comments 5

Luang Prabang: A Place Where Time Stood Still

Robert Deep, Jr. nama pria 52 tahun itu. Seorang koki sekaligus pecandu petualangan. Hampir 15 tahun ia jadi tukang masak di sebuah keluarga di New York. Oleh mereka, Bob, panggilannya, selalu diberi tiga bulan penuh libur dalam setahun. Tentu Bob melakukan hal yang paling dicintainya selain memasak: Keliling Dunia. Bob sudah kemana-mana, Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika Utara, macam-macam. Ia juga pernah dua minggu duduk melihat laut di Halmahera di sekitar awal tahun 2000. Sebagian besar perjalanannya dilakukan sendiri saja. Banyak teman yang belum tahu ia punyai tersebar di mana-mana, begitu katanya. Ia berkeliling untuk menyapa mereka. Hari itu saya bertemu dengannya, berbicara ke sana kemari sambil minum beerlao di pinggir sungai Mekong di Luang Prabang.

Ini adalah tiga hari saat saya berjalan sendiri di Luang Prabang. Banyak sisi menenteramkan di kota yang dikelilingi perbukitan ini. Bangun pagi-pagi melihat barisan biksu yang berjalan mengumpulkan bahan makanan dari masyarakat setempat, duduk di kafe-kafe di pinggir jalan, menelusup di gang-gang kecilnya yang ber-paving merah, masuk ke kuil-kuilnya yang hening, atau melihat matahari terbenam dari atas bukit Phousi. “This is a place where time stood still,” begitu para pejalan menyebut kota ini.

Kota yang kalem ini membuat setiap orang seolah ada dalam suasanan hati yang baik. Setiap pejalan menyapa dengan ramah. Selain Bob, perjalanan seorang diri ini membuat saya berbicara dengan banyak orang lain. Isabella, arsitek Portugal yang baru kehilangan pekerjaannya lalu memutuskan berjalan keliling Asia, Dauei pekerja real estate asal Jepang yang ingin hidup tanpa harus menepati janji atau datang tepat waktu, juga Somvit tukang perahu yang membawa saya melihat matahari terbenam di sepanjang sungai Mekhong. Perahu yang kami naiki dibuat oleh tangan Somvit sendiri, pria gundul 25 tahun yang berwajah seperti bocah 17 tahun. Ia mengoperasikan perahunya setiap sore bersama Kinipela, istrinya. Betapa ia bangga akan perahu dan istrinya itu. Ia memamerkan album foto pernikahahnya yang dilakukan dalam tradisi Laos sembari Kinipela memegang kendali perahu. Kinipela juga cukup fasih mengendalikan perahu. Selain membawa pengunjung melihat matahari terbenam, mereka pernah membawa perahunya menyusuri sungai Mekong sampai ke Thailand. Saya berkata pada Somvit betapa mereka begitu romantis. Setiap sore Somvit memberikan matahari terbenam untuk istrinya di atas perahu yang ia buat sendiri. Saat Somvit menerjemahkannya untuk Kinipela mereka tertawa geli dan saling memandang dengan sayang.

Lama juga sejak terakhir kali saya melakukan perjalanan sendirian. Di beberapa sudut Luang Prabang terkadang saya kangen Gypsytoes dan membayangkan bagaimana ia tentu girang kalau juga ada di sini. Namun, Luang Prabang juga adalah kota bagi mereka para penyendiri, mereka yang datang tak berkawan. Senang rasanya duduk memperhatikan barisan biksu yang berjalan dikala fajar atau melamun melihat matahari terbenam sambil minum kopi Lao. Saya terpanggil untuk sedikit berdoa di sebuah kuil yang hening yang tersebar di banyak sudutnya. Kota ini pun menawarkan petualangan-petualangan yang saya lakukan dengan berbinar. Trekking seharian menemui penduduk suku Khmu dan Hmong, atau empat jam kayak diantara arus sungai Nam Ou yang terkadang deras juga. Arus yang sempat membuat saya terlempar ke sungai dan membenturkan mulut di kayak saya sendiri. Kota ini juga menawarkan keramahan para pemuda setempat. Pada malam di hari perempuan internasional, Euling, pemandu saya saat trekking ke desa suku Khmu mengundang saya untuk merayakannya dengan cara khas pemuda Luang Prabang. Di hari perempuan internasional, para pemuda akan membeli minuman gratis untuk para perempuan Laos. Jadi itulah yang kami lakukan. Saya ikut dalam sambutan ramah para pemuda pemudi setempat sampai lewat tengah malam saat mereka mulai meracau dalam bahasa Laos yang tentu tidak saya mengerti. Lewat tengah malam saya pamit karena tidak mau tertinggal untuk sekali lagi melihat datangnya barisan para biksu saat fajar datang.

Perjalanan sendiri ke tempat yang sama sekali baru terkadang menciptakan perasaan nelangsa atau tak tentu arah. Namun, berada di kota yang dapat membuai para penyendiri ini serta mengetahui bahwa saat pulang nati ada kawan berjalan yang masih akan selalu ada membuat kebahagiaan saya ada di titik yang tinggi. Malam itu saya meninggalkan Luang Prabang dengan tersenyum. Terbang menuju Hanoi masih dengan celana pendek yang sama yang saya gunakan saat tercebur di sungai Nam Ou sore harinya. Dengan bangga saya bercerita ke Gypsytoes, celana dalam saya yang belum benar-benar kering setelah tercebur sungai melakukan penerbangan antar Negara. Sonk dee deuh, Luang Prabang. Sampai Jumpa, Luang Prabang.

Twosocks, Maret 2013.

5 Comments

  1. Nice post…Ted, bapak-bapak yang ada di tengah itu mukanya kok mirip Jeni ya…(tapi versi bersihnya)

  2. dustysneakers

    Hahaha cakepan tu bapak2 kemana2!
    Oh, priya, selamat jalan2 ke sana. pasti menyenangkan 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s