Mereka yang mencintai buku-buku indah tentu pernah berkeinginan untuk suatu hari mendirikan perpustakaan. Rumah buku yang dikelola dengan bersahaja, di mana siapa pun boleh datang membaca, berdiskusi, merenung, dan jatuh cinta sekaligus terbakar dengki akan bagaimana para penulis hebat merangkai narasi dengan cara yang tak ia pikirkan sebelumnya. Perpustakaan dengan bilik beraroma buku tua, teras dengan bangku yang diposisikan tepat di mana angin bertiup semilir, dan harum kopi yang menemaninya membaca. Saat khayalan ini dibiarkan semakin menjadi, maka akan terdengar pula cicit burung di sela-sela musik masa lalu dari pemutar piringan hitam tua.
Terberkatilah Ariani Darmawan dan Budi Warsito yang — tidak seperti saya semata-mata mengkhayalkannya– benar-benar mewujudkan mimpi romantis ini. Telah sepuluh tahun rumah buku mereka, Kineruku, berdiri di jalan Hegarmanah Bandung yang rindang. Perpustakaan yang menjadi rumah bagi empat ribu lebih buku-buku sastra, sejarah, seni, hingga filsafat. Buku-buku yang dikumpulkannya dengan penuh cinta mulai dari karangan-karangan Anais Nin, J.D. Salinger, Mochtar Lubis, Abdul Muis, dan banyak lagi. Tak hanya buku, sang pendiri dan pustakawan Kineruku ini juga penggemar film. Mereka tak berkeberatan membaginya untuk siapa pun yang hendak merayakan bagaimana film-film indah pernah dihasilkan. Di raknya saya melihat To Kill a Mockingbird dari tahun 1962 di mana Gregory Peck berperan sebagai Atticus Finch yang budiman, American History X di mana Edward Norton dengan garang menginjak kepala musuhnya dari belakang setelah sebelumnya si korban malang dipaksa tengkurap dengan posisi mulut menggigit trotoar, hingga Lovely Man karya Teddy Soeriatmadja yang membuat saya dan Gypsytoes hendak menangis saja saat menontonnya.
Kineruku adalah bangunan rumah tua yang dijadikan perpustakaan. Ia menyediakan referensi buku, CD musik dan film, sekaligus toko barang antik. Ada taman belakang yang kerap dijadikan tempat duduk membaca, omong-omong, atau menonton pagelaran musik akustik. Gypsytoes terlihat seperti anak kecil yang antusias di sini. Ia mengobrak abrik koleksi Kineruku untuk kemudian duduk di bangku di taman belakangnya. Halaman di mana sesekali terdengar cicit burung itu.
Saya pun jadi ikut-ikut antusias. Yang saya temukan pertama adalah kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom berjudul “Rumah Kopi Singa Tertawa”. Judulnya betul-betul menarik hati. Isinya juga sedap. Ada kisah di mana sang narator merawat iparnya yang sakit kanker namun ia sendiri yang akhirnya mati duluan oleh ledakan tabung gas, ada pula seseorang yang teringat dosa masa lalunya di mana ia menggetok kepala anak buta, atau tentang penulis yang karyanya hendak diluncurkan namun sedang gundah karena bentuk tubuhnya sedang memalukan. Kisah-kisahnya ditulis dengan unik, ganjil, jenaka, sekaligus membuat tercenung-cenung. Mas Yusi ini sepertinya senang mengajak kita untuk jadi sedikit nyentrik.
Saya juga menemukan buku berusia lanjut, Catatan Subversif, karya Mochtar Lubis. Buku yang berisi catatan harian wartawan pemberani itu saat 10 tahun berada dalam tahanan rezim Soekarno. Kertas buku yang menguning dimakan usia seolah menghadirkan kembali getaran emosi penulis saat ia dulu menuliskannya. Saat ia diseret dan dibenamkan ke balik jeruji rezim yang tak henti dikritiknya itu. Saya jadi ikut bertanya-tanya, apa ya yang dirasakan manusia di detik-detik saat ia mengetahui kebebasannya sedang dirampas? Apa ya yang benar-benar dirasakan sang pengarang, atau Hatta, Sjahrir, Pram dan semua pemberani itu saat pada sebuah masa digelandang ke dalam lembabnya penjara? Gentar? Was-was? Mochtar Lubis bilang, ia merasa biasa-biasa saja. Malah ia kepingin melihat bagaimana perlakuan penjara di masa pemerintahan yang baru ini. Ah, beliau ini bergaya sekali.
