Jakarta sedang mendung di sore saat saya duduk di ruang kantor, dua minggu setelah kami mendaki Rinjani. Iseng saya mendengarkan kembali sebuah audio file yang beberapa hari lalu dikirimkan Gama. File berisi suara-suara burung hutan dan jangkrik. Gama menulis dalam pesan singkatnya, “The mountain wants us back..” Kenangan akan pendakian pun bermunculan. Puncak gunung, matahari terbit, ataupun suara-suara binatang hutan. Sayapun memutuskan untuk sedikit memanjakan diri dengan segelas teh hangat, lampu redup, dan lagu-lagu Billie Holiday. Ini suasana yang baik untuk berkenang-kenang. Dan itulah yang saya lakukan, membiarkan ingatan akan Rinjani mengalir. Gambar demi gambar.
‘It’s happening guys!’ seru Firman Tahar, kawan baru saya yang santun. Saat itu kami baru memulai perjalanan menyusuri savannah yang menguning di kaki gunung. Pagi yang penuh semangat untuk kami bertujuh. Kami sudah memimpikan Rinjani sejak berbulan-bulan sebelumnya, dan pagi itu saat puncaknya tampak di depan mata, kami girang sekali. Rinjani adalah perjalanan yang dipenuhi kekaguman tak henti akan keindahan. Merahnya langit saat matahari terbenam, kelip bintang yang berserakan di malam hari, matahari terbit yang keemasan, perjalanan menembus negeri atas awan, danau Segara Anakan, hangatnya berendam malam-malam di sumber air panas, sampai padang rumput berkabut yang seolah ada di alam mimpi. “Amazeballs!!” Kata Irma, kawan mendaki saya yang mungil.
Rinjani juga adalah cerita tentang kawan-kawan perjalanan yang gigih. Sering saya melupakan bagaimana sebelum perjalanan dimulai tim ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Kami bertujuh terdiri dari lima orang yang belum pernah mendaki sama sekali, ditambah saya yang masih dihantui cedera lutut dari pendakian Ceremai, serta Arip Syaman yang 15 kilogram lebih berat sejak pendakian terakhirnya. Namun keajaiban gunung membuat kami menapak perlahan dengan segar bugar. Irma, Firman, dan Gama tenyata memiliki ketekunan dan kebugaran yang luar biasa. Silvan, dasar Belanda, memiliki tubuh yang luar biasa jangkung. Setiap langkahnya seolah cukup untuk melangkahi puncak gunung. Lalu Simon, pria Swiss yang tampan itu, ia begitu muda dan gesit. Kemudaannya serta wajib militer tahunannya memberinya ketahanan yang sangat baik. Kebugaran rekan-rekan seperjalanan memberi pengaruh yang baik untuk semangat saya. Secara ajaib lutut saya baik-baik saja dan saya melangkah dengan riang. Namun di atas semuanya tentu saja ada Arip Syaman. Walaupun senantiasa tertinggal jauh di belakang, dasar anak bodoh yang keras kepala, ia terus berjalan dengan membabi buta melupakan berat badannya. Selangkah demi selangkah, menapak naik. Setiap kali kami menunggunya dengan khawatir dan berpikir ia mungkin terkapar entah di mana, ia akan muncul dari balik kabut, tersenyum dengan wajah pucat dan berkata, “Dude, I can’t feel my weenie”. Atau hal-hal sejenis itu.
