Perempuan Navajo itu memberi petunjuk yang — dalam situasi lain– akan terdengar absurd. “Ikuti jalan tak berujung ini, terus ke sana, kalau kau beruntung ketemu ujung, beloklah ke kiri. Di tempat di mana dua gunung mengapitmu, akan tampak olehmu bangunan dengan tulisan berbahasa Navajo. Tak usah dipikirkan tulisan itu. Kau tak mungkin ingat, apalagi mengerti. Lupakan! Lupakan! Ia menyerupai motel kosong, tapi itu sebuah kedai, sebetulnya. Di sana kau bisa makan masakan Navajo. Enak. Sungguh. Kalau tidak, kau boleh bikin ribut di situ. Itu kalau kau berani.”
Petunjuk itu kami dapatkan di pinggiran kota Page, Arizona, dalam perjalanan menuju Estes Park, Colorado.
Saya memacu kendaraan mengikuti jalan lurus yang seolah tak ada habisnya itu. Kencang tidak, pelan tidak, melewati padang gersang di mana di kejauhan terlihat bukit-bukit berwarna cokelat muda. Maesy ada di samping, duduk tenang-tenang. Sebagai penunjuk jalan ia tak banyak kerja. Jalanan lurus saja, tak ada persimpangan yang membingungkan. Sekali waktu kami bicara-bicara, di waktu lain diam-diam saja.
Di radio terdengar lagu-lagu country dengan sengau kental dari radio lokal bernama Jack FM. Radio dengan slogan yang disampaikan dengan bangga oleh penyiar bersuara berat, “Kuputarkan lagu-lagu kesayanganmu, hingga nanti saat sapi-sapimu pulang.” Kami tertawa geli mendengar slogan itu. Saya ingat radio memutar lagu tentang gembala muda yang meminta pertolongan ibunya karena kisah cintanya berujung runyam. Sebagian besar lagu diisi dengan si gembala yang melolong-lolong memanggil sang ibu. Di lain waktu terdengar telepon dari pendengar yang mencurahkan hatinya. Si penelepon adalah perempuan yang pikirannya sedang ruwet. Semua itu karena pacarnya, seorang gembala tentu, akan pergi ke kota melamar pekerjaan menjadi badut.
Telah lama kami memimpikan perjalanan ini. Perjalanan darat di Amerika Serikat, menyusuri ribuan mil dari Arizona, Colorado, Montana, dan berakhir di Utah. Menyusuri jalanan lapang, pegunungan bersalju, kota-kota kecil dengan nama asing, padang tandus, padang rumput, dan kemungkinan tak terbatas. Hanya kami, jalanan, musik, dan hal-hal di antaranya.
Tentu banyak kekaguman yang timbul dari hal-hal baru yang kami lihat. Kekaguman akan lembah-lembah berwarna kemerahan di Grand Canyon, di mana sesekali burung elang terbang rendah, atau kambing gunung muncul dan memasang pandangan menyelidik. Ia juga berisi kekaguman akan sungai Colorado yang bergerak tenang di antara karang-karang yang memantulkan gema jika kami berteriak sedikit keras. Atau kepada gunung-gunung di Rocky Mountains yang tetap bersalju pada musim panas. Salju yang kami sambut dengan menari gila-gilaan, tertawa-tawa, dan menggelepar-gelepar.
Jalanan masih terus lurus. Tak banyak kendaraan yang kami papas, satu dua saja. Perlahan hari mulai gelap. Maesy memandang bukit-bukit di kejauhan yang mulai menjadi siluet dengan latar warna merah. Dahinya menempel di kaca jendela. Hal-hal sedang lewat di kepalanya sepertinya. Hal-hal juga lewat di kepala saya, tentu. Saat tanganmu ada di kemudi tanpa banyak berbelok, dan laju kendaraan bisa dipertahankan sebegitu-begitu saja, maka berbagai soal akan muncul di pikiranmu. Ada yang rumit, ada yang tidak. Di antara macam-macam hal, muncul pula pikiran seputar perasaan bebas yang timbul selama perjalanan itu. Saya teringat akan siang sebelumnya, saat kami melompat ke sungai Colorado yang suhunya sembilan derajat saja. Tentu kami gemetaran karena dingin yang menusuk, tapi saat melompat itu, di antara umpatan-umpatan, ada perasaan yang begitu lepas sekaligus menenangkan. Seperti air yang menciprat kesana kemari untuk kemudian sepi kembali.
