comments 27

Perempuan Tua yang Menanyakan Keadaan Hati Pemuda Peminum Bir

Saya bertemu Barbara Hagan di kedai kopi di dekat salah satu sisi kanal yang mengelilingi pusat kota Chiang Mai. Usianya 67 tahun, wajahnya pucat keriput, dan beberapa kali ia mengeluh pinggangnya sakit. Sudah sebulan lebih dia meninggalkan rumahnya di Selandia Baru untuk jalan-jalan sendirian keliling Asia Tenggara. Dua malam sebelumnya ia naik bus sepuluh jam dari Bangkok dan tadi pagi ia jalan-jalan ke beberapa perkampungan suku leher panjang. Capek juga, katanya. Saya bilang kalau usia saya segitu, pasti akan kepayahan juga. Saat itu saya sedang berjalan-jalan sendirian di Chiang Mai. Jika dua orang yang sama-sama berjalan sendiri bertemu, mereka cenderung bicara satu sama lain.

Dan Barbara Hagan punya kemampuan bicara yang tak terbendung.

Ia bicara terus dan berpindah dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahan lain tanpa saya betul-betul bisa menanggapi. Dia bercerita soal tumpangan keretanya di Vietnam yang bikin dia susah tidur. Bukan karena kursinya keras, tapi karena kakusnya bau, padahal ia duduk jauh dari pintu gerbong. Ia juga bercerita tentang pemijat-pemijat di Thailand yang tak ada harapan. Ia merasa diperlakukan seperti cucian basah yang diperas-peras, badannya sakit dan terasa lebih keriput dari seharusnya. Lalu ia lompat ke perkara pemandu wisata di Chiang Mai yang memperlakukan warga suku leher panjang dan suku-suku bukit lainnya bukan sebagai manusia, tapi sebagai tontonan belaka. Leher atau kepala mereka ditunjuk-tunjuk dari dekat dengan lagak seperti guru laboratorium biologi yang sedang mengajar. Turis diperbolehkan potrat-potret begitu saja tanpa meminta ijin atau omong-omong dulu sebelumnya.

Saya punya pengamatan yang mirip, sebetulnya. Namun, belum banyak bicara saya, cerita Barbara Hagan sudah melompat ke soal tamu lain di hostelnya yang kerjanya ribut semalaman. Pemuda di kamar sebelah itu rupanya pejalan dari Amerika yang mendadak begitu gemar akan soal-soal ketimuran macam meditasi, vegetarian, yoga, obat herbal, dan segala usaha pencarian kedamaian jiwa. Semalam ia mendengar si pemuda membual sejadi-jadinya tentang pencarian makna hidup yang sejati kepada dua turis perempuan yang mendengarkan dengan khusyuk. Tembok hostel itu tipis saja sehingga suara si pemuda terdengar keras ke dalam. Menurut Barbara Hagan, kebanyakan omongan si pemuda layak masuk kantung sampah lalu ditaruh di kamar orang yang kau benci.

“Ingin aku keluar kamar dan menyumpal mulutnya, tapi pinggangku sakit sekali, jadi kupaksakan tidur,” begitu kata Barbara Hagan.

Ia juga bercerita tentang rombongan pemuda Australia yang dikenalnya di penginapan di Bangkok. Kerja mereka mabuk dan meracau terus. Barbara Hagan sempat mengajak mereka omong-omong, tapi mereka lebih senang bicara dengan sesama mereka saja. Beberapa dari mereka sebetulnya tampan juga, dan kalau Barbara Hagan tiga puluh tahun lebih muda, mungkin ia tertarik. Namun, pemuda-pemuda itu bodoh sekali dan selalu dalam keadaan setengah teler. Tak banyak harapan. Barbara Hagan menyebut rombongan turis yang petantang-petenteng itu dengan sebutan Chang Beer, seperti merek Bir di Thailand.  Kau tahu, rombongan pemuda yang berjalan bersama, dengan beberapa diantaranya bertelanjang dada, menenteng bir, tertawa besar-besar, bersikap seenaknya, dan sedang menikmati kemudaan sepuas-puasnya.

Tempat duduk kami ada di teras kedai yang menghadap trotoar. Di antara obrolan, lewatlah serombongan pemuda kaukasia seperti gambarannya tadi.

“Hei Chang Beer!” seru Barbara Hagan kepada mereka. “Apa kabar liver kalian?”

Para pemuda menoleh sebentar sambil memberikan pandangan aneh, lantas berlalu. Barbara Hagan terkekeh-kekeh saja. Dengan usianya, ia bisa berbuat seperti itu sesukanya. Saya teringat kelompok nenek-nenek nyentrik di Jepang yang mengecat rambutnya warna warni dan bisa berbuat seenaknya karena segala urusan dengan dunia sudah beres. Nenek-nenek yang minum sake banyak-banyak sambil cekikikan, menguasai segala kursi di kereta, dan akan memukulmu dengan tongkat jika kau cari gara-gara dengannya.

Saat mengetahui saya berasal dari Bali, ia bercerita bahwa di akhir tahun sembilan puluhan ia kerap jalan-jalan ke sana. Setiap kali pulang ke Selandia Baru ia membawa banyak oleh-oleh khas Bali yang dibelinya di Pasar Sukawati. Di kampung halamannya benda-benda itu ia jual dengan harga berlipat-lipat. Lumayan juga untungnya, katanya terkekeh. Sampai suatu kali petugas bea cukai Selandia Baru mencegat dan mengenakan bea masuk untuk bawaannya yang tiga koper besar. Saat itu Barbara Hagan mencoba minta pembebasan pungutan karena benda-benda itu bukan dagangan tapi oleh-oleh untuk sanak saudara. Petugas bea cukai bilang, kecuali jumlah sanak saudaramu banyak tak kira-kira atau kau mau mendandani domba-dombamu dengan kain Bali, maka ini pasti barang dagangan. Barbara Hagan terpaksa bayar bea masuk.