Tentu diantara eloknya pemandangan yang kami jumpai, ini tetap adalah perjalanan tiga hari yang tidak ringan. Konon para pendaki Rinjani yang lebih berpengalaman selalu berpetuah, “Saat kalian putus asa di Rinjani, Ingatlah bahwa perjalanan masih jauh”. Kami semua pun memiliki masa-masa terberat saat keputusasaan menghampiri. Saat batas kemampuan kami diuji. Saat lutut atau nafas tidak selalu bisa diajak bekerja sama. Semua mencoba menanganinya dengan cara masing-masing. Gama, kawan kami yang berjalan dengan kalem, selalu berkata pada dirinya, “selangkah demi selangkah Gama, selangkah demi selangkah.” Dan tanpa terasa masa-masa putus asanya terlewatkan. Di antara nafas yang tersengal, di tanjakan berpasir menjelang puncak, saya yang berjalan kelelahan bersama Irma membatin berkali-kali, “Ayo sedikit lagi, we’ll beat the bastard!”. Saya teringat wajah Irma yang saat itu tampak pucat kelelahan. Tapi sungguh ia perempuan mungil berkemauan besar. Dari belakang saya memperhatikannya menyeret langkah menembus tanjakan berpasir. Selangkah demi selangkah. Penuh determinasi. Namun yang paling menganggumkan tentu saja Arip Syaman, saat ia putus asa ia memupuk semangat membayangkan wajah saya yang menghinanya habis-habisan jika ia gagal mencapai puncak. “Lebih baik gw mati daripada monyet Bali itu kegirangan mengina-hina” begitu pikirnya. Kekuatan pun secara ajaib muncul di kakinya untuk terus menapak puncak. Dan terus menapak. Dan berhasil. Saat matahari terbit di hari kedua perjalanan, kami semua mencapai puncak dengan riang gembira. Arip Syaman tentu saja sedikit berlebihan, ia bersujud syukur segala.
Obrolan-obrolan intim dan menyenangkan antar sesama pejalan juga adalah bagian terbaik dari setiap perjalanan. Diantara kopi hangat di Plawangan Sembalun, di pagi hari di pinggir danau, atau saat menuruni bukit berbatu. Ada pembicaraan mendalam yang kontemplatif, ada diskusi tentang Indonesia yang kami inginkan, ada nostalgia mengenai masa lalu, namun tentu saja ada gurauan-gurauan kotor yang mengasyikkan. Boys will be Boys. Irma, sebagai satu-satunya perempuan dalam pendakian kali ini beberapa kali berang jika kami berbicara hal-hal tak senonoh. Saat kami bercanda dan menyebut-nyebut alat kelamin, Irma mulai protes dan memasang wajah berang. Kami pun memberinya wejangan bijak, “Irma, jika alat kelamin yang dimaksud sudah dicuci dengan bersih, itu tidak lagi menjadi obrolan yang jorok.” Tentu Irma menjadi semakin dongkol. Simon pun terkadang mendapatkan komentar-komentar tipikal karena ke Swiss-an nya. Kami berkata padanya, “Hei Simon, kamu sejak kecil tentu sudah dicekoki coklat, dilatih menggunakan pisau, mengenakan jam tangan, dan bersikap netral dalam berbagai situasi.” Simon pun meloyor pergi sambil memaki betapa lemahnya tim sepak bola Indonesia.
Perjalanan ini juga merangsang spontanitas yang tidak diduga-duga. Saat kami berada di atas salah satu bukit yang memandang ke danau dan puncak Rinjani, Irma tiba-tiba naik ke salah satu batu dan mulai menyanyi. Ia menyanyikan lagu yang mengingatkan kami akan kekaguman kanak-kanak kami pada keindahan alam,
“..memandang alam dari atas bukit…
..sejauh pandang kulepaskan…”
Ia menyanyi dengan merdu, dengan tubuh tegak dan gerak tangan yang mengingatkan kami pada siswi SD yang tertib dan tekun. Kami semua tertegun dan menikmatinya. Ini adalah momen dimana alam tiba-tiba berhenti bergerak. Setelah ia selesai barulah kami tersadar, lantas merengek memintanya menyanyi lagi agar kami bisa merekamnya. Tentu saja Irma jual mahal.
Di hari ketiga, saat hari gelap, kami akhirnya menyelesaikan pendakian di desa Senaru. Arip menjadi yang pertama mencapai garis akhir. Luar biasa anak itu. Ia yang selalu tertinggal jauh di belakang saat mendaki, berlari bagaikan kerasukan setan saat perjalanan turun. Bahkan untuk menunjukkan superioritasnya, begitu sampai desa senaru ia membeli minuman di sebuah warung dan naik lagi menyusul untuk membawakan minuman manis untuk saya. Tentu saja sambil menghina betapa lamban saya berjalan. Sungguh, anak ini keturunan setan. Namun Firman Tahar lah pahlawan dalam perjalanan turun. Kakinya cedera karena kelelahan dan ia harus berjalan terpincang pincang di belakang. Di antara putus asa ia terus berjalan, melewati batasnya sendiri. Saat akhirnya ia berhasil mencapai garis akhir, kami semua bersorak-sorak kegirangan memberinya selamat. Ini adalah pendakian yang indah dan sukses. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, kami merayakannya dengan berenang di pantai Senggigi saat matahari terbit keesokan paginya.
