comments 13

Gadis Cilik “Why Not” dan Ingatan Acak Akan Siem Reap

Saya bertanya hal pertama yang muncul dalam ingatan Gypsytoes saat mengenang perjalanan kami di Siem Reap. Secara ajaib, anak yang sedang duduk mengantuk di sofa ini mengingat hal yang persis sama dengan saya. Bukan megahnya Angkor Wat atau sekelumit kisah perang Kamboja yang kami telusuri di sana. Ia mengingat si gadis cilik “Why Not” yang jahil itu.

Ini bukan kisah yang menggetirkan, atau kisah yang lucu berkepanjangan, ini hanya sebuah percakapan sekilas yang terjadi saat kami berdua duduk-duduk minum teh di sebuah warung di sekitar area Angkor Wat. Saat itu seorang gadis kecil mendekati kami,

“Hello Saaah, would you buy my postcards?” kata si gadis kecil menyodorkan setumpuk kartu pos bergambar Angkor Wat.

No, thank you, “ jawab Gypsytoes sopan.

Pleeaaasse, I don’t want your thank you, I want you to buy my postcards” kata si gadis kembali menyodor-nyodorkan katu pos nya. Jurus apa ini yang sedang ia lancarkan?

But I don’t want to buy your postcards. “kata saya. Saya ingat gadis cilik itu memiliki wajah mungil dan mata yang jahil.

Why nooooootttt?” jawabnya merengek. Nada “why not” nya diucapkan dengan panjang serta mendayu-dayu naik turun.

“I’m sorry little lady, but I’m not going to buy it.”

I don’t want your sorry. I don’t want your thank you. I want you to buy my postcards.” Ia masih merengek, matanya berkilat-kilat nakal.

But I won’t buy it.”

Why nooooootttttt?” kembali ia memperdengarkan “Why not” dengan nada panjang yang mendayu itu.

Because I won’t” kata saya menahan tawa.

“Why nooooootttt?” kali ia memekik.

Dan pecahlah tawa saya dan Gypsyotoes. Kami sering menemui pedagang yang mendesak-desak dan biasanya kami tak terlalu menggubrisnya. Tapi gadis kecil ini tampak jenaka dan kami senang bermain-main dengannya. Jadilah percakapan berulang-ulang di sana. Kami menyatakan tidak hendak membeli dan ia mendesak dengan kata “why not” yang panjang mendayu. Begitu terus.  Bahkan saya tidak ingat lagi apakah akhirnya kami membeli kartu pos gadis kecil jahil yang tak kenal menyerah itu.

Perjalanan ke Siem Reap telah berlalu hampir dua tahun. Tidak seperti biasa, saya belum membuat catatan tentangnya. Karenanya saat sore ini Gypsytoes dan saya tiba-tiba mengingat-ngingatnya kembali, berbagai potongan gambar berkelebat acak.

Saya tidak ingat lagi rinci kisah kuil-kuil di Angkor Wat yang saat itu secara tekun saya baca dan telusuri. Namun, saya ingat sebuah hal yang lewat di kepala saya pada sebuah pagi, saat matahari baru saja terbit, di mana kami berjalan di salah satu gerbangnya. Saya ingat berkhayal sebagai seorang prajurit Majapahit yang sedang membawa pesan lontar dari Maha Patih Gajah Mada untuk penguasa kerajaan Angkor yang sedang berkegiatan di salah satu kuilnya. Saya membayangkan gerbang dan lorong ini berabad-abad lalu, di mana barisan obor berjajar dan pria-pria kekar penjaga gerbang bertanya keperluan saya. Akankah mereka gentar saat saya katakan saya diutus Gajah Mada?

Saya juga ingat bahwa Siem Reap adalah tempat di mana pertama kalinya saya dipertemukan dengan si Curly Hippie, sahabat terbaik Gypsytoes selama di Belanda dulu. Saya ingat perasaan menjelang menjumpainya terasa seperti hendak bertemu calon mertua. Saya takut saya tidak menemukan kecocokan dengan sebuah sisi hidup lain dari Gypsytoes ini. Saya tidak ingat lagi hal-hal detil yang kami percakapkan dengan si Curly Hippie, namun saya ingat betapa lega rasanya saat saya menemukan kecocokan dan langsung merasa dekat dengannya. Saya selalu senang bertemu orang yang bercakap dengan api di matanya. Saya ingat ia begitu berapi-api bercerita tentang penelitiannya mengenai korban-korban ranjau darat di Kamboja atau serdadu anak-anak di Sierra Leone. Api yang sama yang saya lihat jika Gypsytoes berbicara soal kesetaraan gender atau gerakan anak muda. Saya ingat ia juga berbaik hati menampung kami dalam kamarnya yang sempit di Siem Reap agar kami bisa menghemat biaya hotel.

Momen-momen lain pun bermunculan secara acak. Saya tidak ingat lagi detail hal-hal yang kami lihat dan baca saat mengunjungi museum-museum perang atau museum ranjau darat dimana disimpan ribuan ranjau yang dijinakkan seorang jagoan bernama Aki Ra. Namun saya ingat sebuah momen ketika Gypsytoes berdiri di dekat sebuah bangkai pesawat tempur, saat ia bertanya kepada saya dengan wajah yang serius dan penuh ingin tahu, “ How do you think you will want to die?”.

Acak sekali.

