comment 1

Jakarta Kami di Suatu Minggu

Hari itu kami bangun kesiangan. Maesy kelelahan karena sehari sebelumnya baru pulang dari Singapura untuk suatu urusan. Kami golek-golek saja, ngobrol sana-sini, terlalu malas bahkan untuk menyeduh kopi. Sinar matahari masuk menembus jendela menimpa ujung kaki Maesy yang menyembul dari balik selimut. Ia membiarkan saja kakinya di sana. Saya meraih amplop coklat di sisi tempat tidur dan membaca lagi surat yang kami terima malam sebelumnya. Surat dari Andika Budiman, kawan baru kami di Kineruku.  Dari Rani Kineruku kami pernah mendengar bahwa Andika sesekali menulis surat untuk kawan-kawannya. Surat untuk kami ini panjang, dan ditulis dengan tulisan tangan yang rapi. Ia bercerita tentang keseharian di Kineruku, hal-hal yang ia lakukan di kala bosan, pertemanan-pertemanan yang tercipta, pendapatnya soal puisi Anya Rompas dan Mikael Johani. Andika pria yang lembut sekali, tutur katanya selalu halus, demikian pula suratnya. Di satu bagian ia menulis betapa kesedihan terkadang seperti keran yang bocor, begitu sulit ditahan. Di bagian lain ia bercerita tentang penulis kesukaannya, Oliver Sacks. Andika mengagumi bagaimana Sacks menulis tentang pasiennya dengan penuh kasih sayang. Ia juga menyelipkan lukisan kecil wajah Oliver Sacks yang ia buat. Andika mengaku kesulitan saat melukis janggut Sacks. Ia menggunakan tip-ex untuk membuatnya jadi uban. Surat Andika indah sekali. Kami masih terharu bahkan saat membacanya untuk kedua kali. Sampai hari ini kami belum mulai menulis balasan untuknya (maafkan kami, Andika, kami kesulitan membuat surat yang sama indahnya dengan suratmu)

Menjelang tengah hari kami akhirnya bangun betulan, menyeduh kopi, memutar musik, mandi, lalu duduk-duduk membaca di ruang tamu. Begitu terus hingga saat kami harus berangkat ke POST. Hari ini kami ke sana sedikit lebih awal karena ada janji bertemu Tama. Dia berjanji menunjukkan beberapa foto yang ia kira cocok untuk ilustasi Semasa, naskah novela yang baru saya selesaikan bersama Maesy. Tepat pukul dua Tama muncul, tapi dasar anak sembrono, ia lupa membawa komputer. Di tangannya malah ada sekresek bahan memasak. Terlihat segenggam petai melongok dari kresek. Sambil cengengesan ia berkata akan membawakan foto untuk kami lain kali. Hari ini ia sibuk berbelanja bahan untuk sebuah acara masak-memasak malam nanti. Dengan seenaknya ia menggelar petai di meja dan mulai mengupasnya satu-satu. Kami membiarkan Tama di sana hingga aroma petai mulai memenuhi toko buku. Di titik itu semua petai harus kembali masuk kresek.

Pukul tiga POST buka. Seperti biasa beberapa kutu buku datang dan pergi, juga orang-orang yang celingak-celinguk, juga kucing-kucing. Ada kawan-kawan lama POST, ada kenalan baru. Ada Dewa yang muncul lagi sesudah dua tahun tak kelihatan. Dulu wajahnya masih culun, sekarang ia gondrong dan baru saja menerbitkan buku kumpulan cerita pendek secara mandiri. Ada Melisa yang mampir sebentar, mengaku belum menyelesaikan My Documents karya Alejandro Zambra yang terakhir dibelinya tapi tak tahan untuk membeli buku lagi (Penyakit para kutu buku yang membuat POST jalan terus). Ia menyambar Muslihat Musang Emas karya Yusi Avianto Pareanom. Lalu ada Isabella dan Bambi, temannya. Isabella seorang penjaga toko buku di Madrid yang sedang berkunjung ke Jakarta dan mencari-cari kegiatan kesusastraan. Ia mengambil buku puisi Mikael Johani, We Are Nowhere and Its Wow, membawanya ke sudut dan membaca. Ia menyukai dan membelinya. Kami katakan bahwa malam nanti Mikael dan teman-temannya mengorganisir acara puisi di Paviliun 28. Isabella antusias dan berniat datang, walau Bambi tidak menunjukkan wajah bersemangat. Belakangan saya tanya pada Mikael apa ada orang dengan ciri-ciri seperti Isabella yang muncul di Paviliun 28. Kata Mikael tak ada. Semua ini pasti gara-gara Bambi.

