comments 9

Frere Lampier yang Menyalakan Lampu di Malam Hari

Sudah lewat tengah malam saat George Whitman berjalan tertatih di ruang tengah toko bukunya. Malam itu ia sulit tidur. George — yang rambut putihnya tergerai awut-awutan — berjingkat-jingkat di antara belasan anak muda yang tidur bergelimpangan, beberapa di antara mereka penulis petualang, yang lain pejalan miskin yang mencari penginapan cuma-cuma. Saat itu awal periode 2000-an, usia George delapan puluhan. Ia tua dan rapuh, serapuh toko buku Shakespeare and Company miliknya. Di antara gelimpangan para penginap, George melihat toko buku yang gelap dan pengap, tumpukan buku berdebu dengan sampul mengelupas, kertas-kertas yang berserak, tembok dengan rembesan air – beberapa cukup banyak sehingga menciptakan genangan di lantai– juga tangga kayu sempit dan lapuk yang membuat banyak orang hampir terjungkal.

Malam itu, dan malam-malam lain sebelumnya, pikiran George kalut. Kekhawatirannya semakin menjadi; bahwa Shakespeare and Company — toko buku yang ia bangun dan rawat dengan penuh cinta nyaris sepanjang hidupnya itu — tidak akan bertahan.

Shakespeare and Company sudah melewati banyak hal; larangan berjualan oleh pemerintah, dimata-matai agen anti komunis, kebakaran, hingga para pengutil. Namun, di usia senjanya George sudah tak lagi tangkas. Jaman pun seolah bergerak jauh meninggalkannya (saat itu abad dua puluh satu dan Shakespeare and Company tidak memiliki telepon!). Tagihan semakin menumpuk, beberapa penerbit mengancam untuk menghentikan kiriman buku, bangunan dan koleksi bukunya berdebu, dan laba-laba mulai senang bersarang di banyak sudut.  George bersedih akan kemungkinan yang semakin nyata di depannya, bahwa Shakespeare and Company akan mati bersamanya.

Belum pernah ia merasa sesendiri itu.

***

George Whitman tiba di Paris pada musim gugur tahun 1946 untuk belajar di Universitas Sorbonne. Saat itu ia baru saja menyelesaikan masa wajib militernya. Selain belajar, George mendapat uang tambahan dari menyewakan dan menjual buku-bukunya yang bertumpuk hingga langit-langit kamar kosnya. Dari jual beli buku dan sisa simpanan dari masa wajib militer, ia membeli bekas toko kelontong orang Aljazair di Rue de la Bucherie dan mendirikan toko buku berbahasa Inggris. Saat itu tahun 1951 dan ia menamai toko bukunya Le Mistral. Soal asal-usul nama ini, George pernah bercerita macam-macam. Ia pernah menyebutnya sebagai nama sebuah angin di Prancis Selatan, atau nama penyair asal Cili kesukaannya, atau untuk mengenang nama gadis cinta pertamanya. Sebagai satu-satunya toko buku berbahasa Inggris di Paris saat itu, Le Mistral mulai dikenal dan menjadi tempat berkumpul para penulis, pembaca, dan para bohemian.

Le Mistral membawanya berkenalan dengan Sylvia Beach, sesama warga Amerika yang pada periode 1920-1940-an memiliki toko buku berbahasa Inggris pertama di Paris, Shakespeare and Company. George menganggumi bagaimana Sylvia menjadikan toko bukunya rumah untuk para penulis, termasuk penulis-penulis “The Lost Generation”; Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, hingga Gertrude Stein. Sylvia bahkan menjadi yang pertama menerbitkan Ulysses karya James Joyce saat tak ada yang mau menerbitkannya. Pada 1964, dua tahun sesudah Sylvia meninggal, George mengganti nama Le Mistral menjadi Shakespeare and Company untuk mengenangnya.

