comments 4

Cups Of Japanese Tea

Pagi itu saya dan Gypsytoes duduk bersebelahan di kereta yang bergerak menjauhi Kyoto. Kami berbicara hal-hal ringan dengan bahu yang saling bersentuhan. Tentang bunga sakura, teh Jepang, kisah-kisah Kenshin Himura, dan segala rencana dalam perjalanan dua minggu kami di negeri Sakura. Kereta masih melaju melewati barisan persawahan saat seorang ibu Jepang menghampiri kami. Ia menyodorkan sebuah lipatan kertas yang ternyata sebuah origami. Menurutnya itu adalah origami berbentuk kepala panda yang baru saja ia buat dan ingin ia berikan untuk kami. Cantik sekali. Tentu kami tidak memahami bahasa Jepang yang disampaikannya. Namun kami menebak-nebak bahwa ia memperhatikan kami, dua anak yang jelas datang entah dari mana, dan tergerak untuk memberikan sedikit sentuhan keramahan khas Jepang. Terharu rasanya mendapat kejutan kecil yang manis ini. Berkali-kali kami mengangguk hormat pada sang Ibu saat kami berpisah dengannya di stasiun Nara.

Dan begitulah, perjalanan dua minggu di Jepang dipenuhi ketakjuban akan mereka yang kami temui. Tentu kami juga terkagum-kagum akan keindahan alam saat berjalan kaki di pegunungan Japan Alps, atau saat duduk berselonjor di tepi sungai di Arashiyama, namun persinggungan dengan karakter-karakter orang Jepanglah yang begitu menyentuh kami. Mereka yang melakukan segala kesehariannya dengan kesempurnaan, disiplin, estetika, dan penghormatan. Bagaimana mereka memasak makanannya (Gypsytoes berkata mereka membuat setiap sajiannya tampak bagaikan puisi), bagaimana mereka menata rumahnya (selalu ada tempat untuk tanaman yang cantik dan sentuhan kesenian sesempit apa pun areanya), bagaimana mereka mengatur transportasinya (setiap bus dan kereta yang selalu tepat waktu. Tanpa kecuali), dan bagaimana mereka menjaga budaya bersihnya. Di Kyoto, Osaka, sampai kota-kota kecil seperti Kawagoe atau Takayama, bahkan di tengah hutan di Kibune dan Kamikochi, kami tidak pernah menemukan satu pun sampah yang berserakan. Betapa ini adalah negara dimana semua pejalan, dari mana pun asalnya, paling tidak sekali waktu dalam perjalanannya akan bergumam, “I wish they could do it this way back in my country

Saat di banyak tempat lain keramahtamahan sering berkaitan dengan harapan untuk mendapatkan tambahan tip, di Jepang keramahan menjadi keniscayaan. Ini adalah tempat yang tidak mengenal budaya tipping, namun setiap penyedia jasa selalu dengan penuh dedikasi berusaha memberi yang terbaik untuk pelanggannya. Mereka adalah manusia-manusia indah yang selalu dipenuhi senyum dan keinginan membantu. Mulai dari penjaga toko, pelayan kedai, hostel, petugas kereta api, sampai penarik rickshaw. Semua dilakukan dengan sangat terhormat, bersahaja, tanpa terlihat sombong namun juga tidak menghamba. Setiap kondektur akan menunduk hormat saat memasuki dan keluar dari gerbong kereta, penjaga stasiun dengan senang hati mengantar ke gerbong yang benar saat ia melihat kami kebingungan di stasiun, penjaga Ryokan dengan riang menawarkan kami jas hujan cuma-cuma saat ramalan cuaca memperkirakan hari akan berhujan, seorang ibu pemilik kedai memberikan kami biskuit penutup dengan cuma-cuma saat kami beranjak dari tempatnya. Saat kami menanyakan menu restoran di daerah perbukitan Kibune, sang penjaga menjelaskan dengan bersemangat pilihan makanan yang ia punyai. Ketika kami memutuskan untuk tidak memasuki restorannya, ia tampak sangat mengerti jika kami bermasalah dengan harganya. Ia kemudian memberi kami informasi lengkap mengenai restoran lain di sekitar sana yang sedang memberikan potongan harga untuk makanan sejenis yang sama enaknya. Manis sekali.

Orang-orang Jepang menjaga kesehatan tubuhnya dengan sangat baik. Kombinasi makanan yang sehat, disiplin, keteraturan berolah raga, dan semangat yang tak mudah padam. Di banyak tempat kami bertemu dengan rombongan pejalan yang berusia cukup lanjut. Bahkan di wilayah pegunungan Japan Alps. Kami berjumpa dengan banyak rombongan usia lanjut yang dengan gagah berani masih mendaki gunung. Beberapa bahkan berjalan seorang diri. Seorang kakek tua kami jumpai sedang menata perlengkapan kempingnya untuk mendaki gunung Yari. Seorang diri. Hanya dirinya dan alam. Di salah satu lodge para pendaki di Tokusawa kami bertemu dengan empat nenek-nenek yang akan melanjutkan pendakian keesokan harinya. Di malam sebelum pendakian mereka masih sempat berkumpul dan tertawa-tawa sambil minum sake. Mereka selalu terkikik girang, termasuk saat Gypsytoes berbagi tempat bersama mereka di kolam pemandian umum. Mereka terus nyerocos dengan riang kepada Gysytoes yang kebingungan karena tidak mengerti bahasanya. Empat nenek yang bahagia. Sungguh tidak ada lagi beban di pundak mereka. Mengenangnya membuat saya malu dan mengingat kembali bagaimana rewelnya saya menyalahkan usia yang mulai menua setiap kali saya tersengal kelelahan dalam pendakian gunung.

