comments 5

Dari Bangku Kayu Berwarna Biru Saat Matahari Bersinar Hangat

Usia Maesy enam tahun saat ia memasukkan kue-kue kering ke toples, juga pisang dan apel, lalu mengisi botol dengan limun dan mengajak beberapa sepupunya piknik di pinggir Danau Sunter. Dengan alas kertas koran mereka duduk menyantap bekal dan memandangi danau yang keruh. Di kepala Maesy mereka sedang piknik di pedesaan di Inggris, persis keseharian tokoh-tokoh yang ia baca di buku-buku Enid Blyton. Cerita-cerita Lima Sekawan ini, atau Malory Towers, muncul lagi di kepalanya saat kami berjalan kaki dalam hujan rintik di hutan kecil di pinggir danau Windermere. Dan Maesy menceritakannya kepada saya dengan keriangan kanak-kanak. Gadis-gadis tangkas di serial Mallory Towers juga senang main hujan, katanya. Saat tubuh mengering, rambut mereka jadi awut-awutan. Saya membiarkannya saja bercerita di antara daun-daun yang beraroma bawang putih.

Sejak minggu lalu kami menyewa kendaraan di London dan menyetir ke pedesaan di pinggir danau-danau di utara Inggris, lalu kembali ke selatan, main-main di pedesaan dengan rumah-rumah tua dari batu berwarna madu di Cotswold. Ini jenis perjalanan darat yang selalu kami sukai, melaju di jalanan lapang, mampir di desa kecil yang namanya belum pernah kami dengar, mendaki bukit berwarna hijau dengan gerombolan domba yang sedang merumput. Kami makan kue jahe dari resep ratusan tahunan di Grasmere, melihat pemuda-pemuda Wigton memasukkan botol minuman bekal malam minggu, memandang kucing yang mengintip di balik jendela kaca rumah dengan gerumbulan mawar di halaman, melihat pasangan tua bergandengan tangan di pinggir danau di Ambleside. Di pinggir danau itu pula kami merasakan melankolia saat membaca tulisan di sebuah bangku yang berbunyi: In loving memory of Linda Oxley, who loved the lakes but left too soon.

Karena Maesy tak sanggup menyetir, ia bertugas membuat semua perencanaan. Hari ini kau menyetir empat jam, karenanya kau boleh minta kopi atau makan apa pun sesukamu! Hari ini kau menyetir dua jam saja, tapi sesudahnya kita jalan kaki dari desa ke desa! Begitu. Tapi anak ini lumayan juga, dia membuat rencana perjalanan dengan baik. Kami mendapat cukup alam, kopi enak, dan waktu bengong-bengong. Di kedai teh di dekat kastil Warwick kami mendengar dua ibu yang membicarakan temannya yang kehilangan mobil. Di warung roti di Bourton-on-the-Water kami melihat remaja yang merajuk pada ibunya. Aku tak mau dekat-dekat denganmu! kata si remaja sambil mengucurkan air mata, hidupnya demikian berat. Tapi ia tak menolak saat ibunya menjulurkan tambahan roti tangkup. Kami menyimpan tawa saat anak itu membuka jaket dan tato-tato lambang pemberontakan terlihat di sepanjang lengannya. Kami teringat lagi akan anak itu saat di toko permen di kota kecil Chipping Campden, pemilik toko memajang tulisan yang berkata anak nakal akan dia bikin jadi pie.

Perjalanan darat ini memberi kami perasaan bebas yang membuat hal-hal bisa dinikmati dengan perlahan. Lihat saja Maesy yang berkomentar sambil memejamkan mata tentang tekstur meja kayu tua, atau bagaimana cahaya matahari memantul dari gelas anggurnya! Kami bisa berhenti di sembarang tempat, makan pisang dan buah plum sambil melihat kincir angin di dekat ibu-ibu tua yang menyantap makan siang ditemani anjing yang bentuknya seperti sosis. Kami juga bisa menikmati hari tanpa banyak beban. Saat salah mengambil tikungan di perjalanan kaki menuju desa Lower Slaugther, kami tenang-tenang saja. Kami mampir di sebuah peternakan dan bertemu gadis tangkas yang menuntun kuda hitam berwajah sendu dengan rambut di kaki. Dia lima belas tahun, tapi jiwanya sudah tua sejak lahir! kata si gadis peternak saat saya bertanya soal usia kudanya. Seperti kau! kata Maesy menunjuk hidung saya begitu mendengar jawaban si gadis peternak.

Kami berhenti minum kopi di mana pun, dan berlama-lama. Selalu ada buku untuk diselesaikan, bukan?  Siang tadi di kedai kopi di Hye on Wye (pagi-pagi tadi kami sampai Wales!) saya membaca memoar Deborah Levy berjudul ‘Things I Don’t Want To Know’. Di salah satu bagian ia menulis begini:  A female writer cannot afford to feel her life too clearly. If she does, she will write in a rage when she should write calmly. Kami berbicara tentang kemarahan para penulis perempuan dan betapa itu semua masuk akal. Kami juga berbicara tentang bagaimana Deborah Levy menulis dari posisi dengan privilese (ia menulis tentang masa kecilnya di Afrika Selatan di bawah Apartheid, dan ia warga kulit putih dengan pelayan yang memiliki putri bernama Thandiwee yang dipanggil Maria demi kemudahan lidah pemalas majikannya). Tulisannya juga mengingatkan kami tentang betapa hidup, saat dilihat lebih dekat, sering kacau balau belaka. Kami kembali teringat tentang bagaimana bersama umur Maesy melihat tulisan-tulisan Enid Blyton dipenuhi masalah. Lihat saja segala stereotip itu, semua penjahat berkulit hitam, dan semua anak keturunan spanyol lahir dari rombongan sirkus!

Saya menulis catatan ini di taman belakang penginapan kami di Hye on Wye, sedang sedikit gembira karena sinar matahari bersinar hangat sesudah seharian yang dipenuhi hujan. Maesy duduk di bangku kayu berwarna biru di dekat saya, membaca novel Sally Rooney sambil sesekali mengungkapkan suka citanya akan terpaan sinar matahari. Setiap beberapa saat ia menuangkan anggur murah yang kami beli di supermarket ke gelas saya, dan saya dengan patuh meminumnya sambil menulis. Minum, menulis, minum, menulis, dan botol menjadi kosong, dan Sarah Vaughan terdengar sayup-sayup menyanyi lagu cinta, dan mata mulai berkunang-kunang, dan dunia terasa menggembirakan, dan Maesy tertawa-tawa. Dan Maesy tertawa-tawa. Dan Maesy tertawa-tawa.

bangku cotswold

3a2409ed-597f-4641-a0a7-01eafb392de7

Road

268204CE-EE6F-46C8-B424-901355743F57

tembok cotswold

5 Comments

  1. Pingback: Link Cepat: 10 – Ariesusduabelas

  2. Razan Tata

    Akhirnya tulisan baru!

    Seperti biasa, menghanyutkan. Perasaanku jadi lebih baik sehabis membaca catatan ini 🙂

  3. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Kami begitu terhanyut dalam setiap momen yang disuguhkan. Semoga suatu saat bisa mengikuti jejak trip ini. Semoga…

    Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi

Leave a comment