comments 31

Gaijin Penjual Buku Terakhir

Jika bukan karena toko buku, Dominic Jason Ward mungkin akan menghabiskan hari tuanya di pantai-pantai tropis dengan botol bir di tangan dan lagu-lagu Bob Marley yang diputar tanpa henti saat matahari terbit, matahari tinggi, matahari terbenam, bulan terang, dan bulan mati. Namun, lima belas tahun sesudah merintis Infinity Books, Nick, begitu ia dipanggil, semakin yakin bahwa cinta terbesarnya ada pada buku-buku, dan hari tuanya akan ia habiskan sendiri saja, mengelola toko bukunya itu. Apalagi selain dia, tak ada lagi Gaijin yang bertahan mengelola toko buku di Tokyo (soal ini ia sampaikan dengan bangga sekaligus sedih).

Nick menemui kami di meja bar Infinity Books sesudah ia membalas surel pemesanan buku terakhir hari itu.  Sepasang suami istri di Monbetsu, kota kecil di Hokkaido, memesan beberapa buku puisi DH Lawrence dan novel-novel John Steinbeck. Saat saya menyodorkan Almost Transparent Blue karangan Ryu Murakami, ia mengatakan buku itu adalah edisi cetak pertama dari terjemahan bahasa inggrisnya, penerbitnya pun sudah bubar.

“Ini satu-satunya yang kupunya, karena itu harganya agak mahal,” katanya. “Kau yakin?”

Saya menimbang-nimbang sebentar.

“Kupikir-pikir dululah.”

Maesy dan saya kembali putar-putar melihat koleksi toko buku Nick. Infinity Books cukup luas untuk ukuran toko buku yang dikelola sendirian pria pertengahan lima puluhan. Di rak-rak tingginya berjajar buku-buku dengan pencahayaan lampu kuning remang-remang, sebagian besar buku bekas. Sepertinya mereka sengaja tidak diatur dalam pola tertentu. Buku karangan Charles Dickens bersisian dengan biografi Bob Dylan, juga buku kecil tentang asal usul berbagai makian bahasa Jepang. Mungkin ini yang membuat pengunjung dapat menemukan kejutan-kejutan di dalamnya, salah satunya buku Ryu Murakami tadi yang saya temukan dihimpit semacam ensiklopedia soal tanaman merambat. Kami membawa beberapa buku ke meja bar. Nick menunggu di sana dan menawari kami minum. Untuk saya segelas besar bir Yebisu (Nick menyediakan Yebisu dalam tap) dan untuk Maesy, yang sedang dalam suasana hati yang siap bergembira, satu sloki wiski Nikka.

Kami bertukar cerita soal macam-macam. Nick muda, pria asli Inggris, berkeliling dunia dengan tas di punggungnya. Ia bahkan sempat tinggal beberapa bulan di Sumatera Barat. Ia ingat saat itu selalu menyukai pemandangan pohon kelapa yang berjajar-jajar di pesisir selatan (dari sekian banyak hal, yang ia ingat justru soal pohon kelapa!). Nick muda selalu menjejalkan tumpukan buku di tas punggungnya, kerap terlalu banyak pada saat yang bersamaan, sehingga ia harus membuang beberapa pakaiannya. Ia berpindah-pindah di beberapa tempat di Asia tenggara sebelum mulai tinggal di Tokyo di awal 1990-an untuk mengajar bahasa Inggris. Kecintaannya pada buku membuatnya iseng berjualan buku secara online sebelum membuat toko bukunya sendiri. Kami bertanya apa ia menyukai Haruki Murakami. Nick tertawa. Menurutnya Haruki menulis prosa dengan indah, tapi masih kalah dari Murakami yang lain, si Ryu itu.

“Terkadang Haruki membuatku ketakutan. Ada adegan seorang gadis ditinggal begitu saja di dalam sumur, lalu bab berpindah dan si gadis masih di sana. Hei! Apa yang terjadi dengannya? Haruki bolehlah, tapi kalian harus membaca karya Coetzee. Sesudah membacanya, karya-karya lain akan kalian anggap main-main belaka.”

Nick memperoleh buku-buku bekasnya dari berbagai tempat. Banyak di antaranya ia dapat dengan harga sangat murah dari nenek-nenek tua Jepang yang ditinggal mati suami gaijin-nya. Namun demikian, tetap saja, toko buku independen bukan usaha yang betul-betul menghasilkan, apalagi dengan biaya hidup di Tokyo yang menggila. Nick menutupinya dengan menyambi sebagai guru bahasa Inggris, mengurus toko bukunya tanpa karyawan, dan tidur di sana lima hari seminggu untuk menghemat karcis kereta ke rumahnya yang terletak di luar Tokyo. Ia juga mendapat penghasilan dari bar kecil yang ia buat di sisi belakang toko buku, di dekat meja kasir.

“Buku dan bergelas-gelas bir. Ini kombinasi yang tak akan mati,” katanya terkekeh.

