Kartu-kartu nama itu ia tumpahkan di meja lipat di depan bangku kereta. Perlahan si ibu tua memilah dan mengelompokkannya; kartu potongan harga, kartu anggota toko kelontong, kartu anggota klab senam, kartu nama orang-orang, kartu nama tukang ledeng, toko perkakas, dan entah. Ada kartu dengan gambar kartun perempuan pirang yang memegang buah pisang dan botol minuman keras (apa pula itu?). Album penyimpan kartu nama ada di pangkuannya. Masih kosong, mungkin baru dibeli. Tiap kelompok sepertinya akan ia masukkan ke bilik-bilik di sana.
Kereta mulai berjalan kencang, terus ke barat menjauhi Tokyo. Di luar terlintas barisan perumahan, lalu padang rumput, lalu sawah, lalu barisan pohon sakura. Beberapa sudah berbunga, sebagian besar masih gundul. Si ibu tua tidak melihat ke jendela, matanya terpaku pada kartu-kartu itu. Gayanya tekun sekali. Sebelum sebuah kartu ditaruh pada kelompok tertentu, ia menimbang dengan kening berkerut, seolah berada dalam pilihan sulit. Kami tidak bicara. Tadi sebelum kereta bergerak ia sempat tersenyum dan berbasa-basi kecil sebelum mulai dengan urusan kartu nama itu. Saya memperhatikan saja. Mana berani saya mengganggu ibu tua yang sedang tekun begitu.
Maesy ada beberapa bangku di depan. Tadi kami masuk kereta agak terlambat. Tak ada lagi bangku yang bersisian. Kami sedang menuju Tsumago, sebuah desa di lembah Kiso, sekitar empat jam perjalanan kereta dari Tokyo.
Menumpang kereta dengan kawan yang sibuk memilih kartu nama pada dasarnya sama saja dengan berjalan sendiri. Ia diisi dengan soal-soal yang terlintas di pikiranmu saja. Si Ibu masih sibuk dengan urusannya. Ia baru mengeluarkan album kosong baru lagi, punya beberapa ia rupanya. Apa yang akan dilakukan dengan album-album itu, hanya dia yang tahu.
Betapa Jepang dipenuhi mereka yang melakukan hal-hal secara telaten, tekun, atau, dalam beberapa hal, penuh obsesi. Muncul ingatan soal otaku kereta, mereka yang terobsesi akan kereta. Mereka hapal semua jalur, jenis, dan tahun pembuatannya. Mereka menghabiskan waktu berlebihan untuk putar-putar naik kereta, dan selalu unggul jika ada kuis cepat tepat soal jalur kereta apa pergi ke mana. Dengar-dengar mereka bisa menebak tepat nama kereta hanya dari foto pemandangan samping jendelanya (entah ini bercanda atau tidak). Si Ibu tua bukan otaku kereta, sepertinya, ia hanya gemar menyusun kartu nama, atau menyibukkan diri agar tak diajak bicara orang asing, atau apalah.
Saya terbayang wajah otaku kereta, anak dengan tampang lugu yang kebingungan bagaimana menggunakan otak cemerlangnya. Jika suatu kali saya bertemu otaku yang sedang mabuk, mungkin ia akan bercerita lebih banyak. Soal mabuk ini juga membawa pikiran pada bagaimana orang Jepang meminum sakenya. Ritual minum dilakukan dengan bergaya. Kendi sakenya, cawan kecilnya, gaya menuang dengan siku terangkat itu, tertib dan berbudaya. Bandingkan dengan para peminum bir dengan gelas-gelas tinggi besar dan suara yang dimenggelegar-gelegarkan itu. Keras betul usahanya untuk tampil gagah. Bahwa sesudah minum terlalu banyak, apa pun minumannya, semua akan mulai meracau, lalu kehilangan segala keberbudayaan, ya, wajar saja.
Di sisi jendela yang lain, duduk pasangan kakek nenek yang saling bicara. Apa yang mereka omongkan, tentu tak saya mengerti. Namun, pada satu titik bisa ditangkap bahwa mereka sedang berdebat soal telepon genggam siapa yang sedang berbunyi. Si kakek menunjuk tas tangan si nenek, sebaliknya si nenek menunjuk tas si kakek. Si kakek merogoh tas mencari telepon genggamnya, sedikit kesulitan, sampai ketika wajahnya menampilkan paras puas saat telepon dikeluarkan. Bukan teleponnya yang berbunyi. Giliran si nenek yang merogoh tas dan menemukan bahwa teleponnyalah yang berdering. Senyum si kakek semakin lebar.
Kereta ini dipenuhi penumpang berusia lanjut. Kakek nenek yang saling bicara, Ibu tua yang menata kartu, pria paruh baya yang tertidur, pria paruh baya yang membaca buku dengan mulut ditutupi masker. Soal ini mau tak mau menjadi perhatian kami beberapa hari belakangan. Setiap kali sedikit keluar kota, kebanyakan penduduk yang kami temui berusia lanjut. Di Hakone saat kami naik ke sebuah bukit, atau saat duduk-duduk memperhatikan para pemancing di sekitar Danau Ashi. Di kereta ini tak terkecuali. Saya teringat ucapan Danny, seorang kawan sarapan, yang mengatakan selain tingkat kelahiran yang terus menurun, para pemuda Jepang kebanyakan bergegas pindah ke kota begitu usianya menginjak dewasa. Pinggiran kota akhirnya diisi mereka yang berusia lanjut, banyak yang sendiri. Ada fenomena khusus soal ini, Kodokushi, mereka yang meninggal sendiri di usia tua, dan baru ditemukan lama sesudahnya. Sedih sekali. Saya membayangkan menjadi tua sendiri, meninggal diam-diam, dan baru ditemui beberapa minggu kemudian dengan bau busuk. Kesedihan macam begini, mau diromantisir dengan cara apa pun, tetap saja bikin meringis. Kampanye soal ini mulai tumbuh, ajakan agar para pemuda kembali ke desa, juga ajakan untuk lebih sering mengunjungi kerabat berusia lanjut.
