comments 25

Selamat Pagi, Bayu

Saya katakan padanya bahwa besok kita akan berangkat pagi-pagi, dan jika ia susah bangun maka kami akan mengusap air ke wajahnya lalu memeloroti celananya. Agendanya asyik, mencari sarapan enak. Bayu — keponakan tujuh tahun saya itu– mengangguk-angguk dengan mata bening yang berkilat-kilat. Mengapa anak kecil selalu punya mata bening dan berkilat-kilat, ya? Bahkan menjelang dini hari ketika jam tidurnya yang biasa jelas sudah lewat. Bayu selalu girang saat Maesy dan saya mengunjunginya ke Bali. Malam itu, menjelang tidur, Maesy menceritakan padanya penggalan cerita dua bersaudara ayam, Kuku dan Ruyu, yang selalu saja ribut di pagi buta. Meps, majikan si duo ayam, kerap uring-uringan dibuatnya. Suatu pagi Meps hilang sabar dan menyiram Ruyu dengan air yang disemprotkan dari slang. Bayu tergelak membayangkan adegan itu lalu berkata betapa kasihan si Ruyu ayam. Setelah tawanya reda ia meminta cerita lagi, dan cerita lagi. Pukul satu malam akhirnya kami putuskan Bayu betul-betul harus tidur. Kali ini tak banyak perlawanan, ia sudah sangat mengantuk. Hanya kegirangan berlebih yang membuatnya terjaga hingga larut.

Tak berapa lama setelah lampu saya matikan, dengkur halus terdengar.

Pukul enam saya terjaga dan mendapati Bayu sudah ada di sisi tempat tidur. Ia menatap kami seolah berkata, ‘kalau sudah begini, celana siapa yang akan kalian bikin melorot, heh?’ Ia bangun jauh mendahului kami, si paman dan bibi pemalas. Saat Maesy membuka mata dan kaget melihat wajah anak kecil sedang memandanginya, Bayu tergelak. Semangatnya sedang penuh.

“Ayo Om, Tante, berangkat!”

Kami memacu kendaraan ke daerah Canggu, ke sebuah kedai makanan sehat kesukaan Maesy yang buka pagi-pagi. Sepanjang jalan Maesy bercerita tentang makanan-makanan kesukaannya yang ingin ia perkenalkan kepada Bayu. Telur Shaksukha dengan keju kambing dan chorizo, atau salad dengan labu panggang madu dan daun mint.  Antusiasme Maesy menular pada Bayu, ia menunjukkan gelagat siap makan besar. Sampai, tentu saja, saat makanan-makanan itu betul-betul masuk ke mulutnya.

Baru di sendok kedua, semangat Bayu meredup. Segala keju, chorizo saus kacang merah, dan rempah-rempah ini tidak cocok dengan seleranya, bahkan susu coklatnya pun tidak ia rasa akrab di lidah. Ia terbiasa sarapan dengan nasi goreng buatan ibunya, atau neneknya, dan segelas susu milo. Lain tidak. Ia menatap saya meminta belas kasihan. Saya katakan ia boleh menyisakan sarapannya, toh ini hari libur. Maka, sementara Maesy mengunyah makanannya seperti kelinci lapar, Bayu hanya memain-mainkan sendok.

“Bayu ndak suka makanan Cina.” Katanya di satu titik.

Terhadap komentar ini Maesy dan saya tergelak lama. Hanya karena Maesy keturunan Tionghoa dan terlihat sedang makan dengan rakus, Bayu menyimpulkan makanan asing itu adalah masakan Cina. Melihat kami tertawa sebegitu bersemangat, Bayu ikut tertawa, sekali pun jelas bingung. Tak berapa lama, ia kembali mengaduk-aduk sosis berbumbu tomat di depannya dengan muka lesu.

Diam-diam ada juga rasa senang saya melihat bagaimana Bayu menangani harapannya yang kandas soal sarapan enak ini. Beberapa tahun lalu, keinginan yang tak tercapai macam begini hampir pasti membuat tangis dan rengekannya meledak. Sekarang ia lebih sabar. Semenjak memiliki adik, Bayu mulai menyadari bahwa dirinya bukan pusat segalanya. Perlahan ia mulai mampu menunjukkan tenggang rasa pada sekitarnya dan tak lagi menjadi bocah tak masuk akal. Ia tak merengek cari perhatian saat orang-orang dewasa bicara sendiri, ia tak selalu merajuk saat keinginannya tidak dikabulkan, atau ia hanya akan menatap adiknya dengan sabar saat kepalanya tiba-tiba disodok siku.

