comments 8

Cerita dari Jalan

Saya hendak lanjut membaca Daisy Jones and the Six ketika Maesy bertanya saya sudah sampai mana. Saat itu kami duduk di halaman belakang penginapan di Hokitika, di bukit dengan padang rumput luas, bunga daisy kuning di dekat kawat pagar, dan bunga mawar yang dikunjungi lebah. Saya katakan padanya ini di bagian Daisy menyanyi bersama Billy di pertujukan terakhir mereka. Oh, dari titik ini kamu ngga akan berhenti! katanya. Dan saya mulai membaca, semula Sam Cooke masih kedengaran menyanyi sayup-sayup, tapi kemudian tidak ada lagi musik, dan saya terus membaca, tidak berhenti, hingga tiba di halaman terakhir dan saya berkata pada Maesy betapa buku ini ditutup dengan indah.

Senyumnya lebar sekali saat tahu tebakannya benar.

Kami tiba di pertengahan roadtrip kedua kami di Aotearoa, dan sejauh ini, di segala macam soal, ia memang banyak benarnya. Ia memperhitungkan semua dengan baik — kapan hujan turun sehingga rencana trekking bisa disesuaikan, kapan tidur di hostel, kapan mencari penginapan yang rada nyaman karena kami tak lagi muda, kapan kotak bekal harus disiapkan dengan lebih lengkap, kapan saya menyetir jauh, kapan bisa santai golek-golek saja seperti hari ini — membaca, menunggu matahari musim panas yang terbenam di pukul sepuluh, membuka anggur murah yang kemarin dibeli di supermarket.

Saya menulis ini beberapa saat kemudian, ketika Maesy duduk mencatat di buku jurnalnya. Sudah beberapa tahun ini ia masih terus menulis di sana. Tulisan tangannya kecil seperti barisan semut, tapi sudah beberapa kali jurnal dengan sampul kulit itu penuh dan diganti baru. Kini, Maesy tak lagi menulis di blog. Mungkin bersama usia ia jadi lebih tertutup, dan ia bilang menulis di jurnal memberinya ruang untuk bisa jujur dan lebih lepas menulis hal-hal yang paling pribadi, juga kegembiraan, kecemasan, dan ketakutannya. Kali ini saya juga lumayan rajin menulis catatan harian. Mencatat-catat saja — percakapan yang kami lakukan, tawa yang kami bagi, percakapan yang kami curi dengar.

Tadi saya menulis tentang betapa gembira Maesy berenang di sungai Pororari sesudah berjalan di hari yang terik, di tengah hutan dan di antara jajaran pohon pakis. Dengan bercanda saya katakan ia seperti boneka kelinci yang cemberut, yang jadi tersenyum lebar sesudah kupingnya dipegang dan tubuhnya dicelupkan ke air. Ia senang dengan perumpamaan ini. Dan ia memang selalu gembira saat bertemu air. Ide di kepalanya tentang road trip di musim panas adalah menemukan sungai dengan air bening di pinggir jalan lapang, memarkir mobil dan berjalan turun hingga sisi sungai, lalu melompat. Di sungai di bawah jembatan Pelorus ia melompat dari batu dan tawanya kencang sekali.  Saya mencatat momen ketika kami duduk di Aoraki, makan bekal buah ceri dan crackers yang dicocol ke pesto, di pinggir danau yang terbentuk dari es yang mencair. Sesekali kami mendengar bunyi bongkahan es yang terjatuh dan nyemplung ke danau, dan di dekatnya ada bebek yang berenang tenang-tenang seolah semua dingin ini ringan saja. Saya membuka catatan beberapa hari sebelumnya dan menemukan percakapan dengan Belinda tentang toko buku kecilnya di Geraldine, toko buku yang ia buka enam minggu saja sebelum pandemi. Bagian belakang toko bahkan belum selesai ia renovasi saat pandemi tiba. Saya ikut tersenyum mencatat waktu Maesy gemetar menyeberangi jembatan gantung di hooker valley, dan ia komat kamit berdoa mengucap syukur akan limpahan kasih sayang yang ia terima, tapi kemudian pidatonya terganggu karena ada pria tua beponco polkadot hijau berjalan di belakangnya dengan langkah besar-besar yang membuat jembatan oleng. Beberapa hari kemudian, di toko buku di Twizel kami menemukan tulisan ini: “It’s beautiful here. In this small room. In this small town. In this small country at the edge of the world.”

Indah ya?

