Pernah kau bayangkan Arip Syaman Sholeh medaki gunung?
“Gila kau, bisa mati dia!” kata Rivandra Royono.
“Kau yakin akan baik-baik saja?” tanya Gypsytoes.
Tapi itulah yang kami lakukan. Road trip tengah malam dari Jakarta ke Majalengka dilanjutkan dengan pendakian gunung Ceremai.
“Wah bisa mati si Arip” kata Gypsytoes lagi.
Kau tentu masih ingat kawan saya Arip Syaman ini bukan? Ia yang pingsan saat naik 620 anak tangga di Galunggung. Ia yang memaki-maki membabi buta saat harus naik turun jembatan penyeberangan di Bangkok. Tapi sudahlah, itu cerita dua tahun lalu. Arip sekarang 10 kg lebih enteng dan jauh lebih bugar. Dengan optimis, kami maju terus. Selain saya dan Arip, seorang kawan pendaki lain juga turut serta, Puguh Imanto. Saya dan Puguh pernah mendaki Gunung Sindoro bersama dan ia seorang pendaki yang handal. Ia juga adalah pria bersahaja yang memiliki prinsip ‘tua-tua keladi, makin tua makin mendaki’. Kami bertiga pun melaju. Menembus malam menjauhi Jakarta. Saya dan Puguh terpaksa bergantian menyetir saat Arip tidur di jok belakang. Arip rupanya sedang batuk, kurang enak badan, dan asmanya baru kambuh. Saat kami menanyakan apakah ia yakin untuk tetap berjalan, ia bersabda kurang lebih begini, “ Tenang kawan, Che Guevara saja biar bengek tetap gerilya. Sambil menghapal Das Kapital pula. Masa cuman naik gunung Arip Syaman gentar.” Setelah itu ia tertidur dan membiarkan kami menyetir. Tak lupa ia mendengkur keras. Sekali-kali kami digangggu dengan kentutnya yang berbau ajaib. Kami tak berdaya selain cuma bersumpah serapah. Namun sedikit memaki-maki membuat saya dan Puguh tetap terjaga sampai pagi hari saat kami mencapai Desa Apuy di kaki gunung Ceremai. Menjelang tengah hari kami mulai mendaki. Perjalanan dimulai dengan memasuki hutan kayu alami. Baru berjalan sekitar sejam Arip membanting backpack super besarnya dan tersungkur. Ia kelelahan dan napasnya tersengal. Mati! Saya dan Puguh agak bingung dan menatap puncak Gunung Ceremai dengan putus asa. “Wah ga bakalan kesampean ni,” begitu pikir kami. Setelah Arip mengambil kembali nafasnya, dan backpacknya dibawakan oleh Pak Junaedi sang penunjuk jalan, kami mencoba melanjutkan perjalanan perlahan-lahan. Disinilah keajaiban gunung mulai terjadi. Berjalan tanpa bawaan, Arip ternyata menjadi segar bugar. Ia bisa berjalan dengan ringan. Setelah empat jam berjalan, ia sudah melewati masa kritisnya dan bahkan sudah berjalan paling depan. Entah darimana ia mendapat kekuatan. Saya hanya memandang kagum dari belakang.