Semangat Sylvia diteruskan George untuk Shakespeare and Company-nya. Ia membuka pintu bagi para penulis petualang yang memerlukan tempat menginap cuma-cuma. Syaratnya hanya mereka mau membantu George menjaga toko dua jam sehari dan membuat paling tidak satu tulisan selama masa tinggalnya. George menyebut mereka tumbleweed-nya, perumpamaan yang diambil dari sejenis spora kering yang diterbangkan angin.

Dan cerita Shakespeare and Company terus berjalan; puluhan ribu penulis pengembara pernah menginap di sana, di kursi-kursi yang berubah menjadi tempat tidur di malam hari. Ada yang beberapa hari, ada yang hingga berbulan-bulan. Mereka menulis, membaca, berdiskusi, membacakan puisi, memasak semur, minum bir, pesta minum teh di hari Minggu, melamun di jendela yang menatap sungai Seine, menyapa orang asing, minum scotch, menulis, menulis, menulis.

Para penulis generasi Beat juga sempat menghabiskan sebuah masa dalam petualangan tulis menulisnya di Shakespeare and Company dan menjalin persahabatan dengan George. Di sana, William S. Burrough menulis banyak bagian dari novel Naked Lunch-nya, atau Allen Ginsberg membacakan Howl di sebuah siang di bulan April 1958. Ada pula Gregory Corso yang selain menulis puisi juga kerap meminjam uang pada George dengan menjadikan naskah bukunya yang belum terbit sebagai jaminan. Naskah yang kemudian — saat ia betul-betul bokek — ia curi kembali.

Mereka, para Generasi Beat ini, tentu membawa kisah-kisah eksentrik. Suatu kali, dalam acara pembacaan puisi bersama sekelompok penyair lain, Corso protes dan menghina puisi-puisi mereka sebagai bukan puisi sesungguhnya. Saat itu ia sedang, tentu saja, teler berat. Ketika balik ditanya seperti apa puisi yang sesungguhnya, Corso melepas semua pakaian dan mulai mendeklamasikan puisinya. Corso punya dua kawan bertubuh sangat besar dengan jenggot dan rambut tubuh yang lebat. Dua begundal itu berjaga di dekat pintu dan mengancam akan membogem siapa pun yang berani meninggalkan ruangan saat Corso sedang membacakan puisi sambil telanjang bulat.

“Itu malam yang heboh,” begitu Gregory Corso mengenangnya.

Kisah-kisah romantik tentu juga terjadi di antara rak-rak buku Shakespeare and Company. Pemuda Ian Sommerville, seorang tumbleweed, sedang tekun membaca saat sebuah buku jatuh dari rak dan menimpa kepalanya, Naked Lunch karya William S. Burrough. Beberapa hari kemudian, kejadian timpa menimpa buku ini terjadi lagi. Kali ini Ian Sommervile sedang berdiri di atas tangga, merapikan buku di rak teratas, saat tanpa sengaja ia membuat sebuah buku terpelanting dan mendarat di kepala seorang pria yang sedang melintas di bawahnya. Pria tersebut adalah William S. Burrough. Kejadian itu menjadi awal perkenalan yang membawa mereka pada percintaan yang panas.

Sophie Kho, pemudi Kuala Lumpur, bertualang ke Paris mendambakan sebuah kehidupan bohemian. Ia menginap di Shakespeare and Company dan berkenalan dengan Phillip, seorang tumbleweed lain, dua hari sebelum Phillip harus meninggalkan Paris. Mereka menghabiskan hari berjalan-jalan di sepanjang sungai Seine, minum anggur Prancis, mengudap keju di taman, menari-nari bersama musisi jalanan, berbicara panjang lebar soal buku-buku indah, juga filosofi, juga film dokumenter yang ingin dibuat Phillip. Pada dini hari – saat itu Shakespeare and Company sudah gelap — Shophie Kho berjalan mengendap-endap lalu berbaring di sisi Phillip dan menciumnya.  Mereka berciuman tipis saja, lebih tidak. Keesokan harinya, saat mengantar ke stasiun metro, kembali mereka – dua remaja pemalu itu — berpelukan dan berciuman tipis. Sampai menjelang Phillip benar-benar berlalu, Sophie akhirnya berseru memanggilnya kembali. Phillip menjatuhkan koper, menyongsong Sophie, dan mereka berciuman lagi, kali ini panas, dan berlama-lama, di antara lalu lalang manusia di stasiun metro.

