Tiga anak kecil yang mengendarai traktor menghampiri kami. Yang paling besar, yang kemudian kami kenali bernama Thomas, bertanya apa kami tamu yang akan menginap di peternakan Twamley. Begitu Maesy mengiyakan, ketiga bocah melompat dari traktor lalu menunjukkan jalan. Elizabeth si pemilik peternakan sudah ada di depan rumahnya. Di sisi rumah ada bangunan yang disusun dari batu-batu tua. Kemudian kami tahu bangunan ini sudah ada sejak 1842, saat pendatang awal Inggris di Tasmania tiba di daerah Buckland. Kala itu lantai bawah adalah kandang kuda, sementara gandum dan benda lain disimpan di atas. Turun-temurun keluarga Elizabeth mengelola peternakan ini, dengan domba-domba, sapi-sapi, dan binatang-binatang piaraan. Kini, bekas kandang kuda itu ia jadikan penginapan yang bergaya. Di lantai bawah menjadi dapur, ruang duduk, dan perapian. Sementara di atas untuk ruang tidur.
Elizabeth memperkenalkan dua putranya yang tadi sudah kami temui, Ikey dan Archie, juga Thomas, teman mereka yang sedang main-main di peternakan. Sesudah semua beres Elizabeth mohon diri ke kota terdekat untuk sebuah urusan. Kami duduk-duduk saja di rerumputan di dekat Ikey yang sedang memunguti daun yang berguguran. Ikey memperkenalkan kami pada hewan-hewan piaraannya. Sprocket si bayi domba, Lulu si anjing kecil, juga Poncho dan frida, dua keledai berkaki pendek. Sprocket sedang kelaparan dan Ikey membiarkan Maesy membantu memberinya susu. Si bayi domba menyambut rakus botol susu yang dijulurkan Maesy sementara Lulu melompat-lompat di sekeliling dengan ekor berkibas-kibas. Saya bertanya pada Ikey apa Lulu mengira Sprocket juga seekor anjing. Ikey kebingungan seakan baru sadar akan kemungkinan itu. Ia lalu membawa kami ke padang tempat Poncho dan Frida merumput. Ia bilang kami boleh membelai kedua keledai asal tak berdiri dibelakang mereka.
“Kau akan disepaknya,” begitu kata Ikey.
Archie dan Thomas menghampiri. Ketiga anak ini sepertinya suka bertemu orang baru. Mereka menawari menemani kami keliling peternakan. Di dekat ruang pencukuran domba kami bertemu kakek tua bersuara berat dengan jabat tangan kuat. Pria itu kakek Archie dan Ikey. Dia ini bosnya peternakan, kata Thomas berbisik. Ketiga bocah membawa kami masuk ke ruang pencukuran domba. Mereka fasih sekali memberi penjelasan bagaimana domba-domba itu digunduli. Di sudut ruangan ada bak tempat bulu-bulu hasil cukuran ditumpuk. Ketiganya ringan saja melompat ke sana. Archie naik ke undakan lalu melompat sambil memamerkan gaya salto. Mereka bangkit dari bak, dipenuhi buku-bulu domba, dengan mulut cengar-cengir.
Di salah satu dinding ada foto domba dengan bulu yang lebatnya minta ampun. Itu Sheila, kata Thomas. Sheila sempat hilang di hutan nyaris enam tahun sampai akhirnya muncul di peternakan Twamley. Saat itu jalan Sheila berat karena bulunya kebanyakan. Ajaib ia masih hidup. Para peternak menangkapnya dan dengan susah payah mencukur bulunya. Saat ditimbang, bulu-bulu Sheila mencapai 21 kilogram! Tak berapa lama sesudah Sheila gundul, ia menghilang lagi ke hutan. Berita soal domba yang hilang enam tahun dengan bulu 21 kilogram sempat mengisi koran lokal. Klipingnya tertempel di dinding. Thomas berkata dengan bangga bahwa bapaknya ikut mencukur Sheila.