Walau bawel dan tidak memberi saya banyak kesempatan bicara, ada juga hal yang saya suka darinya. Ia bercerita tentang petualangan yang masih dilakukannya, hal-hal menarik yang masih terus dilihatnya, hal-hal yang kini. Ia tidak sibuk bernostalgia tentang masa lalunya. Ia bukan jenis orang tua yang senang bercerita bagaimana hal-hal lebih baik pada jamannya yang lantas melanjutkan dengan nasihat-nasihat kebijaksanaan. Barbara Hagan sudah tua dan ia tidak terlihat terjebak di kejayaan masa lalunya. Ia masih menikmati hari-harinya dengan bersemangat. Walau ia mengeluh soal kereta, pemijat, pemuda teler, dan lain-lain, ia terlihat bergembira dan masih gemar main terobos. Tidak ada jamannya atau jaman saya, jaman sekarang juga adalah jamannya. Di usia 67 tahun petualangan Barbara Hagan belum selesai dan ia masih berselancar di atasnya. Sebawel apapun dia, saya tekesan juga.

Saya teringat kerabat yang masih begitu terkurung di masa lalunya. Setiap bertemu ia akan bercerita betapa saat muda dulu kerjanya gila-gilaan terus. Cerita tentang perempuan yang dipikatnya, prestasi atletik yang diraihnya, jumlah anak buahnya di kantor, bagaimana ia ugal-ugalan, dan semacamnya. Cerita yang sama berulang-ulang terus. Walau terkadang saya senang juga mendengarkannya, tapi jika kisah yang sama diulang terus, terbit juga rasa jemu. Apalagi ia jenis yang sulit menahan nafsu untuk menggurui. Di ujung cerita selalu diselipkan nasihat dengan lagak seolah segala asam dan garam sudah ia telan bulat-bulat. Kepengin tidur saya dibuatnya.

Saat malam mulai larut Barbara Hagan beranjak. Dia bilang kagum juga pada saya yang bisa tahan mendengarnya mengoceh. Saya bilang tak banyak yang hendak saya lakukan hari itu, sebab itu mendengarkannya tidak jadi soal. Sebelum pergi ia berkata bahwa sore tadi ia sempat beli lotere. Dua hari lagi seharusnya ketahuan apa dirinya beruntung atau tidak.

“Kalau aku menang dan kita bertemu lagi, kau akan kutraktir makan. Entah mana di antara dua itu yang punya kemungkinan lebih besar.”

Tentu saja saya tak bertemu lagi dengannya. Seperti kebetulan-kebetulan lain di dunia nyata, ia jarang berulang.

Twosocks

27 Comments

  1. Pasti Barbara Hagan, kalau punya profil FB, fotonya bukan foto masa lalu saat masih lebih cantik.

    Jadi, kerabat yang menggurui itu.. hmm..

  2. Disini sih umur segitu masih muda Ted, muda dan saatnya jalan2. Bapaknya temanku malah umur segitu mimpin grup jalan kaki kemana2. Kemarin dia bru pulang dari selandia baru, setelah satu bulan jalan. Satu hari dia bisa jalan 10 -15 miles.

  3. Umur 67 tahun masih jalan-jalan sendiri ke berbagai belahan dunia. Kalau di Indonesia yang seperti Barbara ini sudah jarang banget ya 🙂
    Kebetulan Pas di Chiang Mai saya juga pernah ketemu seorang turis asal Turkli yang sudah sepuh yang juga sedang berkelana sendirian. Hobinya juga bercerita, gak ada habis-habisnya 😀

    • Iya, semoga saya bisa tetap berolah raga dan makan sehat. Kalau tidak, di usia itu tentu saya sudah lecek betul 😀
      Salam kenal Yusmei. Apakah sempat menulis catatan perjalananmu saat di Chiang Mai juga?

      • Salam kenal juga mas. Eh kayaknya dulu temenku Indradiya yang dari Bandung pernah cerita ketemuan sama mas (eh manggilnya apa ya? hehehe).
        Catatan perjalanan di Chiang Mai kayaknya cuma buat 1 *duh dasar pemalas*, malah bikin yang di Chiang Rai dua tulisan 😀

  4. Pingback: Postcard From Wat Doi Suthep | Usemayjourney

  5. Rifqy Faiza Rahman

    Yang saya suka dari tulisan ini adalah, Barbara mendapatkan tempat untuk “bercerita” tentang dirinya. Itu sebuah penghargaan terhadap seseorang yang ditemui dalam perjalanan 🙂

  6. Ariesusduabelas

    judulnya menarik gak terasa pernah baca postingan ini. hehehe. dan kalau saya yang bertemu Barbara entah berapa lama saya bertahan mendengarkan, soal kalau mendengar oranglain bercerita, apalagi tua, pasti membosankan.

  7. Di zaman yang kita seolah dikepung beragam informasi , mendengarkan orang bertutur ngalor ngidul menjadi keahlian yang luar biasa, butuh kesabaran berlipat-lipat untuk mengolah kebosanan, salam kenal Ted..

Leave a Reply to vira Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s