Pendakian pun jadi sangat menyenangkan. Kami jadi benar-benar dapat menikmati alam di sekitar. Mulai dari hutan lebat berkabut, bunga-bunga gunung yang bertumbuhan, matahari terbenam di ujung barat, awan-awan yang kita lewati, dan bintang yang bertebaran terang saat hari mulai gelap. Gunung Ceremai ternyata lebih terjal dari yang kami pikirkan. Namun pemandangan yang indah dan semangat yang menggebu membuat kami maju terus. Kami berkemah di dekat Goa Walet menjelang puncak. Disinipun Arip menunjukkan kemampuan ajaibnya: memasak. Tidak sekedar memasak, tapi memasak dengan obsesif. Di puncak gunung! Saya yang dalam pendakian lain makan hanya biskuit atau Indomie kali ini disajikan menu istimewa: bakso goreng, chicken nugget, korned telur, kentang goreng, telur dadar, dan kopi susu. Semua berkat obsesi Arip yang entah datang dari mana. Saya dan Puguh hanya menunggu takjub sebelum akhirnya makan dengan lahap. Setelahnya kami tidur dengan kenyang. Itu adalah malam yang dingin. Kami semua meringkuk menggigil dalam sleeping bag masing-masing. Tenda kami yang hanya selembar fly sheet tak kuasa menghalangi angin dingin yang masuk. Soal ini Arip sempat memaki-maki Puguh, “Sialan lu Guh, beli apartemen bisa, beli tenda yang bener malah kagak!” Pukul empat dini hari kami sudah terbangun dan kembali berjalan menuju puncak. Melihat langit yang mulai memerah, bintang timur yang menyala terang, dan akhirnya, matahari terbit. Diantara angin yang bertiup dingin kami bertiga melamun dan mamandang kagum ke arah timur. Teater matahari terbit, begitu Puguh Imanto menyebutnya. Untuk saya dan Arip, ini adalah pertama kalinya kami berada di puncak gunung bersama-sama sejak dua belas tahun pertemanan kami. Ah sebelum jadi terlalu terharu, kami memilih berbicara tentang bagaimana Arip juga untuk pertama kalinya buang hajat di puncak gunung. Anak itu bodoh sekali, ia buang hajat di puncak gunung dan meminta saya memotretnya dari kejauhan. Untuk kenang-kenangan, begitu katanya. Menjelang tengah hari kamipun mengepak tenda dan semua barang lalu kembali berjalan turun. Dalam perjalanan turun saya mengalami musibah kecil, kaki kanan saya sedikit keseleo dalam sebuah turunan di salah satu tebing. Jadilah saya berjalan turun tertatih-tatih menggunakan tongkat kayu. Saya yang biasanya turun gunung dengan berlari kali ini berjalan lamban di belakang. Tak lupa Arip menghina saya untuk ini. “Lambat lu men!” katanya sombong.
Akhirnya kami sampai kembali di Desa Apuy menjelang sore dan melanjutkan road trip tujuh jam menuju Jakarta. Arip masih cukup segar dan sanggup menyetir sampai Sumedang sebelum kembali tertidur di jok belakang. Beruntunglah ada Puguh yang sanggup menyetir tanpa kenal lelah. Di perempatan Kuningan, Jakarta, kami bertiga berpisah. Kami menghela napas lega untuk pendakian yang sukses. “Pendakian yang menyenangkan, kawan-kawan!” begitu kata kami pada satu sama lain sebelum berpisah. Dalam perjalanan ke rumah saya terpikir soal Arip. Anak yang dua tahun lalu pingsan kelelahan hanya karena menaiki 620 anak tangga di Galunggung, baru saja mencapai puncak Gunung Ceremai dengan gagah berani. Anak yang memaki-maki karena harus naik turun jembatan penyeberangan di Bangkok dulu, kali ini berhasil menaiki tebing-tebing tanpa kenal lelah. Saya pun berjalan pulang sambil mengenangnya dengan agak terharu. Esok malamnya, saat sedang makan malam bersama Gypsytoes, telepon saya berbunyi. Dari Arip. “Sialan man, gw kena tifus!!”begitu makinya. Twosocks, July 2012
Ini certita mengenai 2 pendaki gunung dan 1 portiryang sekaligus jadi koki? By the way, biaya portir udah elo bayar, Ted? Hitungannya per koli yah.
Kira-kira dialog di foro pertama seperti ini:
Orang sebelah kanan: “kau tuh yah, kalau kerja yang sigap, semangat. Masa cuci piring saza lama kali. Sudah, sana kau masak dulu yang enak buat kami”
Orang sebelah kiri: ” Baik tuan. Hamba laksanakan”
Hahah kawan Anonymous, kamu lucu sekali. tapi dialog difoto itu sebenernya gini,
Orang sebelah kiri: you call yourself a climber???! you didn’t even washed your plate properly man!
Orang sebelah kanan: maafkan, tak akan saya ulangi lagi.
sumpah, saya sampai terharu betapa si arip jagoan bener.Surely there will be more climbing with the guy.
Upppsss…anonymous yah namanya….Teddy, Arip..si anonymous itu KP yah.
hahaha tulisannya lucu banget! ayo terus semangat jalan dari gunung ke gunung!!
indah banget foto keduanya
Anonymous: oo itu KP. hmm pantas!
Tania dan Gan thanks ya . seperti kata arip: memang kami adalah Anung – Anak Gunung. haha
wah amntap banget pemandangan fotonya
seru juga ceritanya hihihi
Blognya bagus dan artikelnya menarik. Oya teman-teman blog, mampir ke lapak saya ya. Salam. http://globalenglishclubkhaskempek.wordpress.com/
Pingback: Mengenang Prau, di Seputar Hari-Hari Gegap Gempita dan Teman yang Akan Pergi | The Dusty Sneakers