Saya memesan gelas kopi kedua dan pisang goreng yang disajikan di dalam piring tua seperti yang dulu dimiliki nenek. Saat itulah mata ini tertumbuk pada komik dari masa kanak-kanak dulu. Komik wayang Arjuna Sasrabahu karya R.A. Kosasih. Saya ingat malam-malam di masa kanak-kanak saat saya mengikuti kisah-kisah wayang dengan tekun. Kisah Arjuna Sasrabahu adalah salah satu yang membuat saya menangis tersedu. Saat Arjuna Sasrabahu, titisan Wisnu ini, harus gugur dengan menyedihkan ditangan pertapa petualang Rama Bergawa, atau saat Sukasrana, titisan Batara Dharma, yang berwajah buruk namun berhati mulia harus meninggal ditangan Sumantri, kakaknya sendiri. Saya ingat bagaimana dulu bersedih saat membacanya.
Siang hari hingga menjelang gelap itu, Kineruku, seperti halnya banyak sudut Bandung, membuat saya merasa tenteram. Ia membawa saya ke kenangan masa kanak-kanak dari komik-komik R.A. Kosasih, juga ke masa-masa bergolak dari tulisan Mochtar Lubis, hingga karya-karya baru yang segar dan ganjil ganjil dari Yusi Avianto Paraneom. Di kursi di bawah pohon sana, saya lihat Gypsytoes juga sedang asyik sendiri dengan tumpukan bukunya. Wajahnya menampilkan raut yang muncul saat suasana hatinya sedang girang. Jadi saya biarkan saja dia di sana.
“Kenapa mukamu berkerut-kerut begitu?” tanya Gypsytoes malam itu di mobil tumpangan menuju Jakarta.
“Tidak apa-apa. Aku cuma berpikir, walau tak lagi sesejuk dulu, Bandung masih saja dahsyat ya? tadi aku senang sekali di Kineruku.“
“Terberkatilah geng Kineruku itu. Setiap ke Bandung kita akan geratakan di sana.”
“Tapi mau tak mau aku merasa payah juga,” ujar saya. “Pertama, mereka betulan mewujudkan ide bikin perpustakaan. Kedua, banyak sekali buku yang sudah mereka baca. Aku langsung merasa cetek.”
Gypsytoes menunjukkan gestur menghibur namun tidak membantah betapa saya ini cetek. Anak itu kadang suka cari gara-gara. Akhirnya dari pada nelangsa, ia meminta saya menceritakan soal Arjuna Sasrabahu dan kenapa dulu kisahnya sampai bikin saya tersedu-sedu segala. Jadi itulah yang saya lakukan. Saya tuturkan padanya kisah perang tanding dahsyat Arjuna Sasrabahu dan Sumantri, juga kisah Sukasrana yang membantu memindahkan taman dari kahyangan ke mayapada, hingga kisah gugurnya mereka dengan cara-cara yang membuat pedih.
“Ah, aku tak suka,“ katanya di akhir kisah. ”Si Arjuna Sasrabahu ini kerjanya petantang petenteng saja. Sementara Sukasrana, dia seperti anak obsesif yang gemar cari sial.”
Anak itu sialan sekali. Rupanya ia memang berniat cari gara-gara. Jadilah, sepanjang perjalanan balik ke Jakarta, ia saya diamkan saja.
Twosocks
suami istri yang aneh :))))
Ah masa sih, Vir? 😉
cool! main ah kesana klo pulang ke Bandung nanti. Kepengen baca tu buku karya Mochtar Lubis. Kalau menurut saya merasa cetek itu bagus, hanya harus merasa ingin diisi. Daripada merasa sudah meluap tapi ternyata cetek hihihi.
Masalahnya saya ini sering cetek betulan, haha. Ayo Andine! mainlah ke sana jika pulang ke Bandung. Toko-toko buku independen Bandung memang juara! Eh btw baru2 ini saya juga baca buku Mochtar Lubis yg lain, Senja di Jakarta, bagus sekali. Fiksi ttg kehidupan sosial dan politik di Jakarta tahun 1950an. Buku yg ini sepertinya akan lebih mudah didapat, baru dicetak lagi oleh Yayasan Obor.