“Mungkin karena ini Paris, atau karena Shakespeare,” tulis Sophie Kho di catatan yang kemudian ia tinggalkan di Shakesepeare and Company.

Puluhan ribu orang datang dan pergi, sebagian dari mereka datang lagi, dan lagi. Dari penulis-punulis tak dikenal sampai nama-nama besar seperti Henry Miller, Julio Cortazar, Adolfo Bioy Casares, hingga Anais Nin. Anais Nin bahkan begitu mencintai toko buku itu, juga George Whitman, sampai-sampai Nin meninggalkan wasiatnya di bawah tempat tidur George.

Maka kisah-kisah dituliskan, romansa merebak di udara, gelas anggur didentingkan, puisi-puisi diciptakan dan dibacakan, pertemanan dibuat, kalimat-kalimat indah dirayakan.

Dan semua itu berpusat pada George, si pria Amerika berjenggot kambing.

***

George Whitman adalah pribadi yang eksentrik. Ia senang membuatkan sarapan panekuk untuk tamu-tamunya, ia mencukur rambut dengan membakarnya dengan lilin, ia kerap mengundang orang-orang – baik yang ia kenal maupun tidak — untuk sebuah pesta minum teh atau anggur. Walaupun, di tengah-tengah pesta, George sering tiba-tiba menghilang ke belakang, membaca buku sendirian. Ia begitu menyukai penulis-penulis yang ia anggap berbakat. Walau Gregory Corso kerap mengutil, George selalu menganggapnya kawan dekat dan menerimanya dengan tangan terbuka, kapan pun. Namun demikian, George sesekali meminta salah satu tumbleweed mengawasi Corso. Saat suatu hari Henry Miller putar-putar Paris dan mampir di toko bukunya pada pukul dua dini hari, George membangunkan semua tumbleweed yang tidur, memberi mereka anggur, dan memaksa mereka mendengarkan Henry Miller ceramah soal buku.

Keseharian George yang eksentrik adalah juga hal yang dikenang manis oleh teman-temannya. Erica Lowe, seorang tumbleweed, bercerita soal pertemuannya dengan George. Saat itu ia sedang celingak-celinguk melihat buku ketika George menghampiri dan menawarkan es krim stroberi yang baru saja dibuatnya. Belum sempat Erica Lowe menjawab, George sudah berlalu dan kembali dengan segelas es krim dan sendok. Sambil menyerahkan es krim, George berkata,

”Nah, sekarang tugasmu menjaga toko. Aku perlu pergi ke beberapa tempat untuk mengambil buku. Sore nanti aku kembali.”

Erica Lowe kebingungan dan hanya sanggup menerima saat diserahi beberapa kunci, mungkin kunci laci uang atau apa, sambil memperhatikan George berlalu. Beberapa saat kemudian kepala George muncul lagi dari balik pintu.

“Dan katakan pada semua yang datang, besok malam ada pesta minum teh di sini.“ Lalu ia pergi lagi.

Penulis Christopher Cook Gilmore juga menulis tentang pertemuan pertamanya dengan George. Saat itu tahun 1968, di Prancis sedang terjadi revolusi kebudayaan dan Christopher adalah bagian dari para demonstran, pemuda-pemuda dengan semangat meledak-ledak itu. Christopher muda sedang lari terbirit-birit oleh kejaran aparat yang mementungi para demonstran dan menghujaninya dengan gas air mata. Saat ia berbelok ke Rue de La Bucherie ia melihat toko buku kecil dengan lampu yang masih menyala dan seorang pria berjengot kambing di dalamnya. Christopher menggedor pintu dan George membukakannya, menggiringnya masuk lalu mematikan lampu. Dari dalam mereka memperhatikan polisi yang melewati jalanan dengan perisai dan pentungan. Nafas Christopher memburu dan ia merasakan pundaknya disentuh dari belakang.