Hujan turun deras, beberapa pengunjung meminta kami memutarkan lagu AriReda. Kami putarkan lagu Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta di Spotify. Orang-orang membaca, atau saling mengobrol, atau melamun tenang-tenang terbawa suasana. Sampai saat Spotify secara otomatis berpindah ke lagu Raisa. Pengunjung protes dan saya putarkan Billie Holiday demi menjaga suasana syahdu.

Sedikit lewat pukul enam, tiba-tiba muncul Yusi Avianto Pareanom, bersama Rere istrinya, juga putra bungsunya Sulaiman. Rupanya mereka baru saja putar-putar Jakarta merayakan ulang tahun pernikahan ke-25. Mbak Rere nyelonong ke dalam dan berbicara dengan Maesy, sekilas sepertinya soal keju dan tanaman. Saya, Mas Yusi, dan Sulaiman ngobrol sambil minum kopi di antara suara hujan dan musik jazz, kebanyakan seputar buku. Soal Banana yang akan menerbitkan buku puisi Bagus Takwin. Soal apakah sebuah karya harus senantiasa benar secara politis? Soal karya-karya apa yang kira-kira dibuat Abinaya saat ia tumbuh besar nanti. Soal buku baru Mas Yusi, Muslihat Musang Emas. Soal buku-buku kumpulan cerita pendek bagus lain yang baru terbit. Saya mengatakan buku Cyntha Hariadi, Manifesto Flora, bagus sekali. Mas Yusi belum membacanya, tapi ia bilang sudah membaca kumpulan puisi Cyntha dan menurutnya bagus. Sementara itu Sulaiman duduk saja di dekat kami, memasang wajah tak peduli. Ayahnya memintanya untuk ikut bercerita. Cerita apa, kek. Sulaiman bergeming. Malas katanya. Kami tertawa, memahami bahwa anak seusianya pasti sering memendam pikiran kenapa, sih, orang dewasa tidak diam saja, atau pergi jauh-jauh. Menjelang pukul tujuh malam, rombongan keluarga ini pamit hendak kembali ke Depok. Sambil mengucap selamat jalan saya teringat salah satu cerpen Yusi berjudul Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang warga Depok yang Pergi ke Jakarta. Kali ini orang Depoknya ada tiga.

Pukul delapan, sesudah POST tutup, saya dan Maesy pergi ke Balai Budaya di Menteng. Eddie Prabu, (ingat Beps di buku Aku Meps dan Beps?) sedang pameran karya fotonya. Judul pamerannya gaya, The Magic is in The Process. Setelah melihat karyanya kami baru mengerti mengapa judul itu yang dipakai. Mas Eddie bereksperimen dengan cat air, sulur akar, dedaunan, kulit jeruk dan segala macam benda yang ia tata di cawan Pyrex lalu diberi sinar lampu sorot kecil, lalu difoto. Hasilnya corak-corak berpendar warna-warni yang indah sekali. Kami memang pernah mendengar bahwa Mas Eddie seniman foto yang bagus, tapi kami lebih mengenal sisi-sisi yang dikisahkan Soca dan Reda dalam bukunya. Sisi Beps yang gemar bikin-bikin itu. Soal ini kami betulan pernah merasakan manfaatnya, baru-baru ini ia membuatkan meja yang kokoh dari kayu-kayu bekas pakai untuk pengunjung duduk-duduk di depan POST. Sedikit lebih malam Ari dan Reda menyanyikan beberapa lagu untuk memeriahkan pameran. Saat di luar masih hujan, dan teh hangat dan kudapan kecil ada di tangan, semua orang jadi ada dalam suasana hati yang baik. Maesy yang sesudah mengagumi karya Mas Eddie sibuk mencomot kue apem dan mengunyah-ngunyah, berdiri di sisi saya, diam-diam saja mendengar dendang lagu. Kepalanya sesekali disandarkan di bahu saya.

Sebelum menghentikan taksi pulang, kami berjalan kaki dulu di sepanjang jalan Gereja Theresia, belum ingin hari segera berakhir. Tak banyak kendaraan yang melintas. Di salah satu sisi ada penjual nasi goreng yang sedang menggoreng. Suara krosek-krosek terdengar kencang dan menerbitkan lapar. Kami memesan nasi goreng dan saya duduk menunggu di undakan dekat trotoar. Karena hujan baru turun undakan masih basah. Airnya terasa merembes sedikit ke dalam celana. Saya biarkan saja. Ini hari yang menyenangkan.

 

Foto diambil oleh: Mahwari Sadewa Jalutama

1 Comment so far

Leave a comment