Bali di sekitar hari raya Galungan masih memberikan nuansa yang tenteram. Barisan janur masih menjadi pemandangan yang khas. Keluarga kecil dalam pakaian adat, beriringan menuju pura, masih tampil sebagai wajah pulau nan indah ini. Namun hari raya Galungan kemarin juga mengingatkan akan sisi lain yang juga muncul sejak pertengahan dekade lalu. Dalam perjalanan menuju utara, berulang kali saya jumpai baliho ormas-ormas kepemudaan Bali. Memberikan ucapan selamat hari raya ataupun sekedar menampilkan logonya. Sungguh banyak. Hampir di setiap wilayah. Diantara mereka, Laskar Bali tampak menjadi kelompok yang paling mendominasi. Baliho banyak menampilkan sosok pemimpin-pemimpinnya yang rata-rata merupakan pria gempal dengan wajah sangar. Inilah, konon, para penjaga Bali dari segala ancaman luar. Merekalah, konon, para penjaga ajeg Bali. Seperti banyak ormas-ormas kedaerahan lain, mereka berkumpul dengan pernyataan misi nan mulia, menjaga ‘kemurnian’ tanah kelahirannya dari pengaruh luar yang menggerus. Andai memang begitulah adanya. Percakapan saya di hari-hari sekitar Galungan lalu dengan saudara maupun kawan-kawan perjalanan di Bali memberikan gambar yang suram. Laskar Bali tergambarkan sebagai kumpulan preman dengan afiliasi yang kuat dan cengkeraman yang kukuh di sisi gelap pulau dewata. Kelompok yang disinyalir terlibat dalam jaringan prostitusi, obat terlarang, termasuk perang antar gang di Bali. Kelompok yang mendominasi ‘penjagaan’ keamanan di klub-klub malam Bali. Artikel-artikel di The Sidney Morning Herald beberapa kali menyebut Laskar Bali sebagai “one of the most notorious gangs in Bali”. Majalah Tempo memberi judul “Puputan Preman Pulau Dewata’ dalam artikel yang menggambarkan perseteruan antar kelompok pemuda di Bali. Dan serangkaian pemberitaan negatif lainnya. Diantara Bali yang semakin hiruk pikuk.

Para Penjaga Bali? - Photo courtesy of http://laskarbaliwtc.blogspot.com
Bagi mereka yang putus asa dengan wajah murung Indonesia yang semakin dipenuhi dengan kekerasan dan kebengisan, Bali adalah Oase. Bali adalah harapan. Sebuah tempat dimana kesantunan adalah keseharian. Rumah bagi para seniman nan berbakat. Tempat dengan budaya yang mengakar kuat yang senantiasa menaruh hormat terhadap perbedaan. Benar, Bali juga memiliki tantangannya. Arus kapital yang begitu besar perlahan menempatkan penduduknya ke bangku penonton. Tergerusnya bukit nan cantik menjadi restoran atau hotel mewah. Terampasnya tanah-tanah adat oleh pemilik modal dengan kekuatan politik tak terhingga. Wilayah Kuta dan sekitarnya yang semakin semrawut dan berpolusi. Munculnya gerakan pemuda Bali yang tergerak secara kolektif mempertahankan kemurnian budayanya seharusnya menjadi sebuah harapan. Namun apakah wajah yang ditampilkan Laskar Bali bagian dari pemecahan masalah? Saat Indonesia dipenuhi premanisme, organisasi keagamaan radikal, ormas kedaerahan yang beringas, pemuda Bali bersatu, berparade, dan menampilkan wajah yang sama. Wajah bernuansa agresi dan arogansi kelompok. Mengingatkan pengunjung akan wajah lain pulau Bali saat kerusuhan pasca kekalahan Megawati, bahkan mundur jauh ke belakang saat pembantaian besar-besaran pasca 1965. Ah, seandainya gerakan dengan jumlah anggota yang semakin besar ini, dengan afiliasi yang semakin kuat di kalangan birokrasi Bali ini, memikirkan langkah yang lebih strategis untuk setia kepada apa yang diakui sebagai tujuannya. Bali yang sejahtera dan ajeg. Andai organisasi dengan potensi yang besar ini memikirkan rangkaian program yang terstruktur, tersosialisasi dengan baik, dan memiliki strategi komunikasi yang lebih baik. Ingin rasanya untuk sekedar duduk minum teh dengan teman-teman di Laskar Bali dan berbicara tentang Bali yang bersahaja. Bali yang teduh, Bali yang penuh senyum.
Saya seperti juga banyak pejalan lain adalah generasi yang penuh romantisme. Kami selalu ingin berjalan dan berbicara dengan orang-orang yang kami temui. Kami senang melihat orang-orang yang bangga akan budayanya dan menyikapi perbedaan dengan bersahaja. Kami senang menyanyi, menari dan tertawa. Kami rindu Bali yang sejuk. Kami benci preman.
Twosocks, Maret 2012
Ah, mudah2an Bali tetap damai…. seperti doa kami 3 kali sehari “Om… shanti…shanti…shanti…Om…”
lovingly written, as always, ted. 🙂
Astungkara, Rina. Salam kenal, tadi sempat liat blog yg tentang Bali. jadi kangen rumah.
Bayu, my super knowlegeable fellow, thanks man! ditunggu buku finedu berikutnya ya!
Ulasan yang menarik. Dulu sekali saya pernah ada konsep “pecalang” dan mungkin laskar-laskar ini penginterpretasian yang salah tentang itu.
Semoga Bali kembali damai.
Trims Ipung. ya, semoga Bali selalu damai tanpa kekerasan ataupun kesan akan kekerasan, dan kita para pejalan ini selalu bisa kesana kemari dan senyum-senyum. salam.
cerita yang menarik untuk disimak
mampir ya di http://unsri.ac.id
jadi keinget dan kangen ke suasana bali juga nih om,, pengen rekreasi lagi bareng temen”..
Aduh.. saya koq merasa resah tinggal dibali ya?
seiring seringnya saya temui orang2 yg berkelakuan sperti preman.. mabuk2 d pinggir jalan, orang lewat jadi takut, di tmpt2 tinggal yg slalu hingar bingar sambil mabuk tak kenal waktu, tdk memikirkan kehidupan bertetangga..
Kejadian ini benar2 saya alami.. bagaimana tanggapan anda?
napa kok pemerintah diam liat negaranya kotor dengan preman yg bau miniman kelaluan kya setan ,,memuakan ,,menjijikan …