“Bukankah ini, anak muda, momen paling dahsyat dalam hidupmu?” Kata George.

Shakespeare and Company sempat menghadapi musibah kebakaran pada tahun 1990. Tak ada yang betul-betul menjelaskan asal mulanya, tetapi api menjalar lalu membakar sebagian besar bangunan dan buku-bukunya. George sempat demikian patah hati melihat buku-buku yang menjadi abu, kertas-kertas hangus yang basah tersiram air, pecahan kaca yang bertebaran, langit-langit yang berlubang, dan bangunan yang nyaris runtuh. Dalam kesedihannya ia berkata pada semua orang bahwa malam itu ia akan tetap tidur di dalam bangunan dengan bekal satu kantung tidur saja. Keesokan harinya, dibantu beberapa tumbleweed yang sedang ada di sana, George memilah buku-buku yang masih tersisa dan menjemurnya di bawah matahari. Sehari sesudah kebakaran, Shakesepeare and Company tetap buka, walau sedang sangat koyak.

Saat itu kecintaan orang-orang pada George dan toko bukunya terlihat. Tak lama berbagai kegiatan penggalangan dana untuk membangun kembali Shakespeare and Company merebak. Ratusan penulis bergerak melakukan pembacaan karya. Allen Ginsberg memelopori acara di New York. Sahabat George, Lawrence Ferlinghetti – pendiri toko buku City Lights – melakukan inisiatif di San Fransisco.  Berbagai kegiatan serupa juga dilakukan di Boston, Paris, dan London, juga penerbitan beberapa jurnal sastra yang pendapatannya seluruhnya digunakan untuk membangun kembali Shakespeare and Company dan mengembalikan koleksi buku-bukunya. Perlahan, George bersama sahabat-sahabatnya berhasil membuat Shakespeare and Company kembali berjalan normal.

Pada tahun 1994 Allen Ginsberg melakukan pembacaan terakhir karya-karyanya di pintu depan toko buku. George memberi sambutan yang emosional sebelum pembacaan dilakukan Allen, sahabatnya yang pertama kali mebacakan puisinya di sana empat puluh tahun sebelumnya. Lebih dari seribu orang memadati Rue de la Bucherie malam itu.

Namun, menjelang periode sembilan puluhan berakhir, usia semakin menggerogoti George, juga toko bukunya. Sahabat-sahabatnya banyak yang telah meninggalkannya. Allen Ginsberg meninggal pada 1997, juga William S. Burrough pada tahun yang sama. George mulai khawatir akan kelanjutan Shakespeare and Company. Ia sempat menawarkan toko bukunya pada milyuner George Soros, sempat pula nyaris membiarkan toko bukunya digabungkan dengan yayasan City Lights milik Lawrence Ferlinghetti. Tapi George pada dasarnya tidak ingin Shakespeare and Company tamat atau pun menjadi milik orang lain. Maka tinggallah ia sendiri, dengan wajah keriput dan rambut putih awut-awutan, bersama toko bukunya yang berdebu, dengan kertas berserakan, tangga rapuh, dan tembok dengan rembasan air.

Hingga sebuah musim panas saat Sylvia Whitman akhirnya pulang.

***

Putri George satu-satunya, Sylvia Whitman (tentu saja George menamainya Sylvia) lahir pada 1981 dan tumbuh di tengah keriuhrendahan Shakespeare and Company. Sylvia kecil berbagi es krim dengan Allen Ginsberg, atau menyantap panekuk buatan George bersama paman Gregory Corso yang masih belum betul-betul sadar dari pesta semalam suntuk. Di pagi hari ia mengekor saat George membangunkan para tumbleweed yang masih bergelimpangan saat matahari sudah tinggi. Dan di malam hari ia duduk di kursi kecil melihat orang-orang yang memandang kagum penulis entah siapa yang membacakan karyanya dan berdiskusi kesana-kemari di antara denting-denting gelas anggur. Sylvia melihat begitu banyak orang yang mondar mandir, datang dan pergi, di toko buku sekaligus tempat tinggalnya bersama sang ayah.