Perjalanan darat di Amerika bukan saja tentang kekaguman akan hal-hal baru, ia juga pemenuhan ide-ide petualangan yang telah lama ada di kepala. Sejak dulu, dari pengaruh buku dan film sepertinya, ia adalah ide petualangan yang penuh melankolia. Ide tentang berada di jalanan lapang dengan kekasih dan teman-temanmu, menginap di motel kecil di kota yang tak kau kenal namanya, berhenti di sebuah bukit yang terlihat menarik lalu dengan spontan mendakinya, menyanyi-nyanyi konyol sambil menjulurkan kepala keluar jendela, mengisi bahan bakar di pompa bensin yang sepi di mana tak seorang lain pun terlihat selain seorang tua berjanggut putih, bersepatu bot, dan bertopi gembala. Lelaki tua yang saat kau sapa akan mengangguk sambil mengangkat topi, lalu lanjut duduk sendiri di depan sebuah kedai lapuk.
Bukankah perjalanan juga adalah tentang memenuhi hal-hal yang ada di kepalamu?
Dan di jalanan itu, ide-ide tentang menjadi bebas itu menangkapmu bulat-bulat. Saya pikir jalanan lapang, hamparan rumput atau tanah gersang, serta langit biru yang luas seperti kubah adalah terapi yang baik untuk orang yang jalan pikirannya semrawut. Hanya dirimu dan jalanan, tak ada yang mengejarmu, menuntut hal-hal, atau mengatur pilihanmu. Kau seolah punya kendali akan jalan yang hendak diambil. Kau dikelilingi pemandangan indah dan pertemanan yang hangat. Kau bebas, lepas, spontan, dan mengetahui penuh bahwa saat bangun tidur esok pagi, kau masih akan ada di kebebasan yang sama.
Saya tahu, saya tahu, perkara bebas itu tidak sepenuhnya benar. Sering itu hanya ide yang ada di kepalamu sendiri, dalam konteks waktu dan kondisi tententu. Tak lebih. Bahkan sisi jalan mana yang harus kau gunakan pun ada yang mengatur. Tapi sudahlah. Seperti saya katakan tadi, segala sesuatunya sering adalah hal yang ada di kepalamu saja. Usai perjalanan ini, saya akan diingatkan kembali akan ikatan-ikatan sosial dan kompromi-kompromi yang harus dibuat, terhadap norma, kewajiban, dan semacamnya. Namun di sana, di belakang kemudi itu, dalam perjalanan berjam-jam itu, dalam jalur yang lapang itu, saya merasa lepas. Kau tahu, seperti anak burung yang melihat matahari baru setiap harinya.
Saya teringat adegan film ‘Boyhood’ karya Richard Linklater. Menjelang akhir film, Mason, si tokoh utama, mengemudikan truknya melintasi jalanan antar kota Amerika. Usianya delapan belas saat itu, dan ia akan memulai kehidupan sebagai mahasiswa di kota baru, jauh dari masa lalunya. Ia meninggalkan masa kecilnya untuk menyambut dunia baru di depan, dunia dimana ia betul-betul akan menjadi pria dewasa. Adegan film menampilkan truk berwarna biru menyusuri jalanan lurus, sendiri saja, dan Mason ada di belakang kemudi, menatap ke depan dengan pandangan bahwa dia, dan hanya dia, yang akan menentukan jalan hidupnya nanti. Betulkah ia manusia bebas? Mungkin tidak. Bukankah usia dewasa juga dipenuhi ikatan-ikatan sosial yang juga dapat mengungkungmu? Namun saat itu, di jalanan itu, di dalam kepalanya, Mason adalah pria yang bebas, yang siap akan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas di depan.
Teringat pula saya akan Christopher McCandless, saat ia membakar semua sisa uang dan identitas yang dimiliki, mencampakkan kendaraannya, dan berjalan kaki ke utara, seorang diri saja, menuju alam liar Alaska. Ia melepaskan diri dari segala hubungan antar manusia yang ia rasa kejam dan palsu. Banyak yang memuja keberaniannya, banyak yang mengutuknya sebagai kebodohan. Di kemudian hari, ia pun tak betul-betul bahagia, sebetulnya. Bukankah di antara kesepiannya ia menulis dengan tangan gemetar – Kebahagian hanya nyata saat ia dinikmati bersama- ? Tapi saat ia mencampakkan segala miliknya dan berjalan kaki ke alam liar itu, di dalam kepalanya, ia adalah manusia bebas. Dan pada momen itu, ia berbahagia.