Kami meninggalkan Lombok dengan membawa kenangan yang Indah. Silvan dan Simon membawa kenangan akan sisi Indah alam Indonesia yang akan sulit mereka lupakan. Untuk Irma, Gama, dan Firman, selain begitu bangga akan kesuksesan pendakian pertama mereka, perjalanan ini juga adalah reuni bagi pertemanan mereka sejak di bangku kuliah dahulu. Dengan riang mereka bernostalgia tentang pentas tari yang mereka lakukan dahulu atau kebodohan-kebodohan khas mahasiswa mereka. Saya dan Arip pun tentu juga berbagi momen-momen yang sentimentil. Senang sekali rasanya menemukan diri menaklukkan Rinjani bersama-sama dengan sahabat belasan tahun saya ini. Sungguh ini adalah perjalan yang begitu membekas di benak kami. Senin petang, saat berjalan kaki sepulang kantor, saya memandang gedung-gedung tinggi di Jakarta serta langitnya yang tak berbintang. Perasaan gamang pun menghujam. Saya menghubungi kawan-kawan Rinjani dan kami semua berkesimpulan hal yang sama. Kami semua kangen gunung.
Saya memandangi kembali foto-foto Rinjani, memperhatikan wajah-wajah yang tersenyum cerah, memandang alam yang seindah puisi, dan membiarkan diri saya kembali menjadi melankolis. Saat lampu-lampu Jakarta mulai menyala berbaris-baris.
Twosocks, Mei 2013
Judul tulisan terinspirasi lagu dari Ray Charles, “Georgia On My Mind”
Benar-benar menginspirasi. Aku jadi pengen daki gunung Sinabung lagi..hehehe. Thanks buat tulisannya.
Hi Ruth! Lama sekali sejak terakhir kita ketemu di Nias dulu. Wah gw juga belum pernah ke Sinabung! one day!
Sabtu depan giliran ane bang.. 🙂
Rinjani masih akan selalu cantik. have fun ya Ki Joko 🙂
nice trip, Ted
Terima kasih Ira. Hei I see you starting your own blog! awesome!
Makasih banget Ted, gw senang betul akhirnya termasuk salah satu tokoh dalam ceritera-ceritera petualangan loe!
Oww Irma herself! Gw yang senang betul akhirnya jalan2 bareng elu. You’re indeed a super baddass! yuk, Lawu in August!
Hi two shocks, blog kalian yang menginspirasi saya buat terus menulis. The way you recount the story inspires me like a lot! Wish I can see you guys. Thank you 🙂
Thank you Catatan Ransel for your kind words! Selalu senang berkenalan dengan sesama pejalan. Sama2 suka nulis pula. Yap, semoga sempat bertemu di jalan. Traveling do bring that kind of surprise, no?
Thanks for sharing about your Rinjani trip. Inspiring!
Ted, ini kayaknya Eileen temen gw si Mommy of three yang tetep badass, haha!
Ohh halo Eileen, mommy of three yang tetep badass!! Really glad you like it. Ayo lari lagi, the way you and Irma run really make me feel like a total senior citizen!
Ini cerita tentang gunung dan persahabatan yang jauh lebih indah, masuk akal, dan menginspirasi dari 5cm.
Hahaha J, tahun depan saya akan ke Semeru, kecuali kala Semeru sudah menjadi begitu sesak. Let’s see how it turns out 🙂
Next trip kapan dan ke gunung mana om? Kita samain jadwal ntar 😀
Hmmm berikutnya pingin ke Kerinci, tapi belum tahu kapan. Nanti berkontak2 lah kita
Keren dan mengispirasi,,
Terima kasih Ai 🙂