comments 7

Siang dengan Tan Peng Liang di Dalamnya

Siang itu Pasar Welahan di Jepara sedang ribut dan bikin keringatan dan kami masuk ke Kelenteng Hian Thian Siang Tee. Setelah putar-putar melihat tempat pemujaan, tempat meramal nasib, melewati patung biksu kocak yang ketawanya besar, saya duduk di bangku kayu di dekat patung Buddha emas, tak melakukan suatu apa, hanya melamun dan mengamati sekitar.

Kelenteng sedang sepi tak berkegiatan. Di ujung kanan, dupa-dupa menyala dengan asap yang bergoyang-goyang, menyusup di antara tiang-tiang berwarna merah. Di ujung kiri pria tua berkaos oranye sedang mengaso. Ia duduk dengan kaki naik ke kursi kayu,  memperhatikan temannya yang masih menyapu pelataran kelenteng. Sayup-sayup terdengar lagu-lagu opera Tionghoa tua dari pemutar kaset yang sama tuanya. Liriknya menyusup di antara tiang-tiang berwarna merah seperti asap dupa tadi. Di luar sana Pasar Welahan dipenuhi pedagang yang ribut, pembeli yang ribut, motor bebek yang ribut, tapi di dalam sini, keributan pasar tak terdengar, ia seakan diparkir di luar. Di sini yang terdengar adalah bunyi sapu lidi penyapu kelenteng, bersahutan dengan kibas daun pohon yang tertiup angin. Setelah pasar yang berisik, pemandangan ini membuat hati tenteram. Kelenteng yang lengang, bapak tua yang duduk mengaso, suara opera Tionghoa tua, suara sapu lidi mengosek-osek, dan bunyi pohon yang dikibas angin.

Dari sudut kanan bawah pandangan terlihat kucing kecil melintas. Si kucing berjalan pelan-pelan saja seolah terbawa suasana. Kakinya melangkah satu-satu. Tik, tik, tik – seakan menimbulkan derap yang pas dengan suara sapu lidi dan opera lama Tionghoa. Saya mengikuti langkah si kucing sambil merasakan angin yang bertiup-tiup menghembus tengkuk. Tik, tik, tik – si kucing masih melangkah pelan.

Saat melamun begini, pikiran jadi melayang ke mana-mana. Tiba-tiba terbayang di Kelenteng ini muncul Tan Peng Liang, tokoh karangan Remy Sylado. Hanya saja Tan Peng Liang sekarang tua peyot. Rupanya ia tidak mati karena diracun duren oleh Jeng Tut. Ia hidup sampai tua, dan wajahnya tidak setampan bintang film Ferry Salim. Entah apa yang dilakukannya di kelenteng di Jepara, Tan Peng Liang orang Semarang, tapi tingkahnya menunjukkan ia sudah lama di sini. Dengan tangan kirinya ia menggetok kepala pak tua yang sedang mengaso. Ia merepet menyuruh pak tua ikut bantu-bantu menyapu. Sekarang giliran Tan Peng Liang tua yang mengaso. Ia duduk dengan kaos singlet putih yang kendur, sekendur tubuhnya, dan mulai berkipas-kipas. Matanya terpejam-pejam menikmati opera Tionghoa.

Sehelai daun kering tertiup angin dari pohon besar di ujung sana. Tik, tik, tik – seperti kucing kecil tadi, daun kering ini pun menimbulkan derapnya sendiri saat  menjejak tanah.

Pikiran saya melayang lagi, membayangkan kantung plastik yang diterbangkan angin di daerah barat yang suara anginnya lebih gaduh, dan debu-debu beterbangan. Dua orang koboi keluar dari dalam bar. Mereka berhadap-hadapan, bersiap adu jago. Kedua koboi berwajah beringas diam mematung dan saling menatap. Jari-jari tangannya digetar-getarkan di dekat pistol untuk menimbulkan kesan dramatis. Kantung plastik masih berlari-lari tertiup angin, satu- satunya yang tak peduli dengan suasana mencekam yang ditimbulkan kedua koboi.

“Hoi! Sedang apa kau?”

Gypsytoes datang membuyarkan lamunan. Ia cengar cengir di dekat saya seperti kembang gula. Saya tarik tangannya dan memintanya duduk di sebelah. Saya ceritakan padanya tentang suasana yang menenangkan hati ini. Suara opera tua Tionghoa, kakek yang mengaso, asap yang merayap diantara tiang-tiang, suara angin, suara sapu lidi, daun yang diterbangkan angin, dan tik tik tik derap suara kucing yang mengendap-ngendap. Kelihatannya anak ini terbuai oleh cerita ini. Kami duduk bersisian di bangku kayu itu, melihat kucing yang berjalan menjauh. TIba-tiba pak tua berbaju oranye yang sedang mengaso itu menggertak si kucing. “WHRAA!!” Kucing beringsut.

Beberapa saat melamun bersama, Gypsytoes mulai bosan. Ia mengajak saya beranjak. Sambil bangkit ia berkata agar saya tidak terlampau sering melamun dan bermelankoli. Pret! Anak kurang ajar. Tapi saya menurut, saya menyambut uluran tangannya lalu berjalan menjauhi kelenteng. Pak Tua yang mengaso tak terlalu peduli dengan urusan kami. Ia masih mengaso semengaso-mengasonya.

Twosocks

7 Comments

  1. eh eh, tan peng liang tuh orang beneran atau tokoh fiktif sih? #salahfokus
    btw foto yg paling bawah itu apa? serem… 😐

    • Tan Peng Liang itu tokoh fiktif karangan Remy Sylado. Soal patung yang di bawah itu, konon dia pertapa yang tekun sekali dan tetap seperti itu hingga tua. Cuman gw ndak tahu juga dia siapa. Misterius betul. Gw tanya Tan Peng Liang doi pun geleng-geleng dan bikin banyak alasan haha

  2. Pingback: Memanusiakan Kartini: Obrolan dengan The Dusty Sneakers | Disorder Zine

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s