Sambil menunggui Maesy yang makan, saya bercerita ke Bayu soal asal usul Maesy. Soal ini saya karang-karang saja sekenanya. Saya katakan Maesy kecil dibawa mengungsi oleh orang tua dan neneknya dari Cina. Mereka kabur karena desanya diserang bala tentara kaisar bengis di sana. Mereka naik perahu kayu kecil berbekal beberapa potong roti dan masing-masing selembar selimut saja. Setiap malam Maesy kecil mengintip ke belakang dari balik selimutnya, takut dikejar kapal perang kaisar lalu dihujani panah. Roti dimakan sepotong kecil demi sepotong kecil agar tak lekas habis. Begitu terus selama berbulan-bulan, terombang-ambing di laut, sambil sesekali mendongak dari selimut. Bayu mendengar cerita saya dengan tekun sambil sesekali melirik Maesy. Maesy, dengan mulut penuh salad, berkata sengit betapa saya telah menipu Bayu habis-habisan.

Namun, walau tidak merengek, saya tahu Bayu kecewa karena harapannya akan pagi yang asyik berakhir begitu-begitu saja. Di mobil pulang ia memasang sabuk pengaman, duduk bersandar dengan posisi nelangsa, dan berdiam diri.

“Mau ke pantai?” tanya saya.

Di sana Bayu mendongak, setitik cahaya terlihat di matanya. Maka keputusan dibuat, kendaraan berbelok ke arah pantai. Bayu mendoyongkan tubuhnya sedikit ke depan. Kaca mobil saya buka, angin laut berhembus menerpa kepala-kepala kami.

Pantai Berawa agak berangin pagi itu. Ombak sedang cukup besar, menjadi teman bagi para peselancar. Kaki-kaki telanjang kami berlari di atas pasirnya yang lembut, yang basah oleh ombak dan sisa embun semalam. Laut sedang terlalu ganas untuk Bayu berenang, jadi kami hanya berjalan menyusuri bibir pantai. Bayu berjalan, sesekali berlari, dengan tangan yang terus menggandeng telapak tangan Maesy. Rupanya ia sedikit takut ombak menghempas dan menariknya ke tengah. Selain itu, beberapa kali ia meminta perlindungan Maesy saat sekawanan anjing liar datang mendekat.

Setiap kali ombak datang menerjang, pegangan tangannya lebih kencang. Maesy mengajarinya untuk membenamkan telapak kaki ke pasir dan sedikit memiringkan badan, dengan begitu ia tidak terhempas. Bayu menurut, dan perlahan mulai bisa menjaga keseimbangan. Saat ombak datang ia tertawa keras, saat ombak datang lebih besar, tawanya lebih besar. Mula-mula ujung celananya basah, lalu naik hingga pinggang, sampai akhirnya ia membiarkan sekujur bajunya basah kuyup oleh hempasan air laut. Beberapa cipratan ombak mengenai mukanya dan terjilat oleh lidah. Asin, katanya.

Ia mulai berani berlari sendiri dan menahan ombak. Di sana sini ia tertawa, terkadang kecil, terkadang besar-besar.

Sesekali pandangan kami bertemu, matanya yang semalam bening berkilat-kilat sudah muncul lagi. Saya mundur sedikit menjauhi bibir pantai, mengambil jarak untuk memotret mereka. Bayu kembali berlari, menggandeng tangan Maesy, dan bermain air. Badannya sudah basah betul. Saat gelombang kecil, ia memasang gaya berdiri yang gagah menahan ombak. Saat ombak besar ia berlari memegang tangan Maesy agar mampu berdiri lebih kokoh.

Dari jauh terdengar tawanya, sayup-sayup di antara teriakan Maesy, juga debur-debur ombak.  Saya bahkan tak mengingat apakah di mobil ada baju ganti untuknya atau tidak. Paginya sudah baik-baik saja, saya pikir.

534907_10151313863379081_922013355_n

 

25 Comments

  1. Selalu menunggu cerita baru dari The Dusty Sneakers. Kalau belum ada tulisan baru dari kalian rasanya merindu hehe. Suka dengan kisah Bayu dan paginya ini. 🙂

  2. Bayu yang sangat lucu dan kuat seperti namanya. Menghabiskan waktu dengan sederhana pun bisa jadi cerita yang sangat bermakna, tanpa harus berwah-wah dengan destinasi yang terkenal di mana-mana. Yang penting hati bahagia, meski liburan mendadak pun boleh juga. Tulisan yang sangat menghibur dan melipur, selain menyebarkan rasa hangat di hati. Terima kasih.

  3. Terima Kasih Ted, update ini membuat ku tersenyum pagi ini. Mengingatkan ku dengan percakapan ku dengan anak kecil di Yogyakarta, pertanyaan dan asumsi seperti ini dari anak kecil menyegarkan dan polos.

    Seperti biasanya tulisanmu selalu membuatku ingin berteriak “Encore” macam di konser. 🙂

  4. Ah, udah lama ga baca tulisan The Dusty Sneakers. Tulisannya selalu renyah. Makasih udah neghibur saya sebelum kerja di Sabtu pagi ini 🙂

  5. bli, aku rindu berada di Bali bersamamu, kenangan pertama kita di sana tak terlalu bagus, memergoki pasangan yang pangku-pangkuan tengah malam, haha.
    menanti bisa menginjak Bali lagi bersamamu dan Maesy. :*

Leave a reply to Dee Rahma Cancel reply