Ikey bertanya apa kami kepengin mendaki bukit di dekat sana. Dia bilang ibunya punya kejutan jika kami berhasil sampai puncak. Kami suka kejutan. Maka berlima kami mendaki bukit, terus ke atas melintasi padang rumput dan semak-semak, pohon-pohon yang masih tegak, juga yang tumbang karena angin kencang. Jika menoleh ke belakang akan terlihat hamparan hijau peternakan, dengan kawanan domba yang merumput, juga burung-burung, juga matahari yang sebentar lagi terbenam. Thomas sempat kelelahan. Kalian terus saja, biar aku mati sebentar di sini, katanya. Tapi ia tetap merangkak naik mengikuti.
Akhirnya kami tiba di puncak dengan napas tersengal. Di dekat sebuah pohon tumbang terdapat lemari besi kecil. Ini dia kejutannya, kata Archie. Dari sana ia mengeluarkan sebotol Port Wine dan gelas karton. Wah! Saya dan Maesy menuang Port Wine, sementara ketiga anak hanya planga plongo. Mereka belum cukup umur. Thomas sempat mencium botol anggur dan menarik nafas mengagumi aromanya.
“Aku pernah minum anggur, tahu,” katanya. “Tak ada masalah!”
Archie dan Ikey melotot ke arahnya dan Thomas mengembalikan botol itu kepada kami.
Angin sore bertiup agak dingin. Archie berkeliling mengumpulkan kayu kering lalu membuat api. Gerakannya tangkas. Kami berlima duduk di dekat api, memandangi hamparan peternakan di kejauhan dan ngobrol sana-sini.
“Jadi Ikey, Thomas ini sahabat terbaikmu, ya?” tanya saya.
Thomas mengangguk, tetapi pada saat yang bersamaan Ikey menggeleng dan berkata teman terbaiknya bernama Mark Collins.
“Memangnya kau tahu kapan si Collins ulang tahun?!” sembur Thomas.
Ikey menggeleng dan Thomas memasang wajah seolah ia baru saja membuktikan sesuatu.
“Kalian kepengin jadi apa kalau sudah besar?” tanya Maesy.
Ketiganya diam sebentar sampai Archie menjawab.
“Aku mau tinggal di semak-semak saja. Miskin tanpa uang. Dengan begitu aku tak harus bayar pajak.”
Saya dan Maesy saling pandang, lalu tertawa bersama-sama.
Kami berjalan menuruni bukit sambil terus ngobrol soal macam-macam. Kami menyampaikan sebuah ide cerita tentang Maut yang harus memilih siapa yang akan dibawa ke alam sana, seorang pria pembuat keramik atau perempuan penyanyi di band indie. Kami bertanya jika mereka Maut, siapa yang akan dipilih. Tanpa banyak pikir mereka sudah bersepakat. Tentu saja pembuat keramik yang mesti selamat!
“Aku bisa hidup tanpa harus mendengar lagu,” kata Thomas dengan wajah meremehkan. “Tapi aku tak bisa tahan kalau harus makan tanpa sendok, piring, dan gelas.“
Kami berpisah dengan ketiga anak itu saat tiba di bawah. Thomas harus pulang. Sebelum berpisah Thomas sempat berkata.
“Aku mungkin tak akan ketemu kalian lagi. Tapi sore ini boleh juga.”
Ia masih Sembilan tahun, tapi kami rasa Thomas akan tumbuh menjadi pria yang hangat.
Keesokan harinya saya dan Maesy terbangun pagi-pagi oleh suara burung. Kami keluar kamar, mendapati peternakan yang hijau dan udara yang segar. Poncho dan Frida juga sedang berdiri tenang- tenang di balik pagar. Kami memutuskan untuk berjalan kembali ke atas bukit itu. Berdua saja. Di puncak bukit botol port wine masih ada. Kami menuangkan ke gelas masing-masing dan kembali duduk di atas pohon tumbang, memandangi pagi di peternakan Twamley. Di kejauhan, terlihat kawanan domba yang sedang merumput.
—
Jika Thomas nanti pandai menulis, tulisannya akan serupa isi blog ini yang juga amat hangat. Salam untuk kalian, Teddy dan Maesy.
Udah jatuh cinta sama Thomas.
Syahdu sekali membaca cerita ini, terasa nyaman dan damai 🙂
Cerita yang mungkin sama menyenangkannya ketika berada di peternakan tersebut, lalu bertemu tiga bocah yang sama menyenangkannya pula. Salam.
Hangat sekali membaca cerita ini :”)