Sylvia bergembira akan banyak teman baru yang ia temui. Seperti terhadap toko bukunya, George terkadang menitipkan Sylvia dengan seenaknya pada pengunjung kebingungan yang baru tiba. Namun, Sylvia masih terlalu muda untuk segala keeksentrikan dan ketidakteraturan itu. Orang-orang yang datang dan pergi, pintu-pintu yang selalu terbuka dan meniadakan privasi, teman-teman baru yang harus pergi meninggalkannya beberapa bulan saja sesudah Sylvia mulai merasa dekat, semua itu perlahan membuat hidupnya tak tenang dan bingung. Saat menginjak remaja, Sylvia memutuskan untuk menetap di Inggris, bersekolah di sana dan menciptakan kehidupannya sendiri. Ia menginginkan kehidupan di mana setiap pagi ia tidak harus menemukan hippie Skandinavia entah siapa sedang terkapar di ruang tengahnya. Perlahan jarak menjauhkan mereka secara emosional. George memendam keinginan agar Shakespeare and Company bisa diteruskan Sylvia, tetapi ia tak berani berharap, dan perlahan mulai putus asa.

Namun, bersama semakin senjanya usia George, Sylvia mulai berkeinginan untuk — selagi bisa– lebih dekat dengan sang ayah. Pada awal tahun 2000, Sylvia menghabiskan libur musim panasnya di Shakespeare and Company. Rencana kepulangan yang hanya untuk menghabiskan libur berkembang menjadi lebih lama. Suatu pagi, Sylvia secara tak sengaja menemukan tumpukan surat George untuknya. Surat-surat itu tak pernah terkirim. Di sana ia menyadari bahwa George ingin untuk lebih dekat dengannya, walau – dengan segala kerumitan cara berpikir George – urung untuk ia tunjukkan. Maka Sylvia memutuskan untuk tinggal lebih lama, menghabiskan lebih banyak waktu bersama George, mengenal lebih dekat ayahnya sebagai dua orang dewasa.

Perlahan Sylvia menyadari bahwa George dan toko bukunya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Mengenal dan mencintai George adalah juga berarti mengenal dan mencintai Shakesepeare and Company. Sylvia mulai mengulurkan tangan membantu George membawa keteraturan kembali ke dalamnya dan mencoba mencegah kerja cinta seumur hidup sang ayah hilang begitu saja.

Salah satu yang dilakukan Sylvia di periode awalnya di sana adalah hal-hal mendasar seperti memasang telepon, membeli komputer, memperbaiki toilet dan tangga, dan memasang mesin pembayaran kartu kredit (George selama ini masih menelepon penerbit di Amerika dengan telepon umum dan menggunakan kartu kredit bekas hanya untuk mengakali pintu yang tak sengaja terkunci). Saat merapikan pembukuan, Sylvia menemukan data penjualan dari tanggal 30 dan 31 Februari.  Sylvia juga memastikan semua uang kas masuk brankas. Dulu George kerap menaruh uang di antara halaman buku dan melupakannya begitu saja. Suatu kali seorang pelanggan membeli buku yang murah dan menemukan berlembar-lembar uang terselip di dalam saat ia membacanya di rumah.