Suatu hari nanti, saat membacanya lagi, mungkin catatan lama bisa membawa kembali hal yang dulu dirasakan. Atau, kala banyak hal yang tak lagi bisa dilakukan, karena usia atau yang lain, kita akan mengenang dengan manis sebuah masa ketika kita bisa demikian berdaya, atau begitu bahagia.  Bersama waktu, memori terus bertumpuk, banyak yang terlupakan, yang lain saling tindih. Sering kali jika saya teringat sesuatu samar-samar, saya akan bertanya pada Maesy — tentang di mana suatu percakapan terjadi, tentang siapa berkata apa, tentang apa yang persisnya dikatakan seseorang di suatu waktu. Biasanya Maesy ingat, dan dengan bercanda dia bilang saya mengoutsource ingatan ke dia. Tadi saya bertanya saya merasa pernah memakai flannel yang sama dengan yang saya pakai hari ini di sebuah akhir roadtrip lain, dan ia ingat itu perjalanan yang mana, juga nama kafe yang kami singgahi waktu itu. Namanya little river, katanya, dan kamu makan pai daging lahap banget.

Beberapa hari ini kami juga sama-sama membaca Greta & Valdin, karya penulis Aotearoa, Rebecca K. Reilly. Buku ini direkomendasikan Sally, perempuan tua yang mengelola toko buku mungil di semacam kontainer di Wanaka. Saya ingat Maesy membacanya saat kami golek-golek di rumput dan ia banyak tertawa padahal ia baru saja gemetar kedinginan sesudah berenang di danau. Saya ikut membacanya dan merasa mungkin ini buku awal tahun paling segar yang pernah saya baca. Cerita tentang keseharian kakak beradik Greta dan Valdin dan keluarganya. Buku ini mengingatkan kami tentang betapa hidup sangat panjang, dan di antaranya kita mengalami masa sedih, tragedi, trauma, dan sesudah itu berlalu, hidup masih saja panjang. Dan ini cerita orang-orang di masa sesudah semua itu berlalu, bagaimana mereka tidak membiarkan rasa sedih dan tragedi masa lalu mendefinisikan mereka kini, atau hubungan mereka satu dengan yang lainnya. Dan Reilly menulis dengan lucu sekali. Beberapa kali saya membacakan lagi untuk Maesy dialog Greta dan Bapaknya, atau Valdin dan Ibunya, lalu tertawa bersama.

Buku ini juga mengingatkan kami pada hidup kami sendiri yang panjang dan masih panjang, tentang rasa frustasi masa kecil, kesedihan di usia dewasa, dan bagaimana kami melihatnya kini. Di bulan Februari nanti, kami genap menikah sepuluh tahun, dan bersama-sama lebih dari delapan belas tahun. Sudah cukup lama kami meyakini bahwa kami sudah menemukan orang yang akan menjadi teman hidup di kala tua nanti. Dan saat percakapan ini muncul, Maesy kerap berkata agar saya tak buru-buru mati, apa lagi matinya konyol-konyolan. Kita menua sama-sama ya, begitu katanya. Janji yang kami pegang bersama. Nanti, kata Maesy lagi, aku saja yang mati duluan. Sesudahnya, kamu boleh bergembira (kalau memang bisa) atau menyusulku. Saya pikir sudah lama saya ingin bisa tetap menjalani hidup seperti ini, mengupayakan untuk melakukan hal-hal yang saya sukai dengan sungguh-sungguh, agar suatu hari nanti, di usia lanjut, bisa dengan jujur berkata bahwa hidup sudah saya jalani dengan sebaiknya, bersama orang yang saya cintai. 

Kami masih duduk di teras dengan padang rumput luas dan matahari musim panas yang tak kunjung terbenam. Saya mendongak melihat burung yang terbang melingkar-lingkar sendiri. Ternyata Maesy juga melihat burung yang sama. Kami sama-sama terdiam, melihatnya terbang melingkar-lingkar, kadang sayapnya terkepak, kadang melayang saja. Maesy bilang burung itu seperti saya, tenang di sini, di masa ini, tak ingin pergi kemana-mana lagi.

Seperti tadi, kali ini ia juga benar.


8 Comments

  1. Belly

    Selalu menyenangkan membaca cerita dari thedustysneakers, aku suka bagaimana momen-momen diceritakan dengan sangat alami di sini dan aku hampir selalu berharap bisa merasakan pengalaman yang sama nantinya.

  2. Sungguh, ini tulisan yang hangat! Tulisan yang bikin pembacanya (setidaknya saya) ikut tersenyum sambil membayangkan dialog-dialog di antara kalian di Aotearoa sana. Dulu saya seperti Maesy, (hampir) selalu ingat momen-momen dan pembicaraan-pembicaraan kecil yang buat kebanyakan orang hanya angin lalu. Misal suatu pembicaraan saya sama sahabat waktu kuliah di malam hari di dalam mobil dia pas mau putar balik di suatu jalan protokol di Bandung. Tapi sepertinya ‘kemampuan’ ini mulai agak tumpul sekarang. Faktor usia mungkin. Tapi usia bukan jadi penghalang untuk terus bahagia, seperti kalian berdua. Selamat menua bersama ya, Teddy dan Maesy!

Leave a comment