakan hingga sekarang 😀
Batur Bali? Wah sama, gunung pertama yang saya daki
High five!!
Asik bener tulisannya — boleh ya sy catut2 quotes indahnya sambil ga lupa bubuhkan reading source #thedustysneaker.com 🙂
Salam rimba dan sampai bertemu di gunung Indonesia!
Silahkan Bung Pendakilemot! Jadi malu saya, hehe. Salam gunung2 indah, semoga bisa bertemu suatu waktu
ah, Prau juga merupakan puncak terakhir yang aku dan kawan-kawanku daki sebelum kami berpisah, berpencar 🙂
Tulisan ini mengingatkanku kalau aku punya satu tulisan tentang Prau juga yang belum sempat ku unggah kemarin-kemarin.
http://bela-indonesia.blogspot.com/2014/07/prau-dan-perjalanan-panjang-yang-masih.html
Hi Bela, terima kasih tautannya. Senang membaca catatan dari perjananmu yg sentimentil ke Prau. Semoga bisa berkumpul lagi bersama kawan2 yang berpencar itu dan naik gunung lagi. 🙂
Keren banget Ka ceritanya. Akhir Juli kemarin aku ke Sikunir, rencananya jg mau ke Prau.. Tp apalah daya….Baca tulisan ini mupeng banget..huhuhu
Halo Lia, terima kasih ya. Senang mengetahui kamu menyukai ceritanya. Saya belum pernah ke Sikunir, jadi lain waktu kita bertukar saja, Saya yang ke Sikunir, kamu yang ke Prau 😀
Ugh. Kenapa saya baru menemukan blog ini sekarang. Akan saya bookmark dan saya kunjungi sesering mungkin 😀
Halo Maharsi Wahyu, salam kenal. Semoga catatan-catatan kami menyenangkan untukmu 🙂