Seekor anjing hitam berlari mendekati kami. Moncongnya tertunduk hingga sedikit di atas pasir pantai yang menguning. Totol-totol putih terlihat di tempat-tempat yang tidak menunjang estetika. Anjing kampung biasa dengan leher telanjang. Saya waspada, menjaga kemungkinan ia datang untuk cari gara-gara. Pada jarak beberapa meter, si anjing melambat. Kini ia berjalan dengan ekor yang mengibas-ngibas. Gypsytoes dan saya menarik nafas lega. Si anjing tidak sedang cari gara-gara. Seperti kami, suasana hatinya pun sedang riang.
Pagi-pagi buta kami bangun dan menyetir ke selatan menuju Pantai Mengiat di Nusa Dua. Kami tiba saat matahari baru saja terbit, saat sinar kuning memantul di air yang bergerak perlahan, saat sekelompok burung kecil yang tadinya mematuk-matuk di bibir pantai sontak beterbangan ketika ombak datang, saat yang terdengar hanya bunyi ombak dan cuit-cuit burung. Ini tentu suasana yang membuat hati tenteram. Tak terkecuali si anjing hitam. Tak terkecuali kami. Ini jenis suguhan yang bisa membuat seseorang tiba-tiba berpikir dirinya penyair. Semembosankan apapun ia.
Kami lanjut berjalan menyusuri garis pantai dengan si anjing yang mengekor di belakang. Terkadang kami omong-omong tentang suatu hal, terkadang diam-diam saja. Gypsytoes menyiulkan sesuatu. Siulan yang sember dan putus-putus. Ia meminta saya menebak lagu yang sedang disiulkannya. Mana kutahu, jawab saya. Itu “Moon River”, katanya. Ia bersiul lagi dan berkeras tak mungkin saya tak mengenal nada itu. Bahwa siulannya sember dan putus-putus tampaknya bukan sesuatu yang ia perhitungkan. Saya katakan siulannya mulai bisa diterima sebagai nada “Moon River”, tapi itu lebih karena saya sudah tahu apa yang sedang coba ia perdengarkan. Lalu saya menyiulkan “Love Story” dari Andy Williams dan memintanya menebak. Gypsytoes berang dan menuduh saya cuma cari gara-gara. Ia benci lagu itu. Lagu dari film dengan judul sama yang saat SMP dulu bikin saya menangis terharu, tapi olehnya dianggap picisan bukan kepalang.
Kami teringat perbincangan pagi buta tadi saat di mobil terdengar lagu-lagu natal, salah satunya Michael Buble yang menyanyi “Silent Night”. Ini lagu yang memberi suasana syahdu saat mobil berjalan di jalanan kosong di tol atas laut Bali yang megah itu. Saat itu di beberapa sisi terlihat barisan gunung dan langit yang memerah. Laut sedang tenang setenang-tenangnya. Kami berdiam-diam, hanyut bersama lagu dan suasana.
“Kau tahu adegan film apa yang pas untuk lagu ini?” saya memulai percakapan.
“Apa?”
“Ia lagu di bagian akhir film, mengiringi adegan seorang tokoh yang menenteng golok lalu membantai korbannya yang sedang tidur pulas. Tanpa ampun. Golok berayun. Darah muncrat. Crat! Tirai putih berubah merah. Semua ditampilkan dalam gerak lambat.”
“Di akhir lagu, yang disorot hanya tangan sang tokoh yang menenteng golok. Darah menetes pelan seirama dengan nada akhir lagu ini. Tes, tes. Film selesai. Layar gelap.”
“Ironis.”
Anjing hitam dengan totol-totol putih di tempat yang tidak menunjang estetika itu masih mengekor. Burung-burung yang mematuk-matuk di pasir beterbangan saat kami lewat. Gypsytoes sesekali masuk ke laut hingga air membasahi lututnya. Sedang riang ia rupanya. Omong-omong tentang ironi, kami berbincang tentang betapa perjalanan pagi buta di atas tol atas laut itu juga memiliki ironinya. Betapa hal indah dan megah itu dibuat dengan memancangkan beton-beton ke laut, mengujamkan berton-ton kapur ke laut, merusak hutan mangrove dan segala ekosistemnya. Dan hal itu dilakukan dalam rangka mendatangkan lebih banyak pengunjung ke wilayah selatan Bali. Wilayah yang semakin tak kuasa menampung lebih banyak wisatawan.
Bali selalu indah. Indah sekali bahkan. Namun, pada saat yang sama, selalu ada ironi yang menampar. Ia indah tapi sampahnya makin menggunung. Ia asri tapi air makin sulit di banyak daerah. Ia megah tapi budayanya makin megap-megap. Penduduknya konon ramah dan bersahaja, tapi di jalan-jalannya berjajar baliho ormas dengan wajah pria-pria sangar. Pembangunan semakin gencar tapi penduduk lokal semakin tergeser ke bangku penonton. Ia terus dipoles tapi meninggalkan ironi. Seperti pria necis dengan singlet kumal.
