comments 3

Sore Saat Jakarta Bersenandung

Saya dan Gypsytoes memiliki kegemaran yang agak tercela. Kami senang saat secara tidak sengaja menguping pembicaraan di sekitar. Saat bergelantungan di busway saya pernah tidak sengaja mendengar seorang pria berbicara dengan kekasihnya di telepon, “ Sayang, kamu jangan lupa makan ya. Kalau kamu sakit, siapa coba yang khawatir..? “ Atau saat Gypsytoes sedang duduk di sebuah kafe dan mendengarkan pembicaraan sekumpulan remaja, “ Elo harus bikin keputusan soal hubungan elo sama Ira. Band kita jadi taruhannya man, bentar lagi kita rekaman! “ Dan banyak lagi.  Ada yang menggelikan, membuat geram, ataupun mengharukan. Pembicaran-pembicaraan sekilas yang terkadang mengisi perjalanan kami.

Namun hari Minggu sore lalu adalah salah satu kegiatan menguping terlama kami. Di sore yang mendung itu, kami duduk-duduk di taman Suropati. Minum kopi sambil melihat pohon rindang, anak-anak berlarian, burung makan, dan kumpulan remaja yang bermain biola. Sungguh tenteram. Kami sangat mengagumi inisiatif kelompok pemusik yang menjadikan taman Suropati sebagai tempatnya berkesenian secara rutin. Taman Suropati Chamber (TSC), begitu sebutan mereka. Kelompok pemusik yang setiap hari Minggu bermusik dan membagi ilmunya pada puluhan anak di taman yang sejuk ini. Tampak di sana sini anak-anak dan remaja yang begitu antusias belajar bermain biola, cello, maupun gitar. Saat itu kami sengaja duduk mendekat ke seorang pria gondrong yang memetik gitar dan menyanyikan lagu “ Di Bawah Sinar Bulan Purnama”. Lagu lama dengan syair yang sangat indah. Seorang remaja putri rekan si pria gondrong duduk didekatnya dan menemaninya bernyanyi. Seorang pemain biola muda juga mendekat dan ikut menimpali. Jadilah mereka kolaborasi yang apik. Di antara lagu, seorang remaja tanggung mendekat. Setelah sedikit bertegur sapa, ia mulai melakukan wawancara dengan si pria gondrong. Dari sana kami tahu rupanya si pria gondrong ini adalah Agustinus Dwiharso, penggagas TSC. Dan ini adalah salah satu dari sekian wawancaranya dengan media. Saya dan Gysytoes semakin tertarik dan duduk lebih mendekat.

Di sanalah, di antara alunan biola dan petik gitar, kami mendengar visi berkesenian pria bersahaja ini. Ia bercerita bagaimana ia selalu menginginkan sebuah area berkesenian yang bebas bagi anak-anak di Jakarta. Sebuah tempat yang rindang, aman, dan sehat.  Jakarta yang semakin terhimpit oleh pusat perbelanjaan menggugahnya untuk memberikan pilihan kegiatan bermain lain bagi anak-anak. Sebuah tempat yang juga sarat akan unsur pembelajaran dan interaksi. Ia pun bercerita betapa ia ingin memperkenalkan lagu-lagu rakyat dan lagu-lagu lama Indonesia pada anak-anak. Lagu-lagu dengan syair yang santun dan nada nan indah. Dari idealismenya akan pilihan ruang berekspresi bagi anak-anak dan terlestarikannya lagu-lagu rakyat Indonesia, muncullah komunitas bermusik di taman Suropati. Komunitas kecil yang semakin lama semakin besar. Maka di setiap hari Minggu terdengarlah nada-nada lagu Gundul Pacul yang jahil ataupun lagu Indonesia Pusaka yang membuat kita merenung. Tampak pula anak anak, remaja, sampai orang dewasa dari berbagai latar belakang, begitu antusias untuk berkesenian. Pengamen, anak sekolah, anak jalanan, pemuda kantoran, ibu muda. Mereka berbaur, bercengkerama, bermusik. Pemandangan yang tenteram. Nun di sebuah sudut di antara Jakarta yang semakin berpeluh. Saya dan Gypsytoes masih terus betah mendengarnya bercerita, tentang bangganya ia saat anak asuhnya pertama kali tampil di publik, tentang cita-citanya untuk merintis komunitas-komunitas serupa di berbagai sudut Indonesia, tentang perjuangannya merintis kelompok musik ini. Dan tentu, tentang kecintaannya akan kesenian Indonesia.

Menjelang sore mendung tebal mulai menyelimuti taman. Sebentar lagi hujan lebat akan turun. Sebelum pergi saya membayar kopi kami di pedagang kopi bersepeda di dekat sana. Kopi seharga Rp3,000 saja, namun dapat dinikmati sambil duduk di taman yang rindang, melihat anak-anak yang riang, orang tua yang melamun, remaja yang bermain musik, dan alunan tembang yang mendayu. Kenikmatan yang sulit didapatkan di Ibu kota. Ah, terkadang Jakarta memiliki kontradiksi-kontradiksinya yang menyenangkan. Kami mengangguk hormat kepada Pak Agustinus Dwiharso, si pria gondrong itu, lalu melangkah menjauh.  Sambil menjauh sayup saya mendengar seorang remaja pria yang memetik gitar mengiringi rekan perempuannya menyanyikan salah satu lagu dari Lady Gaga. Hahaha terkadang remaja masa kini tetaplah remaja masa kini. Berbahagialah mereka yang muda, yang dianugerahi musik dalam hidupnya.

Twosocks, Maret 2012

3 Comments

  1. anak jakarte

    Jakarta emang tambah sumpek. beruntung ada inisiatif2 seperti ini. kudos!

  2. dustysneakers

    Haha Halo Arif!
    Anak Jakarte: iya, keren emang si bang Agustinus ini! semoga Jakarta makin rindang dan tetap berdendang

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s