Ketiadaan anak muda juga dirasakan Noa, penjaga penginapan kami di Tsumago. Di desa di lembah Kiso itu pemuda berusia 20-25 tahunan nyaris tiada. Satu-satunya kawan seumuran Noa adalah putri pemilik penginapan tempatnya bekerja.
“Kami sering menghabiskan waktu bersama,” kata Noa. “Namun demikian aku harus tetap jaga jarak. Aku menghormatinya, tapi kau tahu, di sini sepi dan dingin. Kalau hal-hal terlalu jauh, urusan pekerjaanku bisa runyam.“
Maka pemuda Noa lebih sering menghabiskan waktu di kamar, atau pekarangan rumah, minum sake, melamun. Sendiri saja. Kalau dia pembuat haiku, tentu banyak yang bisa dihasilkannya. Saya teringat salah satu tulisan Kawabata tentang pria yang begitu terpesona pada seorang gadis, hingga setiap kali si gadis berseru, si pria begitu senang mendengar suaranya. Sebegitu senangnya sehingga ia menunggu gema suara si gadis memantul, agar ia bisa mendengarnya lagi. Kawabata berpanjang-panjang soal momen menunggu gema itu kembali. Ini jenis hal yang dilakukan mereka yang sendiri dan memiliki waktu berlebih.
Di perjalanan kali ini Maesy dan saya membaca beberapa buku karya pengarang Jepang. Ryu Murakami, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, dan Hiromi Kawakami. Ternyata soal-soal kesendirian ini muncul di semua karya yang kami baca. Beberapa dibuat subtil, yang lain terang-terangan. Tokoh Tsukiko di “Strange Weather in Tokyo” hampir setiap hari pergi ke Izakaya yang sama, sendiri saja, minum sake bergelas-gelas, kebanyakan sekali teguk tandas, hingga teler. Sampai ia bertemu Sensei Matsumato, pensiunan guru yang sama kesepiannya. Tokoh Kenji di “In the Miso Soup” berkata pada Frank, seorang Gaijin, saat mereka putar-putar di Kabukicho, sebuah distrik merah di Tokyo,
“Perempuan-perempuan Amerika Latin itu menjadi pelacur di sini karena sekarat perlu uang. Kau tahu kenapa perempuan-perempuan muda Jepang itu menjual tubuhnya di sini? Kau tahu, Frank? Karena mereka kesepian bukan kepalang.”
Mungkin itu ungkapan sambil lalu pria yang minum terlalu banyak sake murah, tetapi soal kesepian yang menggigit memang sering muncul setiap kali kami terlibat pembicaraan soal penduduk Jepang, utamanya Tokyo. Di Shinjuku, stasiun kereta yang hiruk pikuk itu, setiap hari bercampur aduk jutaan manusia yang juga memendam sepi, begitu orang bilang. Maesy sepertinya akan menulis lebih panjang soal ini, jadi saya sudahi dulu.
Saya tertidur di tengah buku “In the Miso Soup”. Saat terbangun, kereta sedang berhenti di stasiun entah apa. Si Ibu pemilah kartu nama sedang tertidur juga. Keningnya menempel di jendela kereta. Beberapa bangku di depan, saya melihat penumpang di sisi Maesy beranjak. Saya mengambil tas lalu maju ke depan, menghempaskan diri di bangku sebelah Maesy. Ia sedang tekun membaca.
“Hei, kau mau menggangguku, ya?” kata Maesy.
“Lihat saja nanti.” Jawab saya.
Kereta kembali berjalan. Terus ke barat. Perlahan semakin kencang. Melewati padang rumput, lalu sawah, lalu barisan pohon sakura. Beberapa sudah berbunga, sebagian besar masih gundul.
—
Dengan kata lain, orang-orang Jepang itu kesepian di tengah keramaian ya. Mungkin karena gaya hidup individualisme?
Btw, di Tsumago ada tempat apa yang menarik, mas?
Aduh, saya enggan berkesimpulan jauh-jauh, Matius. Lagi pula, Jepang memiliki akar kolektivisme yang kuat, sebetulnya.
Soal tempat menarik di Tsumago, hiking di Nakasendo trail menyenangkan.
Aaaa ada Nakasendo Trail, trek pendakian dataran tinggi begitu ya. Baik, makasih infonya mas. Will find out about it 🙂
Jadi inget pelajaran SMP, ciri negara maju ya banyak kota. Di Indonesia sendiri, banyak yang organisasi pemuda desanya terbengkalai karena mencari penghidupan di kota. Ramai kalau lebaran. Wah. Wah. Wah.
Arie rajin belajar tampaknya saat SMP dulu 🙂
Ternyata kebiasaan mengumpulkan kartu nama di komik beneran ada di kenyataan ya. Biasanya ibu2 rumah tangga jg mengumpulkan kupon diskon katanya. Sederhana tapi kayaknya seru juga 😀
Wah baru tahu kalau yang seperti ini ada di komik segala 😀
sebuah pembuka yang jatmika untuk perjalanan kalian, senang membacanya. 🙂
Ah, terimakasih, Nona. Si Maesy sekarang sedang menulis di pojok. Mukanya serius sekali.
yeay, tak sabar menunggu kisahnya.
Dongeng yang menyegarkan jiwa dan hati. Cerita selanjutnya sangat dinantikan…
Awesome journey.. Sangat menginspirasi..
Keep writing kawan.. Salam dari kami #sneakersholic