comments 3

15/5

Candice menyebut Milan Kundera saat saya bertanya padanya penulis yang ia rekomendasikan bagi pengunjung POST.

“Tapi Candice, pembaca Kundera di Indonesia lumayan banyak, kok. Beberapa malah sudah diterjemahkan.”

“Aduh, begini ya, jumlah pembacanya tidak akan pernah cukup. Ia sebagus itu,“ Candice berkeras.

Jika penjaga toko buku mendesak-desak dengan gigih seperti ini, ya, saya sebaiknya menurut saja. Saya mengambil Festival of Insignificance dari rak. Candice tersenyum senang. Saya membuat pengakuan padanya bahwa saya belum pernah membaca Kundera. Ia melempar pandangan tak habis pikir seperti bertanya-tanya bagaimana hidup saya jalani selama ini, lalu mulai bicara soal karya-karya Kundera yang lain. Saya teringat bagaimana Nick Ward si penunggu Infinity Book ceramah soal Coetze. Para penjaga toko buku ini terkadang menyebalkan juga. Saat bertemu orang yang belum membaca karya yang mereka suka, kelakuan mereka mulai seperti sedang menyelamatkanmu dari kehilangan besar. Heroik sekali. Candice yang malang, saya menggoyang-goyangkan Festival of Significance di depan mukanya, lalu pamit ke sudut untuk membaca.

“Kamu tidak akan menyesal,” katanya.

Saya berjalan ke bangku di bagian belakang toko, di dekat jendela di mana sinar matahari masuk menyinari barisan buku di atas meja panjang  — di mana ada cahaya yang menghujam tepat ke buku berjudul ‘Dead Feminists”– dan mulai membaca. Selang berapa lama, dua penjaga toko menata bangku-bangku di sekitar saya. Rupanya siang nanti akan ada obrolan buku. Toko buku Politics and Prose ini hebat sekali, hampir setiap hari mereka punya acara; obrolan buku, atau pembacaan karya. Sekali waktu bahkan dua sampai tiga acara dalam sehari. Karenanya, selain Kramerbooks di Dupont Circle, para kutu buku Washington senang main-main ke Politics and Prose. (Politics and Prose, namanya Washington sekali, ya?)

Saya pindah ke tempat baca yang lebih tenang, di ruang sebelah, di dekat rak buku-buku puisi. Beberapa petugas toko, juga pelanggan, masih mondar-mandir. Beberapa orang lanjut usia berdatangan, sepertinya mereka akan ikut obrolan buku. Senang melihat toko buku independen sehidup ini. Tadi, sebelum buka pada pukul sembilan, beberapa pengunjung sudah duduk-duduk di dekat pintunya. Mereka makan roti lapis, minum kopi dengan gelas styrofoam, membaca, atau menggoda bayi di kereta dorong yang baru bangun tidur. Begitu toko buka, orang-orang hilir mudik. Beberapa sudah tahu apa yang mereka cari, yang lain menghabiskan waktu untuk melihat-lihat dan membaca.

IMG_4835

Festival of Insignificance menuturkan sekawanan pria yang menjalani hari-hari di Paris. Mereka saling berbicara, sibuk dengan dirinya sendiri, atau melakukan hal-hal yang – sesuai judulnya – seakan perayaan soal-soal sepele. Banyak bagiannya yang saya sukai, misalnya cerita tentang Caliban, pemain sandiwara tak laku yang menyibukkan diri dengan mengaku-ngaku sebagai orang Pakistan lalu menciptakan bahasa sendiri yang ia karang sekenanya. Pada mulanya orang-orang menganggapnya serius, menggemaskan bahkan, tetapi lama-lama bosan juga, dan ia berbicara sendiri saja tanpa ada yang betul-betul menanggapi. Caliban, ia kembali menjadi pemain sandiwara tanpa penonton.

Saat tiba di obrolan tentang Stalin, saya teringat Candice sempat bercerita betapa Kundera senang meledek-ledek Rusia. Diceritakan bagaimana Stalin senang membual tetapi tak seorang pun berani terang-terangan menyanggah. Ada cerita Stalin berburu ke tengah hutan menemukan 24 ayam hutan bertengger di dahan pohon, namun senapannya hanya berisi 12 peluru. Jadi ia menembak 12 ekor dulu (kena semua tentunya!), lalu balik lagi ke rumah mengambil 12 peluru lagi. Saat kembali ke hutan, 12 ayam hutan itu tentu masih bertengger dan Stalin menghabisi mereka dengan 12 peluru tambahan.  Kurang konyol apa coba? Dan tak ada yang menentangnya! Seorang pegawai rendahan, Kalinin yang punya masalah kandung kemih, bahkan menahan kencingnya mati-matian untuk membiarkan Stalin menyelesaikan cerita. Stalin memberinya penghargaan dengan menamai sebuah kota dengan namanya, Kaliningrad.

