“Aku kembali teringat mengapa berada di hutan selalu membuatku takjub sekaligus berkecil diri.” Demikian Ibnu Najib, kawan baik saya berkata. Saat itu kami sedang berjalan menembus pohon-pohon menuju Curug Sawer di Sukabumi.
“Kenapa?”
“Di sini aku dikelilingi segala hal yang usianya lebih dari ribuan tahun, mungkin lebih dari peradaban manusia. Semua terasa tua dan bijaksana. Mereka sudah tak lagi merasa perlu mencari tempatnya di dunia. “
Kawan saya ini memang kerap mengatakan hal-hal yang membuat saya tercenung-cenung. Ia adalah jenis yang merenungkan apakah lampu-lampu jalan yang menguning dan menyendiri di jalanan itu sedang berbahagia. Ia adalah kawan yang berpendapat betapa pohon-pohon tua adalah makhluk yang paling bijaksana, di mana mereka memutuskan untuk tidak kuasa berbicara dan berpindah tempat. Mungkin pohon-pohon itu sudah menyadari betapa berjalanan atau berbicara kesana kemari tidak terlalu banyak faedahnya. Betapapun, ia adalah salah satu sahabat terpintar yang saya miliki. Jika hal-hal yang dikatakannya berada di persimpangan antara kecerdasan dan keruwetan cara berpikir, maka saya memilih meyakini bahwa yang ia sampaikan adalah kepekaan yang jauh di luar jangkau saya.
Dan kami lanjut berbincang. Betapa di kota, kami dikelilingi hal-hal yang masih begitu belia. Teknologi, tata perilaku, hingga aturan-aturan pemerintah. Semua hal yang dalam perjalanan semesta masih begitu muda dan sibuk berkutat mencari tempatnya di dalam masyarakat, di dalam sejarah peradaban. Satu norma berkutat dengan norma lain untuk dapat di terima. Norma berperilaku, ber-Tuhan, berkomunikasi, sampai hal sepele macam bersendawa. Peraturan-peraturan yang diciptakan masih begitu tertatih-tatih menemukan tempatnya. Peraturan perburuhan yang seimbang, peraturan pembebasan lahan yang berkeadilan, hingga hal yang sudah terang benderang namun masih susah payah diatur seperti jangan merokok jika di dekatmu ada balita. Banyak hal kekinian di kota yang membuat pikiran ruwet belaka. Sementara di hutan, segala norma telah terbentuk dari perjalanan ribuan tahun. Pohon-pohon sudah begitu bijaksana untuk tahu ke mana mereka harus menjalar. Untuk hidup di dalamnya apa yang bisa dimakan dan tidak telah jelas aturan mainnya. Buatlah aku gundul dan kukirim banjir untukmu, demikian Hutan bersabda dalam heningnya.
Perjalanan menembus pohon-pohon menuju Curug Sawer seharusnya dapat ditempuh dalam 45 menit saja. Namun kami menghabiskan lebih dari satu setengah jam. Kami terlalu terpukau dengan kerut-kerut di kayu pohon tua, angin yang membuat daun-daun bergoyang, atau monyet berekor panjang yang terkadang menyeruak dan ribut berkoar-koar. Dan tentu saja perenungan-perenungan Ibnu Najib yang tipis di bibir keruwetan itu. Namun perenungan mengenai betapa bijaksananya hutan yang berusia lebih tua dari peradaban manusia itu membuat saya tertarik benar. Saya membuat Ibnu Najib berjanji untuk menuliskannya untuk ditampilkan di blog ini. Karena tentu, perenungannya jauh lebih dalam dari hal-hal permukaan yang saya tangkap di sini.
“Baiklah kawan, kan kutuliskan kisahnya untukmu. “ Begitu saat itu ia menyanggupi.
Hari ini, seminggu setelah perjalanan ke Curug Sawer itu, saya baru saja menyelesaikan pengantar ini untuk tulisan yang sedang dibuatnya. Sementara Ibnu Najib duduk di depan saya, di sebuah kedai kopi di Jakarta, mencoba merangkai kalimat-kalimat perenungannya. Keningnya tampak berkerut di depan komputer dan gelas kopi kesekiannya. Ah kawan saya yang malang, tentu ia sedang mengurai hal-hal ruwet di kepalanya. Tak sabar saya menunggu apa yang akan muncul dari tarian jemari dan segala kerut di keningnya itu. Saya memesan gelas kopi kedua dan lanjut menunggu rampungnya tulisan Ibnu Najib dengan khusyuk.
Sementara di luar sana, Jakarta masih tertatih menemukan keseimbangannya.
Twosocks
Ngomong-ngomong ini di Situgunung kah? Familiar dengan nama Curug Sawer. Kebetulan banget kemarin abis camping di sana 😀 Sedari 7 tahun lalu, kayaknya gak banyak berubah tempatnya.
Hi Febry, Iya itu di Situgunung. Kebetulan banget, saya juga pertama kali kemping di sana 2007 haha. Dan memang belum berubah 🙂
ah, diksimu indah sekali kak. seolah aku ikut berjalan bersamamu menyusuri hutan dan memeluk pohon-pohon itu. aku ke sini dua tahun yang lalu. waktu itu situ gunungnya agak kering, namun curugnya tetap berair..
Terima kasih mbak Indri, senang bisa membuatmu merasa ikut berjalan melihat-lihat pohon 🙂 Oh iya, selamat menjadi tuan rumah untuk obrolan para pejalan malam ini ya. Pasti bincang-bincangnya akan seru.
oh, iya. ternyata ramai sekali obrolannya.. jadi kepingin escape beneran..
kocak kayaknya kawanmu ini gan….:D
tapi emang bener sih kadang kita perlu temen kaya gini..suka bikin kita berpikir dan bersemedi hahaha…intinya mengingatkan dengan bahasa yang harus dicerna dulu..asal jangan tiap hari jalan bareng m dia bisa stress loh
haha justru saya suka putar2 dengannya setiap hari. Selain pemikir, dia suka nyentrik juga.
diksi yang bagus dengan makna dalam, saya suka 🙂
tapi tentu saja bagi yang ikut tersesat dalam pikir penulis
bagi yang tidak, silahkan berbingung diri 😀
Senang mengetahui Yofangga menyukainya. Terima kasih ya. Kami pun gemar untuk ikut tersesat melalui tulisan2mu 🙂
Pingback: Mengenang Prau, di Seputar Hari-Hari Gegap Gempita dan Teman yang Akan Pergi | The Dusty Sneakers
Pingback: Tentang Bulan yang Penuh Senyum Riang dan Kantung Mata yang Menggantung | The Dusty Sneakers
tenang, lama kelamaan luar kota bakal jadi kota. pohon-pohon? entah ke mana.
Aduh, semoga perkara suram semacam ini tidak lekas datangnya