comments 10

Menyeberangi Danau yang Entah Dalam, Entah Tidak

Saat penulis Jhumpa Lahiri memutuskan pindah ke Italia, lalu menghabiskan setahun berbicara dan menulis hanya dalam bahasa Italia, tentu bukan semata karena kecintaannya akan bahasa baru itu. Bahasa Italia, untuknya, bukan bahasa yang harus dikuasai. Karenanya ia menarik, dan membebaskan. Berbeda dengan bahasa Bengali yang sejak kecil dipaksakan orang tuanya, juga bahasa Inggris yang dipaksa lingkungannya. Hanya saat Lahiri menemukan dunia tulis menulis, cintanya akan bahasa Inggris mulai tumbuh. Namun, ketika buku pertamanya, Interpreter of Maladies, memenangkan Pulitzer, Lahiri berada dalam lampu sorot di usia yang cukup muda. Karya-karya si bakat baru diantisipasi dan dibicarakan dengan luas. Perlahan, kesendirian yang ia nikmati saat menulis menghilang. Saat pindah ke Italia, ia tidak hanya menemukan bahasa baru yang menarik, tetapi juga pengalaman menulis seperti bocah yang antusias lagi. Kegiatan suka-suka yang dilakukan dalam kesunyian yang menenangkan. Jauh dari lampu sorot.

Saya membaca “Ín Other Words” di antara rimbun pohon di perkebunan Portibi, di mana sesekali suara serangga hutan terdengar.  Suasana yang membuatmu mudah terbawa catatan-catatan bernada personal. Ini buku non fiksi pertama Lahiri dan ditulis dalam bahasa Italia. Ia berkisah soal perjalanannya belajar berbicara dan menulis dalam Bahasa Italia, juga perenungan-perenungan yang terjadi dalam prosesnya. Dituturkan bagaimana ia meninggalkan kematangan kepenulisannya dalam bahasa Inggris dan menggali satu demi satu kata, satu demi satu ungkapan, dan segala kerumitan nuansa dalam bahasa yang sama sekali baru. Hanya kekeraskepalaan yang cenderung obsesif yang membuat buku itu berhasil ia selesaikan. Kekeraskepalaan yang memiliki akar di wilayah yang sangat pribadi. Lahiri tumbuh sebagai sosok dengan krisis identitas yang seolah tak berkesudahan. Orang Amerika, bagaimana pun, selalu menganggapnya warga pendatang, sementara orang India menganggapnya telah berpindah identitas. Saat pergi ke Italia, Lahiri mencari identitas yang sepenuhnya ada dalam kontrol dirinya. Identitas yang tak dipaksakan orang tua dan orang di sekitarnya.

Dibandingkan ‘Interpreter of Maladies’, tentu ada kematangan kepenulisan yang belum dicapai ‘In Other Words’. Beberapa kalimat seolah merangkak tertatih, juga timbul beberapa pengulangan yang membuat kesabaran hampir hilang. Namun, amatannya akan detail, kepekaannya akan hal di sekitar, juga keindahan perumpamaan-perumpamaannya masih terlihat. Adegan pertama, misalnya, soal Lahiri yang memutuskan berenang menyeberangi sebuah danau di tengah hutan kecil. Sehari-hari ia biasa berenang di pinggir-pinggir saja, sehingga jika kelelahan ia bisa dengan mudah menepi. Soal ini menjadi perumpamaan untuk bahasa Italia dan Inggris. Saat belajar bahasa Italia di Amerika, ia seperti berenang di pinggir danau. Jika kelelahan, dengan mudah ia bisa menepi, kembali ke bahasa Inggris. Maka Lahiri pindah ke Italia, tidak lagi berbahasa Inggris, meninggalkannya sama sekali. Ia berenang menyeberangi danau yang dalam, tidak lagi bersandar pada pinggiran yang aman.

Membaca ‘In Other Words’ membawa ingatan pada orang-orang di sekitar saya yang juga melakukan keputusan besar pada suatu waktu dalam hidupnya.  Mereka yang meninggalkan titik nyaman dan mencoba sesuatu yang sama sekali baru. Saat itu di dekat saya sedang duduk tenang-tenang Ibnu Najib, seorang kawan yang dua tahun lalu meninggalkan karir di birokrasi untuk berkegiatan di soal-soal perkebunan organik.  Saat saya mengajaknya berbicara tentang apa yang dia pikir dua tahun sesudah keputusan itu, ia bilang kenikmatan terbesarnya ada pada kebebasannya melakukan apa pun yang ia sukai. Ia bisa bangun pagi dan memutuskan membuat kombucha, atau tidak membuat kombucha, atau duduk minum kopi berlama-lama, atau duduk minum kopi cepat-cepat.