Para penulis, juga pembaca, pada dasarnya manusia melankolis yang mudah murung atau terbawa perasaan. Begitu menurut Nick. Karenanya, menyediakan bar di toko buku adalah ide yang baik.

“Banyak pengunjung yang omong-omong denganku di sini dan ujungnya mengeluh soal macam-macam. Mereka mulai dengan buku yang dibacanya, lalu lanjut ke soal cinta, pekerjaan, begitulah. Aku sih tak keberatan, sepanjang gelas bir mereka terisi terus, itu bagus untuk bisnis.”

Saat kami bercerita tentang toko buku independen kami sendiri, Nick memberi ucapan-ucapan penyemangat. Ia bilang, toko buku independen mendatangkan orang-orang menarik dan punya sesuatu yang tak dimiliki toko buku besar, karakter. Hanya di toko buku independen, katanya, kau akan menjumpai hal-hal semacam pria tua bermulut besar di balik meja kasir, kucing liar yang menetap begitu saja, atau hantu gentayangan. Soal hantu, rupanya ia bersungguh-sungguh. Konon, bangunan tempat Infinity Books berdiri memang berhantu. Ini yang membuat harga sewanya cukup murah.

“Di mana lagi toko buku kecil bisa membayar sewa tempat di Tokyo selain di bangunan tua berhantu?” Nick kembali terkekeh.

Kami ikut tertawa, meneguk minuman, dan memintanya menceritakan lebih banyak soal hantu yang menghuni toko bukunya.

“Walau aku tak peduli dengan segala hantu, terkadang buluku merinding juga. Kalian sih enak, beres di sini pulang ke hotel, sementara aku tidur di sana,” katanya menunjuk bilik kecil di belakang meja komputer. “Tapi baiklah, kalau kalian datang lagi besok, aku akan bercerita soal hantu itu.”

Mungkin ia hanya mengulur waktu agar kami datang lagi ke sana. Tapi toh, kami berjanji untuk mampir lagi keesokan harinya, membeli lebih banyak buku, bir, wiski untuk Maesy, dan, tentu saja, mendengar cerita hantu.

Nick juga menyediakan toko bukunya untuk beberapa musisi yang ingin mengadakan pertunjukan. Malam itu, seorang pemuda dan pria paruh baya datang menenteng gitar. Kata Nick mereka akan memainkan lagu-lagu folk. Itu malam yang sepi. Selain Maesy dan saya, hanya ada tiga penonton, itu pun termasuk si tua Nick dan pemuda tanggung yang rupanya manajer band itu.

“Kalian tak usah merasa tidak enak, kami terbiasa bermain tanpa penonton.” ujar anggota band yang lebih tua sambil tertawa menghibur diri. “Kalau kalian suka lagu kami, kalian boleh membelikan kami bir, kalau tidak, ya, persetan dengan kalian, “katanya lagi, kali ini sambil menaruh jari tengahnya di dekat hidungnya sendiri.

Maka menyanyilah mereka. Lagu-lagu Neil Diamond, Simon & Garfunkel, dan semacamnya. Si pria paruh baya bermain gitar dengan mata yang ditutupi kupluk. Ini semacam ciri khasnya rupanya. Mereka sama sekali tidak payah. Saya mendengarkan sambil memukul-mukulkan tangan di atas paha. Nick juga memperhatikan sambil meneguk birnya, tenang-tenang. Saya mengisi gelas Yebisu kembali, dan Maesy meminta tambahan wiski. Terus begitu sampai malam semakin larut dan Maesy mulai ketawa-ketawa sendiri.

Processed with VSCO with a5 preset

Keesokan harinya, kami menepati janji untuk kembali datang. Nick menyambut senang dan langsung menyodorkan segelas Yebisu. Saya menenggaknya dan menagih janji Nick menceritakan soal hantu di sana. Dan berceritalah ia. Hantu di toko bukunya konon perempuan yang dulu meninggal karena sebuah bencana alam, paling tidak menurut cenayang yang pernah didatangkan kawan Jepang Nick. Nick tidak percaya hal-hal semacam itu, jadi ia membiarkan saja saat temannya mengundang cenayang pengusir hantu. Keputusan itu justru menjadi masalah, karena suatu hari, di tengah malam, tetangga Nick di lantai atas menggedor-gedor pintunya dan mengeluh karena hantu di Infinity Books pindah ke apartemennya.

“Muka anak muda itu pucat sekali. Saking paniknya, ia memintaku menelepon polisi malam itu juga. Entah apa yang dia pikir bisa dilakukan polisi dalam urusan hantu.” Nick tertawa.

Maka, pagi-pagi sesudahnya, Nick meminta teman cenayangnya menenangkan si tetangga dan mengusir hantu itu lagi. Maka jadilah, si hantu sekarang kembali tinggal di Infinity Books dan Nick memutuskan untuk tidak lagi peduli apa kata si cenayang. Ia tidak mau menghiraukan lagi soal segala hantu. Sesekali ada juga hal aneh yang terjadi, seperti musik atau komputer yang tiba-tiba menyala saat ia sedang lelap tidur. Nick tidak mau ambil pusing soal itu dan membiarkan saja si hantu, jika pun ia ada, dengan urusannya sendiri. Nick hanya akan mematikan musik, atau komputer, lalu tidur lagi.