Saya tak ingat betul apa yang saat itu kami liat dan bicarkan. Namun saya hanya mengingat sebuah potongan gambar yang begitu jelas. Gypsytoes dengan baju putih dan celana pendek krem, bertanya bagaimana saya ingin meninggal dunia nantinya.

Saya tidak ingat lagi dengan pasti hal-hal yang kami komentari saat berjalan-jalan keliling kota dengan tuk-tuk, tapi saya ingat  kami senang sekali bermain Zitch Butterfly. Rupanya di jalanan sekitar Angkor Wat banyak terdapat kupu-kupu aneka warna. Jadi kami membuat permainan dimana begitu ada kupu-kupu yang tampak kami harus berlomba untuk meneriakkan Zitch Butterfly terlebih dahulu. Dengan kaki yang sama-sama diselonjorkan ke depan tuk-tuk, dan angin sepoi yang bertiup-tiup menyejukkan, kami bermain Zitch Butterfly. Saya ingat bahwa bahwa saya menang telak, namun Gypsytoes tentu akan membantahnya mati-matian.

Membuat catatan akan perjalanan selalu menyenangkan untuk dilakukan. Dengan begitu setiap pernik akan kami ingat, setiap refleksi yang timbul akan tersimpan, untuk dikenang-kenang kembali di kemudian hari. Kali ini tak satu catatan pun saya simpan. Namun seperti buku yang indah, kita mungkin tidak selalu ingat kata-kata atau kisah rinci yang dirangkai sang penulis, tetapi perasaan yang timbul saat membacanya akan selalu bisa kita kenang. Perasaan getir dari buku-buku Khaled Hosseini atau Budi Dharma masih akan kita ingat jauh sesudah membacanya. Tanpa catatan, yang saya ingat dari perjalanan di Siem Reap menjadi begitu acak. Si gadis cilik “Why Not”, pertanyaan entah dari mana mengenai bagaimana saya hendak meninggal dunia, pertemanan dengan si Curly Hippie, sampai permainan Zitch Butterfly di antara angin yang sepoi.

“Oh aku ingat satu hal lagi, “kata Gypsytoes, masih mengantuk di sofa, sementara saya sedang menulis di dekatnya, “ Di sebuah restoran bandara Siem Reap sebelum kita pulang, aku ingat kau kentut dengan keras tepat pada saat semua pengunjung lain sedang berhenti bicara. Dan kentutmu – oh Tuhan! – begitu membahana dan panjang. Restoran kecil itu sampai bergema.“

Oh iya, itu juga.

Twosocks.

13 Comments

  1. wuuaah cerita yang lucu dan bervariasi, kami juga baru balik dari Siemreap dan mengelilingi rute kecil Angkor Wat complex yang begitu megah (bayangin runtuhannya ajah semegah dan seluas itu, gimna waktu belum yah). Sayangnya aku gak bertemu gadis kecil “why not” ini, mungkin karena dia sudah sedikit besar dan mungkin juga karna kami dikira penduduk setempat, atau setiap ada yang menawarkan habis bilang “no, thank”, kami berjalan cuek seakan gak mendengarkan apa2 lagi 😀 :D… too much pressure kalo melayani mereka satu persatu 🙂
    pengalamannya seru.

    • Halo Kakak beradik Ewank dan Yuna! Terima kasih sudah mampir dan senang akan ceritanya. Iya, Angkor Wat memang sungguh megah. Wah sepertinya kalian baru saja keliling Asia tenggara ya, How fun! 🙂

      • Hallo,

        Ah, senang ada yang menyapa nama kami :). Megah banget. Keliling kali yah emang namanya, tapi sebentar2 banget, mungin transit. hehehehehe 🙂

  2. gw suka banget risih kalo di paksa beli sesuatu di tempat wisata, secar gw paling ngak demen belanja kalo lagi travelling. Jadi semaksimal mungkin gw pasti ngak mau berinteraksi ama pedagang beginian 😦

    • Haha tp beberapa pedagang di Laos ini tekadang menyenangkan juga. Beberapa sepertinya memilki mantra “teruslah mendesak dan pasang wajah tak berdosa” . Seorang kawan baru2 ini bercerita, seorang perempuan pedagang menawarkan barang kepadanya, sang kawan berkata, “Thank you, but no. ” Nah si ibu pedagang menjawab dg senyum manis, ‘what about yes?” LOL

  3. Love it! 🙂

    Waktu itu baca dimana ya… Di masa depan nanti, atau sekarang sudah mulai juga ya, we will look back at moments in our life through filtered photos kayak di instagram. And maybe we will re-live our moments a second way in a slightly different way. hehe. seru ya.

    Atau mungkin filter2 itu adalah bentuk fisikal how we see the world through our eyes and the emotion they created juga ya…

    • Hola Fel 🙂 wih, kebetulan banget tadi di airport juga ngobrol2 soal ini dengan teman. Mengenang2 masa lalu selalu membuat perasaan melankolis ya? sering kita membuat foto untuk memenuhi ide melankoli di masa depan nanti. Segala filter itu tampaknya sering membantu menciptakaan mood nya. Seperti gambar adegan flash back di film yang selalu menggunakan filter2.

  4. Ruth Siburian

    Jadi ingin kembali ke Angkor lagi, menikmati semilir angin dari atas tuktuk. Thanks untuk ceritanya Twosocks 🙂

  5. Pingback: Mengenang Prau, di Seputar Hari-Hari Gegap Gempita dan Teman yang Akan Pergi | The Dusty Sneakers

Leave a reply to cumilebay.com Cancel reply