Namun, perkara ini tentu tidak selalu seromantis itu. Orang lugu pun tahu, saya kira. Dalam kebebasan kerap muncul ketidakpastian, dan ketidakpastian, dalam saat-saat terendah kita, sering juga menyesakkan. Ibnu Najib, kawan saya itu, tentu juga memiliki titik-titik terendahnya, yang karena pribadinya yang tertutup enggan ia ungkapkan dengan terang-terang. Lahiri juga menuturkan keresahannya dalam kebebasan barunya ini. Bagaimana pun ia seorang penulis, dan bahasa yang tidak ia kuasai betul mau tak mau membatasi ruang gerak kepenulisannya. Berbicara dalam bahasa Italia mungkin mulai dapat ia lakukan dengan lancar,  tetapi menulis adalah wilayah dengan kerumitan yang lain. Saat berbicara, ia seperti sedang jalan-jalan pagi di taman di antara pohon-pohon yang familiar di benaknya, tetapi saat menulis, ia seperti berada di hutan belantara dengan pohon-pohon raksasa yang tak dikenalinya. Ia merasa kehilangan kendali.

“Apakah artinya untuk seorang penulis, jika ia tak memiliki kendali akan apa yang dapat ia ungkapkan? Dapatkah aku menyebut diriku penulis?” tulisnya.

Terlepas bahwa ia berbahagia menemukan tempat yang jauh dari sorot lampu lalu bergembira dalam dunia kecil barunya, rumah ini pun memiliki kerapuhan. Seperti halnya India dan Amerika yang tak pernah-benar-benar menjadi rumah tempatnya menancapkan akar, Italia seakan membangun tembok yang sama. Seberapa pun ia mendalami bahasa Italia, mengenali orang-orangnya, ia tetap seorang pengunjung, bukan salah satu dari mereka. Dalam satu bagian Lahiri patah hati saat penjaga toko memuji bahasa Italia suaminya, yang jelas-jelas lebih buruk darinya, hanya karena wajah kaukasia si suami.

“Aku seolah selalu hidup di wilayah tepi sebuah negara, juga budaya. Mungkin aku bisa merasa nyaman, tapi tak mungkin berakar. Mungkin tempatku memang di sana.” tulisnya sedih.

Keputusan pindah ke Italia, mendalami bahasa baru yang ia cintai (ia menyebutnya bayi baru yang ingin ia rawat dengan telaten), tentu adalah hal yang membahagiakan dan, dalam cara tertentu, memberikan perasaan bebas. Tapi sebagaimana banyak hal dalam hidup, kebahagiaan-kebahagian (juga kesedihan) sering hanya satu titik dalam perjalanan yang panjang. Saat di akhir buku Lahiri akhirnya kembali ke Amerika, masih belum memutuskan apakah akan tetap menulis dalam bahasa Italia atau kembali ke bahasa Inggris, kita melihat pencariannya masih akan panjang, bahkan jauh sesudah tirai ditutup.

Saya dan Ibnu Najib masih duduk-duduk di bawah pohon rindang. Saya memperhatikannya, mengira-ngira tentang keresahan-keresahan yang mungkin ia miliki, atau hal-hal yang akan ia lakukan di tahun-tahun mendatang. Tahun-tahun yang masih akan panjang sekali. Terkadang ia membaca, terkadang ia memandang pohon-pohon atau perkebunan sayur di depan. Angin bertiup lembut-lembut.

“Pohon-pohon ini penyayang, ya?” Katanya tiba-tiba.

Saya pikir hanya orang yang berbahagia dan sedang dalam suasana hati yang tenang yang bisa muncul dengan ungkapan macam begitu.  Setidaknya untuk saat ini.

10 Comments

  1. Hhhmmm… Jadi pengen ngerasain pengalaman yg sama (tp dalam skala dalam negeri). Lahir & tumbuh besar di Brebes, kuliah & kerja di Bandung. Mungkin asik kalo bisa keluar sejenak dari Pulau Jawa. Kalimantan/Sulawesi sepertinya menarik.

  2. Kata salah seorang dosen saya, tidak disarankan membaca banyak buku. Nanti pikiran kamu terdoktrin. Apa tanggapan tentang hal ini?

    Oh ya, saya lihat profil Toko Post di Media Indonesia. Sepertinya itu yang punya blog ini kan, ya? Hahaha.

    Jadi pengin mengakrabi buku lagi. 😀

    • Waduh, dosenmu kacau sekali. Semoga beliau sedang bercanda atau menjadi sarkastis saja.
      Selamat mengakrabi buku-buku lagi, semoga sempat mampir ke Post suatu hari nanti.

  3. ‘… berenang menyeberangi danau yang dalam, tidak lagi bersandar pada pinggiran yang aman.’

    entah kenapa setiap tulisan Maesy dan Teddy selalu selalu selalu bisa meredakan bara api di kepala dan hatiku.
    but this time, i sobbed like a baby.

    thank you Ted..

  4. Arip ebat

    I know! Ibnu Najib is an amazing man, I admired him so much I couldn’t tell if he is perfect or broken.
    Allora…Ngomong2x soal Italia, Quando verrai a Roma mio Amico?

    Kite Road trip nyok bulan Desember

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s