Kunjungan ke Jepang kali ini juga mempertemukan saya kembali dengan Sri, salah satu sahabat terlama yang pernah saya miliki. Saya mengenal dan mulai berteman dengannya sejak SMU hampir delapan belas tahun yang lalu. Pertemanan yang berlanjut di masa-masa kuliah saat kami sering bersurat-suratan di tahun-tahun yang penuh tenaga itu. Sejak delapan tahun lalu ia tinggal di sebuah kota kecil bernama Kawagoe bersama Sean, yang sekarang menjadi suaminya. Bersama-sama mereka mengajar bahasa inggris di sekolah dasar dan menengah setempat. Saya dan Gypsytoes sempat menginap tiga hari di rumah mereka yang mungil di kota kecil di wilayah Mie itu. Dan kami langsung menyukainya. Setiap malam kami berempat berbicara sampai larut malam sambil minum teh buatan Sean. Mengenai perkembangan kartun Jepang, program-program mengajar Sri, hal-hal yang terjadi di Indonesia, kenangan-kenangan masa lalu, orang-orang Jepang, atau kehidupan sehari-hari Sri dan Sean di sana. Kami begitu menyukai Sri dan Sean. Menyaluti keputusan mereka untuk pindah ke sebuah kota kecil entah dimana yang damai, mengayuh sepedanya setiap hari kesekolah untuk mengajar, pulang ke rumah mungilnya yang tenang, dan melakukan kehidupan sehari-hari bersama-sama cintanya. Ide yang sangat romantis, dan bahwa mereka benar-benar melakukannya, membuat kami teramat kagum.

Dua minggu di Jepang membawa saya dan Gypsytoes melihat perjalanan sejarah panjang, kisah-kisah dari restorasi Meiji yang menggetarkan, kuil-kuil yang menyimpan segudang kisah, pemandangan alam yang membuai, sampai karakter-karakter yang membuat kami terharu. Kami mengintip penganut Shinto yang berjajar tenang menunggu giliran berdoa di Ise, kami bermain di antara taman yang tertata apik di Nara, kami melirik para Geisha yang berjalan bagaikan kisah masa lalu di Gion, kami melihat putih salju puncak gunung Yari dari Kamikochi, kami menyelip di antara perumahan-perumahan yang cantik di Kyoto maupun Sirakawago, melihat hujan rintik sambil minum Mugicha di Kibune, dan menikmati indahnya persahabatan panjang dalam obrolan dengan Sri dan Sean. Dua minggu itu dipenuhi keriaan tak henti, Obrolan intim, cekikik riang, dan sendagurau saya dengan Gypsytoes, kawan perjalanan saya yang selalu antusias itu. Kami berjalan kesana kemari dengan rasa ingin tahu dan energi yang seolah tak kunjung habis.

Setelah dua minggu di Jepang kami berjalan pulang dengan kenangan indah dan rasa kagum akannya. Di Kansai Airport, Osaka, kami sekali lagi bersinggungan dengan keramahan orang Jepang. Saat itu kami bertemu seorang kakek tua yang ternyata juga seorang petualang. Ia kegirangan saat mengetahui kami akan menuju ke Indonesia. Ia berkata ia akan menuju Medan untuk berlibur di sana. Ia mengatakan betapa ia mencintai suasana Medan. Hiruk pikuk kotanya dan keindahan danau Toba selalu membuatnya ingin kembali. Ia juga menyatakan keinginannya untuk berjalan sepanjang Sumatera. “Beruntunglah kalian, memiliki Negara yang begitu indah” begitu katanya kepada kami berdua. Saya dan Gypsytoes berpandangan dengan takjub. Terlepas dari betapa Indonesia adalah negara nan indah, Medan bukanlah destinasi favorit kami di sana. Hari itu, di hari dimana kami terkagum-kagum akan indahnya Jepang, kami bertemu dengan orang Jepang yang menyatakan kekagumannya akan Medan. Sungguh perjalanan terkadang adalah kegiatan yang misterius. Para pejalan sering menyukainya dengan cara yang berbeda. Setiap tempat memanjakan indera pengunjungnya dengan cara yang berbeda. Menjelang memasuki pesawat kami berkata pada sang pak tua petualang betapa negaranya adalah sebuah negara yang indah dan betapa kami menaruh hormat akannya. Di pesawat menuju Indonesia saya dan Gypsytoes menonton sebuah serial kartun Jepang lama yang bercerita tentang seorang remaja putri Jepang yang bersusah payah meniti karirnya di dunia hiburan. Kami berdua tertawa-tawa bahagia melihat kelucuannya yang khas. Dengan bahu yang saling bersentuhan.

Twosocks, July 2013

image (40)

4 Comments

  1. Ceced

    Gw selalu suka tulisan lo, Ted; tapi yang ini supeerrrrr like !!!!! Asli bikin gw kangen banget sama Kyoto dan segala mahluknya.
    Waktu gw baru dateng ada seorang teman dari negara lain bilang, “Did you know, that is impossible to not fall in love with Kyoto ?”, awalnya gw pikir dia hiperbolik, tapi ternyata Kyoto gak butuh seminggu untuk bikin gw jatuh cinta sama dia….

  2. dustysneakers

    Weiss Ceced! Bener lu men, cinta bener juga gw sama ini tempat. Glad the writing brought back the memories of your years in Kyoto 🙂

  3. dibalikata

    Hi, I really love your blog! thank you for the good writings… 🙂
    one question ( i know this is cliche) are you two… falling in love with each other? hehe it is really good to imagine what kind of relationship you have.. please dont state it hereeee.. 🙂

  4. dustysneakers

    Hi Dibalikata, thank you for your kind words. so glad you like our blog. Btw, your question put a happy smile on my face. Yes, next year we will be together for a decade. oh so fun! 😉

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s