“Seperti kubilang, hantu itu membantuku meringankan sewa, jadi ya sudahlah, biarkan dia dengan urusannya.”

Saya tertawa dan mengatakan dia gila juga. Nick menatap saya dengan kening berkerut. “Kau terlalu banyak minum,” katanya. Bergelas-gelas Yebisu membawa pembicaraan kemana-mana dalam arti sebenarnya, termasuk soal monyet berahi.  Nick mengisi gelas birnya kembali sambil bercerita ia punya pengalaman sungguhan soal itu. Pada masa awal tinggal di Tokyo ia berkencan dengan seorang gadis di pasar hewan. Di sana si gadis menyatakan perasaan ibanya melihat seekor monyet yang berwajah murung. Untuk menarik perhatian si gadis, Nick membeli si monyet dan bertekad memeliharanya. Dibawalah si monyet tinggal di asrama sewaan Nick. Memelihara monyet ternyata tak semudah itu. Saat ditinggalkan, si monyet kerap bikin onar, mengudal-udal segala hal dan mengganggu penghuni asrama lain. Rupanya si monyet punya penciuman yang tajam dan mudah berahi pada perempuan yang sedang datang bulan. Saat ada tamu asrama yang sedang datang bulan, si monyet akan mengejarnya kesana-kemari. Kerunyaman berhenti ketika seluruh penghuni asrama memaksa Nick menjual kembali monyet itu di pasar hewan.

Kami masih omong-omong tentang beberapa soal, termasuk rencana-rencana Nick selanjutnya. Terhadap pertanyaan ini ia menghela napas panjang dan menatap ke sekeliling.

“Kau tahu, aku sudah tua dan tak butuh banyak uang. Dikelilingi buku-buku seperti ini sudah bikin aku bahagia.”

Ia kemudian bercerita soal anak laki-lakinya yang kini tinggal di London. Ia kuliah bisnis dan menetap bersama pacarnya di sana.

“Suatu hari kukatakan padanya begini: Anakku, lihatlah tumpukan buku-buku ini, semua ini suatu hari akan jadi milikmu. Maukah kau nanti meneruskan toko buku ini? Bocah itu menggeleng sambil cengengesan. Anak pintar, haha.”

Kami bersulang untuk toko bukunya, untuk buku-buku indah yang pernah ditulis (saya akhirnya membeli karya Ryu Murakami itu), dan untuk macam-macam. Menjelang tengah malam Maesy dan saya mohon pamit. Selain karena kepala yang mulai berputar, besoknya kami harus mengejar penerbangan pagi meninggalkan Tokyo.

Di dekat pintu keluar saya sempat menoleh ke belakang. Nick terlihat mengisi kembali gelas birnya. Meneguknya sendiri dalam ruangan yang remang-remang. Mungkin gelas bir terakhir sebelum ia menutup pintu Infinity Books. Besok ia akan kembali membuka toko bukunya, juga meja barnya, untuk para kutu buku yang lain, atau orang-orang lain yang sedang gundah atau sekadar butuh kawan omong-omong. Kepada mereka Nick mungkin akan bercerita hal-hal yang sama, soal karya indah Coetzee, soal hantu toko buku, atau soal monyet berahi.

Processed with VSCO with a5 preset

31 Comments

  1. akhirnya, senang juga bisa membaca kisah kelanjutan hantu perempuan ini di sini, tapi kenapa sebelumnya kau belum pernah cerita soal monyet berahi.

    haha, yuk yuk minum teh!

  2. “buku + bir”perpaduan sempurna yg tak akan tergantikan dgn apapun..Panhang umurlah Nick, suatu waktu aku ingin mampir di toko bukumu.

  3. Henckel

    Hehehe, nasibnya sama seperti toko buku tempo doeloe yang aku pernah mampir dideket kota lama. Bedanya, bapak yang punya toko buku yang ini sedianya wedang bajigur, dan tempatnya ndak angker (walau bangunannya keliatan kayak bakal rubuh kalau ditendang kucing)

  4. Pingback: Web Log: September 2016 – Provita Prima

  5. Hidup sendiri ditemani buku-buku bagus, musik nan sendu, dan bergelas-gelas bir (dalam kasus ini aku lebih memilih kopi) kurasa bukan hal yang buruk.

    Mungkin sesekali bisa terasa sangat lengang. But, hey.. kamu punya ratusan buku untuk dibaca 🙂

  6. Selalu menyenangkan berkunjung ke blog ini. Btw, narasi yang bagus mas!
    Sukses buat toko bukunya.

  7. Pingback: 15/5 | The Dusty Sneakers

  8. Pingback: Tokyo, July 2017

Leave a Reply to kelana Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s