comments 3

Dari Sisi Timur

Kami menyetir meninggalkan Hobart dalam hujan yang tak berhenti. Ini artinya Andy, si pemilik kebun anggur di Richmond, cuma asal omong. Kemarin, dengan penuh keyakinan – sambil menjabat tangan Maesy segala – Andy bilang agar kami tak percaya ramalan cuaca. Sudah berbulan-bulan Tasmania tak berhujan, katanya. Jika hari ini tak berhujan, kami berniat trekking di Taman Nasional Freycinet sebelum menginap di Bicheno. Ide trekking mesti dilupakan. Tapi bagaimana pun, ini tetap perjalanan darat yang menyenangkan. Di kanan kiri kami terlihat padang-padang rumput dengan domba-domba yang bulunya sudah dicukur, atau sapi-sapi hitam dengan moncong berwarna putih. Di mobil terdengar lagu-lagu dengan iringan akordion.

Di jalan yang berkelok, beberapa kali Maesy meringkuk ketiduran. Di sela-selanya ia terbangun dan mengomentari segala sesuatu. Saat melihat barisan pohon gundul yang ranting-rantingnya berwarna keputihan, ia menyatakan kekaguman. Ingatkan aku untuk tidak mengecat rambutku jika mulai memutih, katanya. Ini semacam penanda bahwa warna putih tetap bisa angggun, katanya lagi. Saya katakan, untuk kasusku, masih punya rambut saja sudah syukur. Ia tertawa mendengar ini.

Kami sempat berhenti di sebuah kota kecil yang kami lupa namanya untuk segelas kopi dan sepotong muffin sayuran.  Sempat terjadi ketegangan saat saya menyampaikan sebuah ide cerita untuk buku kami berikutnya. Maesy menyatakan ketidaksukaannya. Saya mulai menyerangnya dan ia, tentu saja, berkeras. Sesudah itu kami diam-diaman untuk beberapa waktu. Saat melanjutkan perjalanan saya berkata bahwa suatu hari, jika saya menulis memoar, mungkin saya akan menyebut betapa perbedaan soal ide buku ini adalah awal kerenggangan kami. Untuk itu dia menoyor kepala saya lalu berkata, dasar anak geblek ego gede, beginian doang bikin renggang. Lalu kami ketawa-ketawa.

Menjelang sore kami tiba di Bicheno dan memutuskan untuk mampir di pantai-pantai di sepanjang area Bay of Fire. Hujan sudah berhenti dan menyisakan mendung. Kami keluar dan berjalan di atas batu-batu yang berwana kemerahan. Warna ini timbul oleh semacam ganggang yang berlama-lama mendiaminya. Udara dingin sekali dan angin bertiup kencang. Kami memakai pakaian tiga lapis dengan jaket yang dikancingkan hingga dagu,  dan terus berjalan menyusuri pantai sambil sesekali berhenti melihat burung-burung camar yang terbang rendah dan berkoak-koak. Di salah satu sisi pantai seorang bapak tua asal Queensland menghampiri. Ia menjulurkan teropong dan mengatakan di salah satu batu besar di kejauhan ada sepasang singa laut. Benar, dengan teropong kami bisa melihat dua ekor singa laut sedang tidur-tiduran seolah angin dingin ini hanya soal sepele. Kami mengucapkan terima kasih ke si Bapak tua lalu saling bertukar keluhan soal cuaca yang buruk dan matahari yang tak kunjung tampak.

Malam itu kami menginap di Bicheno, di sebuah kabin dekat pantai yang dikelola pasangan tua, Basset dan Gail. Pak tua Basset sudah menunggu saat kami tiba. Logat Australianya kental dengan sengau yang membuatnya terdengar seperti erangan. Ia ramah dan tertawa setiap beberapa saat, tapi dengan sengaunya itu, saya tak seberapa paham apa yang ia katakan. Namun, saya lirik Maesy terlihat mengangguk-angguk sambil ikut tertawa dan mengucap terima kasih, jadi semestinya semua aman. Basset sudah menghidupkan api di perapian dan menunjukkan di mana kami bisa mendapat kayu bakar. Ia juga menunjukkan di mana kami bisa melihat penguin saat hari gelap. Setelah semua beres ia pergi. Saya memotong beberapa kayu bakar untuk persiapan malam nanti.

Saat hari mulai gelap kami mengikuti anjurannya untuk mencari penguin. Dengan berbekal senter kami mengikuti jalan setapak di antara semak-semak hingga tembus ke pantai. Pantai sudah gelap dan kami berdiri di atas batu memandang ke tengah, menunggu hingga tiba waktu makhluk-makhluk yang jalannya selalu tampak tergopoh-gopoh itu muncul. Angin masih bertiup kencang dan sesekali kami menggigil. Saya sempat berkata jika saat itu seorang pegulat membekuk saya, lalu menelanjangi dan mengikat saya dengan rantai di salah satu batu hingga sebagian tubuh tercelup air, saya pasti akan menangis melolong-lolong, melupakan segala ide apa yang seharusnya dilakukan lelaki macho. Nyaris tiga puluh menit berselang, penguin tak kunjung muncul. Maesy bertanya apa kita mau terus menunggu.

Kami berjalan kembali ke penginapan, melewati jalan setapak di antara semak-semak, dengan diterangi lampu senter, memutuskan untuk mengakhiri malam tidur-tiduran di dekat perapian saja. Dengan kaki berselonjor yang ditutupi rselimut kami minum anggur putih bikinan Andy. Di botolnya tertulis “every woman and her dog”. Walau untuk urusan cuaca Andy cuma asal omong, soal anggur ia bisa diandalkan. Anggur putihnya enak sekali. Kami bersulang untuknya, sebelum meringkuk tenang-tenang. Sekilas saya sempat teringat soal singa laut tadi.

 

IMG_20181008_15592427675789-AD64-4C5A-87CC-F85F4FFBCD9BC3A61F1C-9329-47BC-B37F-B52A727118A3IMG_20181009_174056

3 Comments

  1. Pingback: 11 Travel Blogs Daily on My Radar You Shouldn’t Miss – A Plate for Two

Leave a comment