Pasti tidak secetek-cetek amat kok, kalau tulisannya sebagus ini.
Iya iya, kalau pulang selalu ke bandung separuh keluarga dari sana dan banyak temen juga sih disana. hihi pastinya akand datang. Oia? Nanti nitip ah sama ibuku. Makasih untuk tipsnya.
Keren, baru tau ada tempat beginian di Bandung, cuti ini langsung meluncur ke sana ah, makasih untuk sharing-nya, tadi sempet baca2 sedikit website-nya kineruku, emang keren.
*ke mana ajah gw selama ini? Gramedia, cari komik, kekekekeke*
Haha omong2 di Kineruku juga ada komik2 yg ciamik, waktu itu si Gypsytoes girang benar ketemu komik Calvin and Hobbes 😀 eh baru tahu kalau Yuna dari kakak beradik Ewank-Yuna juga punya blognya sendiri.Dahsyat!
Hai hai, iyah,
mumpung kerjaan agak ringan di kantor baru, kekekeke,
iyah nih masukan yang menyenangkan, pas banget mau ke Bandung ama Jakarta cuti ini. Biasanya cuma nyamper Palasari ama Togamas, yah kalo gak ada di sana baru Gramedia, Minim.
Reblogged this on Boneka Ketujuh and commented:
One of my favorite post on one of my favorite blog…
suka banget dengan paragraf pembukanya. btw, saya agak kaget, ternyata rumahnya sudah beralih ke dot.com, bikin orang jadi gak santai aja nih 😥
Trims Adie. Senang mengetahui tulisannya diterima dg baik 🙂
Beberapa waktu lalu kami kebanyakan waktu luang, jadi iseng mengubah-ubah tampilan sedikit hehe
Adalah ketidaksengajaan yang mendamparkan saya di Kineruku. Awalnya mencari Garasi Opa, cukup jalan kaki dari Ciumbuleuit, karena Google Maps bilang jaraknya tidak jauh. Tapi saya tidak antisipasi jika trek-nya naik turun dan curam, hahaha *betis langsung nyut-nyutan*
Anyhow, bagai menemukan harta karun berada di Kineruku, dan ia kelak menjadi kunjungan wajib saya setiap ke Bandung.
Btw, I like your blog. You guys awesome! 🙂
Beruntunglah mereka yang di Bandung! Kami pun akan selalu rutin ke sana. Omong2, kami baru mendapat kiriman dari Kineruku sebuah karya Sherman Alexie yang diterjemahkan Yusi Avianto Pareanom menjadi “Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga” Menarik sekali bukan?
Terima kasih Gio sudah menyukai blognya, tulisan-tulisanmu pun apik sekali 🙂
ah penceritaannya menyentuh sekali…Bandung dan buku, hal yang ngangenin dari bandung..:)
Terima kasih,Tepihorizon, yang foto-fotonya selalu saja dahsyat 🙂
Kami pun sudah mulai kangen Bandng lagi. Kota ini, bersama buku-buku indah, selalu membuat perasaan menjadi melankolis,ya?
iya euy,,Bandung, buku, udara sejuk (masih ga yahh kalo siang hari..:D ) dan secangkir kopi…wuihh..:)
Seinget saya, di kineruku bagian dalam ada tanda ga boleh difoto bukan?hehe *nah lo*
btw salam kenal, Saya pembaca baru.Tulisannya keren-keren! 🙂
Ups begitu ya? wahh saya tak lihat mungkin, tetapi seingatku waktu itu izin dulu kok. Salam kenal Maria Ulfa, terima kasih ya sudah menyukai catatan-catatan kami 🙂
Kak Gypsitoes dan Twosocks, envyyy, you two are soo awesome:)
I will coming again next day, for what? to read all of your story of course.
Thx for this lovely and isnpiring blog ~
Terima kasih banyak, komentarmu manis sekali. Selamat membaca 🙂
Pingback: Taman Baca Kesiman | The Dusty Sneakers
Pingback: In Between Adieu and Hello | The Dusty Sneakers
tulisannya asik2 nih, salam kenal
Please visit http://act.id for For volunteerism, philantrophy dan humanism #LetsHelpRohingya