*Cerita ini ditulis akhir tahun lalu untuk zine kucing yang bubar sebelum terbit. Karena lagi kangen toko buku dan pasar, jadi dipasang di sini.
—
Henry “Hank” Chinaski terperanjat saat wajahnya disemprot air beraroma minyak eukaliptus. Ia menelusup ke bawah meja, terbirit-birit, membuat anak muda yang duduk membaca mengangkat kedua kakinya. Hank berhenti di sisi Anais yang sedang tidur-tiduran telentang. Ia menelungkup di sana, memandang ke dalam toko buku. Matanya melekat ke kolong di ruang dalam.
Meong! Sini biar aku saja yang cerita! Kalian membeli selebaran ini untuk mendengar ceritaku, bukan? Memangnya kalian mau dengar si Dorothy dan kelompoknya itu? Meong amat, sih! Dorothy, si poni itu, seenaknya main semprot, lalu senyum-senyum, menjelaskan pada orang-orang kalau sebetulnya dia suka kucing, cuma dia punya alergi. Si Dorothy ngomong terus, soal semprotan yang cuma berisi air dan minyak eukaliptus, jadi aku, atau Anais, atau Etgar, atau Don, tak akan puyeng keracunan kalau pun disemprot berkali-kali. Sesuka poninya dia hilangkan martabatku dalam hitung-hitungannya itu. Asal saja dia menamaiku Chinaski. Astaga! Aku tak sejelek si keriput itu. Iya sih, wajahku selalu teler, tapi dulu aku gagah juga, tahu! Anais senang main gila bersamaku. Sebelum anakku si Etgar jadi gede dan suka main gila sama ibunya. Dulu aku dan Anais pernah tak tahan lalu main di tengah toko buku. Waktu itu ada semacam diskusi, orang-orang saling berlomba ngomong. Melihat kami asyik main tindih, mereka ketawa kencang-kencang. Belakangan aku tahu mereka ngobrol soal buku yang judulnya Darah Muda. Waktu orang-orang ketawa, si Dorothy muncul dengan semprotan. Dorothy. Poninya. Semprotannya. Rok bola-bolanya. Ketawa cemprengnya.
Anais masih tidur-tiduran menggelempang seolah dunia tak punya masalah. Barulah dia mengeong girang saat Eisermann, antek-antek Dorothy, datang bawa makanan. Tangan Eisermann menjulur dengan tato-tato gotik yang jelek, dan banyak. Semua tukang tatonya pasti pemabuk. Dan si Eisermann ini memasang tato setiap kali dia senewen. Pernah kudengar waktu toko buku sepi dia dan Dorothy ngobrol-ngobrol soal tato, dan hati yang karut, dan tingkatan seleb twitter, dan masalah-masalah anak muda.
Si Anais lahap melibas apa pun yang dituang Eiserman ke piring kucingnya. Sesekali ia mengeongkan kata-kata pemujaan, dasar penjilat. Sementara aku masih memandangi ruang kecil di bagian belakang toko buku, tempat si Dorothy duduk-duduk cari sejuk.
Aku hidup dari satu tong sampah ke tong sampah lain. Dari Lorong pasar, ke bawah tangga WC, ke ruang penyimpanan beras jatah orang miskin. Si Ucup, penjaga ruang beras selalu menendangku kalau aku ketiduran di antara karung. Kaki si Ucup kecil, dan tak bergizi, tapi tetap saja bikin sakit. Sampai aku ketemu toko buku si Dorothy. Dia, Eisermann, dan antek-antek lainnya senang memberiku makan, di dalam mangkuk warna jambu. Jadi aku selalu ke sana, tidur-tidur di dekat pintu rol, di dekat rak buku bekas, merasakan angin dari kipas yang bunyinya kretek-kretek. Tapi mataku tak pernah bisa lepas dari ruang belakang itu, yang oleh mereka dijadikan semacam kantor. Di sana, di balik pintu kaca itu, ada penyejuk udara. Tidur di bawah meja kerja Dorothy, atau di bawah rak bukunya, tentu enak. Tapi ruang ini seolah milik Dorothy seorang. Saat malas ketemu banyak orang, kesanalah ia menyepi, menepekuri komputer, atau buku, atau utak-atik. Pernah saat pintunya sedikit terbuka aku berniat menyelinap. Tapi Dorothy bergerak cepat untuk ukuran manusia dengan poni jelek begitu. Ia menghardikku sambil menyemprot air lalu menutup pintu. Kakiku sempat terjepit dan aku mengeong kencang. Dorothy memasang wajah menyesal, mengeluarkan suara-suara lembut dan kekanak-kanakan. Eisermann ikut mengelus-elus memastikan kakiku baik-baik saja. Aku nyaris mencakar Dorothy, tapi urung. Bagaimanapun, aku takut kelaparan. Sambil terpincang-pincang aku kembali bergerak ke ruang kantor itu, berharap belas kasihan. Dorothy menyemprotku lagi. Meong!
Besoknya, gembok di pintu roling mereka kuberaki.
Suatu kali aku tidur-tiduran di dekat Etgar yang lagi main cakar-cakaran sama Don. Don ini anak si Etgar, artinya dia cucuku, tapi dia juga anak tiriku, karena ibunya Anais. Artinya, si Don sial itu juga adik si Etgar. Ruwet. Aku panggil mereka dan meminta ide bagaimana cara mengambil alih toko buku dan mengenyahkan Dorothy. Mereka mengeong-ngeong saja tanpa satu pun usulan. Kucing-kucing, orang-orang, semua suka mengeong tanpa arti. Ada kelompok orang yang datang ke toko buku dan setiap kali ngomong, obrolan pasti dibawa kemana-mana. Mereka ini jenis yang sedikit-sedikit berfilsafat, yang jempol kakinya kotor, dengan kuku tumpang tindih. Si Dorothy kesal setiap kali mereka datang. Aku juga tak seberapa suka, sebetulnya, tapi siapa pun yang bikin Dorothy kesal, mereka temanku. Etgar dan Don masih mengeong-ngeong tanpa makna. Bagaimana cara menguasai toko buku dan tidur-tiduran di ruangan adem tanpa diganggu? Meong! Tak ada ilham!
Aku kepengin berak lagi. Tapi nantilah, kutunggu Dorothy menutup toko dan memasang gembok.
Henry “Hank” Chinaski duduk di lantai luar toko buku, sesekali menjilati kaki depannya, lalu kembali menatap lurus. Kuikuti matanya, terkunci pada ruang kantor di ujung. Seperti ada yang ditunggunya akan terjadi. Seperti kucing yang menyimpan firasat, seolah segala kebijaksanaan di dunia ada di kepalanya, dan dengan cara yang hanya dia yang tahu terhubung dengan ruang berpintu kuning di ujung, dengan kolong di bawah rak buku itu.
Oi! Ngomong lagi. Meong amat, sih!
—