George pada awalnya menolak segala perubahan yang dibuat Sylvia, memakinya dengan sebutan Margareth Thatcher, walau akhirnya mengalah juga. Transisi ini jelas tidak melulu mulus. Saat Sylvia merapikan letak buku-buku, George kerap bangun tengah malam dan mengembalikannya ke posisi semula. Saat Sylvia memindahkan buku-buku penulis Rusia dari dekat jendela yang memandang sungai Seine, George memaksa untuk mengembalikannya dan mengatakan buku-buku Rusia itu cocok berada di sebuah sudut yang romantis. Saat Sylvia mengambil buku-buku yang tercecer dan menambah jumlah tumpukan buku di rak lorong toko, George menghardiknya,

“Kalau kau menumpuknya seperti itu, orang tidak akan bisa melihat pengunjung lain di lorong seberang dan jatuh cinta. Kau menghilangkan romansa yang mungkin terjadi!”

George bergembira akan datangnya Sylvia, juga akan harapan yang didapat kembali oleh Shakespeare and Company. Namun, George tak pernah terang-terang mengatakannya, mungkin ia takut menumpuk harapan. Pada masa awal kedatangan Sylvia, George bahkan memperkenalkan Sylvia sebagai pemain teater dari Inggris yang sedang berkunjung. Tentu tak seorang pun percaya, wajah Sylvia jelas mirip dengan foto gadis cilik berambut keriting yang dipajang George di berbagai sudut. George terus menentang setiap kali Sylvia mengemukakan ide-ide perbaikan toko buku. Sampai pada suatu malam di bulan Desember 2005, di perayaan ulang tahunnya yang ke-92 di lantai dasar Shakespeare and Company, George mengucapkan pidato yang emosional,

“Jauh pada tahun 1600-an, bangunan ini adalah sebuah biara bernama La Maison du Mustier. Setiap biara selalu punya Frere Lampier, seseorang yang bertugas menyalakan lampu saat malam tiba. Aku sudah melakukannya selama lebih dari lima puluh tahun, dan kini, giliran putriku.”

Dan George Whitman menyerahkan secara penuh Shakespeare and Company – buah cinta seumur hidupnya — kepada putrinya, Sylvia Whitman.

***

Sylvia betul-betul meneruskan semangat ayahnya. Setelah hal-hal dasar dirapikan, pembukuan, toilet, rak-rak buku, dan sejenisnya, Sylvia menggagas FestivalandCo, sebuah festival sastra selama delapan hari bertutut-turut. Tema festival pertama itu “Lost, Beat, and New”, adalah untuk merayakan generasi-generasi penulis yang memiliki hubungan dekat dengan Shakespeare and Company. Festival yang digagas Sylvia sukses besar dan menghubungkan kembali toko bukunya dengan generasi penulis yang lebih baru, mulai dari Dave Eggers, Jonathan Safran Foer, Craig Taylor, hingga Zadie Smith.

Shakespeare and Company kembali bergairah, ia juga menjadi tempat ayah dan anak membagi momen intimnya. Sekali waktu George masih turun dari kamarnya di lantai atas toko buku, dengan piyama dan rambut putih awut-awutannya, memberi perintah kepada para tumbleweed yang berkeliaran, sementara Sylvia memandanginya sambil tersenyum geli. Sylvia pun, saat sedang ruwet dengan urusan toko buku, naik ke kamar George pada malam hari, berbaring di sampingnya, saling berbicara atau membacakan buku. Untuk Sylvia Ini menjadi semacam meditasi.

“Momen-momen ini mengingatkanku kembali ke hal-hal sederhana yang penting: cinta, senda gurau, dan buku-buku,” ujar Sylvia.

George Whitman meninggal dengan tenang di kamar tidurnya pada bulan Desember 2011, dua hari sesudah ulang tahunnya yang ke-98. Ia dikuburkan di Pere Lachaise, salah satu tempat paling romantis di Paris, berdekatan dengan kuburan Jim Morrison. Berita meninggalnya George memancing reaksi haru dari berbagai belahan dunia. Surat ucapan bela sungkawa dan pesan cinta berdatangan dari mana-mana. Shakespeare and Company adalah rumah yang begitu dicintai puluhan ribu pembaca dan penulis yang pernah bersinggungan dengannya. Begitu banyak kisah manis, eksentrik, dan mengharukan yang muncul di dalamnya. Banyak yang tertulis dalam jurnal-jurnal yang berceceran di sana, lebih banyak lagi yang diceritakan dari mulut ke mulut. Shakespeare and Company dilahirkan, dan dirawat oleh seorang yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk toko buku dan karya-karya indah. George ingin menjadikannya sebagai – dalam istilahnya – dunia sosialis utopis dalam wujud sebuah toko buku.