Saya berpikir, betapa pentingnya untuk sekali waktu merasa bebas. Tidak betul-betul bebas, mungkin, tapi merasa bebas. Mendapatkan dirimu berada di sebuah tempat, suatu waktu, saat dirimu, dan hanya dirimu yang membuat keputusan tentang segala sesuatunya.
Bukankah perjalanan, pada akhirnya, adalah tentang hal-hal yang berkecamuk di kepalamu?
Hari sudah gelap saat kami tiba di kedai masakan Navajo itu, beberapa ratus mil kemudian. Ia memang seolah terjepit di antara dua gunung, sendiri. Nama kedai itu Anasazi, artinya The Ancient Ones. Bukan nama yang sulit untuk diingat. Mungkin seperti halnya saya, perempuan Navajo tadi juga gemar bikin hal-hal terkesan dramatis. Soal apa makanannya enak atau tidak, saya tak ingat betul. Saya terlalu lapar untuk itu. Apalagi kami masih perlu banyak tambahan energi. Perjalanan ke Estes Park masih panjang dan tak mungkin dilakukan malam itu juga. Setelah beres makan kami akan mencari motel di sebuah kota kecil bernama Monticello, sekitar tiga jam dari sana, sebelum melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Saat menunggu makanan siap, ketika lampu kedai menerangi kami, Maesy menertawakan wajah saya yang lecek dengan bibir kering, rambut tak rapi, dan pakaian yang telihat sembrono. Ini hari menyetir yang cukup menguras tenaga, dimulai pagi-pagi di Arizona saat matahari belum terbit, dan dengan segala selingan mencebur ke sungai itu.
“Mikir apa sih tadi di mobil?” tanyanya sambil mengusap rambut saya.
“Yah, kau tahulah, hal-hal acak saja.” Jawab saya, menertawai wajahnya yang sebetulnya tak kalah semrawut.
Ia tidak bertanya lebih lanjut, hanya mengusap kepala saya sambil senyum-senyum. Ia tahu saya sedang berbahagia.
—
– Saya bikin video kecil tentang beberapa momen dalam perjalanan itu. Silahkan melihatnya di sini.
saya juga bahagia melihat muka gosong kalian, bukti bahagia itu! :)))
Ah, Nona-Yuki-yang-sedang-bersedih-karena-Pemuda-Tama-jauh-di-sana, sampai ketemu lagi sesudah lebaran ya 😀
iyaaaa, sampai jumpa lagi! bawain ayam betutu dong! 😛
Keren sekali tulisannya. Sudah lihat videonya, betapa berbahagianya 🙂
Terima kasih sudah membacanya, Rifqy 🙂
Seru!
Hello, Tara!
bingung mau komentar apa…aku langsung berpikir dan mengiyakan… “Pada akhirnya, ia adalah hal-hal yang berkecamuk di kepalamu.”
mampir ke blog #senjamoktika ya -> http://senjamoktika.com/ dan tinggalkan komentar kalau berkenan 🙂
Halo Sefiin. Terima kasih ya sudah membaca. Diam-diam aku sering membaca tulisanmu, kok hehe
sama-sama. :”””””) huaaa malu. makasih ya sudah mampir. tulisan-tulisan kalian sering bikin galau. #eh.
membaca tulisan kalian plus bonus lihat video perjalanannya….hhhmf…..berasa lagi gigit brownish super lezat dan maniiissssss 🙂
Ah Windri, kami jadi kepengin ngemil juga sekarang 😀
Nicely written!
Saya jadi teringat Barrymore’s Boys On The Side membaca postingan ini. 🙂
Boys On The Side!! Saya ingat dulu suka sekali melihat pertemanan ketiga perempuan yg terbangun di jalanan itu.
Terima kasih ya H, sudah mampir. Barusan saya membaca beberapa tulisan di blogmu dan langsung suka. Sepertinya akan mampir sering-sering 😀 Senang berkenalan.
wah…pemandangan fotonya so beautifull…
Mengalir. Bahagia. Bahagia. Ah, kalian ini sastrawan apa, ya? Bagus sekali tulisannya.
Senang kamu menyukai tulisan ini. Terima kasih ya sudah membaca.
pas bacanya tidak pengen langsung abis ceritanya,,hehe
trims karena telah berbagi cerita yang menakjubkan ini
Terima kasih sudah membaca cerita ini, Martupa. Ah, saya jadi terkenang-kenang lagi, dan di bulan Desember seperti ini, bawaannya kepengin liburan dan bersantai-santai saja, 😀