Saya ingat sebuah sore, dulu sekali, saat berjalan di salah satu pantai di Nusa Dua bersama ibu. Saat kami berjalan menikmati pantai, seorang satpam hotel mendekat. Ia meminta kami pergi karena garis pantai itu milik hotel. Ibu, jika kau mengenalnya, bukan perempuan yang mudah gusar. Tapi waktu itu, entah karena idealisme atau karena ia tak rela sore sempurna untuk anak kesayangannya rusak, ia mulai merepet. Ia bertanya apakah Pak satpam orang Bali. Saat satpam mengangguk, ia lanjut merepet dan menghujatnya karena mengusir sesama orang Bali dari tanahnya sendiri. Kami tidak sedang mau bikin kotor di sini, cuma mau lewat dan bersantai, tak lebih, begitu katanya. Ia masih lanjut merepet dengan mengatakan tindakan mengusir macam begini bisa bikin leluhur berang. “Berani kau dikutuk leluhur?” begitu ia mengancam. Ibu-ibu yang sedang merepet memang sanggup menerbitkan ngeri. Pak satpam gentar dan membiarkan kami lewat.
Di ujung garis pantai ada sebuah bukit karang bernama pulau Peninsula. Gypsytoes dan saya naik ke sana menuju sebuah tempat di ujung, tempat batu-batu karang berdiri tepat di bibir laut. Dari atas bukit terlihat garis pantai Nusa Dua seperti garis kuning yang berkelok-kelok. Di bawah, air laut menghantam karang hingga menimbulkan ombak pecah yang terkadang memuncrat hingga ke atas. Terkadang ada burung yang terbang rendah. Si anjing telah berlalu. Tadi ia bertemu anjing lain yang juga melonjak-lonjak girang. Kami duduk bersebelahan melihat laut dan garis pantai yang berkelok-kelok itu. Kepala Gypsytoes terkadang bersender di bahu saya. Seperti muda-mudi saja.
Ini satu hal yang selalu saya sukai tentang Bali. Sebanyak apapun urusanmu, kau selalu bisa mencuri waktu untuk hal-hal indah begini. Di sini hal-hal indah ada di banyak tempat dan rata-rata dekat saja. Saat itu kami di Bali untuk perayaan Galungan. Itu adalah saat di mana hari penuh dengan persembahyangan, mengunjungi sanak saudara, bermain dengan keponakan, dan semacamnya. Menyenangkan, tentu, tapi penuh. Karenanya, setiap hari kami bangun pagi-pagi dan mencuri waktu untuk diri kami sendiri. Mengunjungi laut, berjalan di bibir pantai, melihat matahari terbenam, melihat burung-burung yang mematuk-matuk di pasir yang kemudian beterbangan saat kami lewat. Menenangkan sekali. Walau begitu, perasaan campur aduk masih akan selalu ada karena hal-hal ironis tadi, perkara pria necis dengan singlet kumal tadi. Namun untuk sekarang, masih banyak sisi Bali yang indah. Indah sekali bahkan.
Entah sampai kapan.
Twosocks
Anjing, tiap kali saya selalu keringat dingin gemetar tatkala melihat ada anjing di depan saya… Bali memang selalu indah kak.
Wah kalau saya gentar sama Kucing dan Ayam, haha
khayalan lo tentang lagu Silent Night dan adegan pembantaian itu mengingatkan gue pada khayalan gue tentang lagu La Vie En Rose, yang cocok jadi lagu untuk penutupan film horor, dengan adegan seorang nenek kurus dan ringkih lagi merajut sambil duduk di kursi goyang, di sudut sebuah rumah reyot dan gelap. Entah apa yang sudah dia perbuat sehingga membuat film itu horor.. 😛
Vira, janganlah kau gemar memupuk prasangka yang tidak-tidak pada nenek-nenek.
Bali kiranya adalah Iceberg. Masalah yang muncul hanyalah sebagian kecil daripada inti masalah yang lebih besar.
Nice writing as always.
Iya, semoga makin banyak yang melihat ini, ikut awas, dan sama-sama turut menjaganya. Terima kasih ya Farchan 🙂
Somehow I believe that the pictures in this post do a deeper storytelling. :))
Thank you Innas 🙂
Segitu kotornya Bali? trakhir kesana thn 2011. Saya masih lumayan suka, dan nth krn ga bnyk jalan k tempat2 biasa, apa yg saya liat sih msh terawat, bersih dan bikin betah 🙂 Sayang bgt kalo skr udh brubah 😦 ..
Hi Fanny, Bali masih indah. Indah sekali bahkan. Masih banyak sudutnya yang asri dan menyenangkan, tapi ya itu, perlahan hal-hal murung juga bermunculan. Semoga makin banyak yang melihat hal ini dan ikut sama-sama menjaga.
bali itu mengangenkan. seperti berjalan dengan kaki telanjang ke pantai pun mengangenkan..
Halo Indri, iya, aku pun sedang kangen rumah sekarang. Selamat tahun baru ya, Indri, moga banyak hal menyenangkan terjadi di tahun depan 🙂
Anjing itu bisa jadi kawan yang menyenangkan 🙂
Bali Bali Bali, semua teriak Bali.