Dan ia berhasil.

Sepeninggal George, Sylvia masih terus bergerak, mengabdikan hidupnya untuk toko buku peninggalan ayahnya. Di sana pula ia berkenalan dengan David Delannet yang pertama kali melihat Sylvia dari balik kaca jendela Shakespeare and Company. Sylvia dan David menikah, dan bersama-sama merawat toko buku itu. Bersama Sylvia, Shakespeare and Company tidak lagi sebohemian dulu. Ia dan David menghadirkan keteraturan di sana, sesuatu yang mungkin dibutuhkan untuk bertahan di masa sekarang. Mereka meneruskan tradisi pembacaan karya, mengelola festival dua tahunan, memperbesar bangunan toko buku, menerbitkan jurnal, hingga menggagas penghargaan untuk karya novela, The Paris Literaray Prize. Sylvia mempertahankan tradisi tumbleweed George, walau jumlahnya lebih dibatasi sekitar enam penulis pada saat yang sama.

Sylvia dan David juga mendirikan sebuah kafe di sisi toko buku, dengan jendela yang menghadap gereja Notre-Dame. Suatu hari, saat Sylvia dan David membuka-buka berkas, mereka menemukan sebuah wawancara George dengan majalah Holiday edisi 1969, di mana George menyatakan cita-citanya untuk suatu hari mendirikan semacam Literary Cafe di dekat toko bukunya.

“Semua makanan akan dimasak di bawah pengawasanku. Karena, kau tahu, hanya ada satu saja cara membuat pie lemon yang enak,” kata George saat itu.

Shakespeare and Company masih berjalan, masih akan menciptakan kisah-kisah manis, dan merayakan kecintaan akan karya-karya indah. Sylvia misalnya, sering meminta pengunjung untuk menuliskan kalimat-kalimat alasan mengapa sebuah buku menarik. Di kemudian hari, Sylvia menyelipkan catatan itu di antara halaman jika judul yang sama dipesan oleh pembeli lain di luar negeri.

Sylvia berkata, setiap pagi saat membuka toko bukunya, ia membayangkan sosok ayahnya sedang berdiri di dekat jendela, memandangi kota Paris di pagi hari. Kemudian sang ayah berpaling ke arahnya lalu berkata sambil mengerling, “Kekacauan apa yang akan kita buat hari ini?”

___

 George Whitman

 

Tulisan pertama kali dimuat di Pocer.co

Foto fitur diambil dari situs Washington Post. Foto George Whitman muda diambil dari buku “The History of the Rag and Bone Shop of the Heart”.

9 Comments

  1. er_ikaa

    Walaupun gak ada signature ini Twosocks atau Gypsytoes, saya tau pasti yang nulis ini Twosocks, iya kan? (langsung check ke Pocer.co dan tebakannya benar! hehehe).

    Sudut pandang sisi humanis dan kalimat-kalimat sederhana yang mengalir rasanya jadi ciri khas Teddy nih, please, posting lebih sering doong ^^

  2. Ariesusduabelas

    Belakangan jadi gemar membaca apa karena tulisan blog ini ya. Jadi gemar pergi ke perpustakaan daerah demi membaca buku-buku klasik. Jujur saja, saya gak tahu menahu siapa George Whitman, tapi terasa semangatnya.

    Btw, jika dicetak di halaman A4 dengan format standar penulisan paper, tulisan Bli Teddy jadi delapan lembar lho.

  3. kau menggambarkan George dengan brilian, Bli.
    dan senang sekali bisa punya buku Shakespeare ini, semoga project-mu berikutnya semenyenangkan ini, ya. :*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s