Asyik juga sih, jadi saya lanjut membaca. Beberapa bagian menceritakan pemikiran-pemikiran kecil yang berujung pada hal-hal fundamental. (Kalau mendengar cerita Candice, badan Kundera sepertinya akan gatal-gatal kalau tidak mencoba menyiratkan pemikiran-pemikiran mendalam). Saat berjalan-jalan di Paris, tokoh Alain melihat semua perempuan yang dipapasnya mengenakan pakaian yang memperlihatkan pusar. Alain bertanya-tanya apakah daya tarik seksual perempuan bergeser ke pusar, bukan lagi dada, bokong, atau paha? Alain kemudian mulai merepet kepada Charles, temannya. Menurutnya dada, bokong, dan paha itu unik, tak seorang perempuan pun yang punya bentuk yang sama, tapi pusar, pusar sama semua! Alain mengeluh betapa dunia sudah menghilangkan keunikan manusia, keunikan tiap individu, dan membuatnya seragam. Bahkan daya tarik seksual pun digeser ke titik yang dari ujung dunia ke ujung dunia bentuknya begitu-begitu saja. Oh!

Buku ini tipis saja, hanya 115 halaman. Saya menyelesaikannya dalam sekali duduk di Politics and Prose. Lucu dan menyenangkan, serta menyampaikan soal-soal mendalam melalui hal-hal subtil dan sepele. Sepertinya, sih, jauh lebih banyak masalah fundamental yang dibahas dari yang berhasil saya tangkap. Mungkin nanti akan saya baca lebih dekat, atau bertanya pada Maesy. Dia ini pintar membaca simbol-simbol atau hal-hal subtil dalam cerita. Saya akan mendesaknya untuk membaca dan menerangkannya.

IMG_4836

 

Obrolan buku sudah dimulai di ruang tengah Politics and Prose. Robert Pearl, penulis yang juga CEO perusahaan farmasi besar menulis tentang betapa kacau balau jaminan kesehatan di Amerika. Kombinasi harga yang mahal, akses yang sulit, dan kualitas yang payah membuat Amerika ada di kelompok terbawah dalam pelayanan kesehatan dibanding negara-negara industri lain. “Warga harus meminta lebih!” begitu saya dengar ia berseru.  Menarik juga, sebetulnya, tapi saya sedang ingin duduk bersantai dan membaca saja. Saya membaca cerita-cerita pendek Lesley Arimah, penulis keturunan Nigeria. Tadi Candice sempat berkata bahwa Arimah menulis seperti petasan.

Menjelang sore saya bergerak keluar. Obrolan buku Robert Pearl baru saja selesai. Beberapa orang merubungnya untuk meminta tanda tangan atau ngobrol-ngobrol. Saya lihat Candice juga sedang berbicara dengan beberapa orang di dekat rak buku anak-anak.  Saya menghampirinya untuk pamit dan mengatakan Kundera bagus. Ia tertawa lebar sambil bertepuk tangan.  Saya turun sebentar ke kedai kopi Politics and Prose yang ada di lantai dasar, membeli kopi untuk bekal, lalu berjalan ke luar. Di dekat pintu keluar saya berpapasan dengan seorang lanjut usia dengan wajah menggerutu dan hendak masuk ke Politics and Prose. Ia bertanya apa obrolan buku Robert Pearl sudah selesai. Saya katakan sudah, tapi si penulis masih di dalam. Si orang tua bergegas masuk tanpa bicara lagi pada saya. Pak tua itu, sepertinya banyak hal yang akan ia keluhkan.

Matahari bersinar terang dan udara sedang sejuk. Sesekali agak dingin saat angin bertiup. Saya berjalan kaki di sepanjang Connecticut Avenue dengan kopi panas di tangan kiri. Beberapa bar, juga kedai kopi, berjajar di pinggir trotoar. Banyak anak muda berjalan, beberapa sendiri, beberapa bergerombol, atau menarik anjing peliharaannya. Ada yang saling memeluk saat bertemu temannya. Perempuan-perempuan yang saya papas mengenakan pakaian yang terlalu rapi untuk akhir pekan (semacam pengingat bahwa ini Washington), atau dengan baju musim panas bermotif bunga, atau dengan kaos bertuliskan kelompok musik metal. Tak seorang pun menampilkan pusarnya. Saya melihat sebuah kedai dengan meja-meja tertata di luar. Seorang pria menuangkan segelas anggur putih kepada pasangannya lantas bersulang. Menarik juga. Saya masuk ke kedai, memesan segelas anggur putih dan membawanya duduk di luar, membaca sebentar sebelum menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Saya putuskan untuk duduk-duduk dan memperhatikan orang-orang lewat saja.

3 Comments

  1. saya jadi urungkan niat memakai baju yang memperlihatkan pusar, padahal pusar saya bagus lho, tidak seperti adik saya yang bentuknya seperti ujung ikatan balon.

  2. Enak dibaca dan jadi pengen baca Kundera lagi. Gue baru baca satu, The Unbearable Lightness of Being, dan bingung sama maksud ceritanya.. huhu.. Apa Maesy juga bisa ceritain, ya?

  3. milan kundera penulis kesayangan selain haruki murakami, mereka berdua termasuk penulis yang katanya seleranya aneh tapi entah kenapa setiap membaca bukunya jadi berasa pulang ke rumah alias nyaman

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s