comment 1

Mencari Ingatan Akan Kartini

Kalian tahu itu apa?” tanya saya pada sekelompok siswa Taman Kanak-Kanak yang sedang duduk-duduk menikmati semacam es lilin.

“Itu tempat ari-ari Kartini,” kata salah satu dari mereka, mulutnya tampak dipenuhi lelehan gula-gula.

Ia menjawab dengan benar. Saat itu kami berada di Desa Mayong, 25 kilometer dari pusat kota Jepara. Di sinilah dulu Kartini dilahirkan sang ibu, Ngasirah, salah satu dari dua istri Bupati Jepara, R.M.A.A Sosroningrat. Sayang tanda-tanda bekas rumah kelahirannya sudah tidak tampak lagi. Namun penanda tempat ari-ari beliau ditanam masih tampak di mana di atasnya didirikan sebuah monumen. Saat itu kami berada di sana, di dekat monumen ari-ari Kartini. TK Pertiwi Kartini, tempat anak-anak tadi bersekolah, berada tepat di depan monumen itu.

“Kalian tahu Kartini itu siapa?” tanya saya lagi.

“Tahu. Dia pahlawan perempuan,“ jawab anak tadi yang masih menyedot-nyedot es-nya. Sementara kawannya yang lain memandang kami dengan pandangan yang tampak sedikit heran. Mungkin ia berpikir, siapa ini orang besar tanya-tanya soal Kartini?

“Memangnya Kartini bikin apa kok dia bisa jadi pahlawan?” Fani nimbrung bertanya.

“Dia bikin perempuan-perempuan bisa sekolah. Dia pahlawan pendidikan,” kawan anak yang menyedot es itu yang sekarang menjawab. Mungkin dalam hati ia berkata lagi, tentu kami tahu siapa Kartini, sekolah kami persis di depan ari-arinya.

The Dusty Sneakers I Tur Kartini I 3

Kami berlima senang sekali menemukan anak-anak TK ini tahu siapa Kartini. Walaupun kemudian mereka tidak bisa menjawab saat kami tanya lebih dalam seperti bagaimana sejarah hidupnya, apa saja yang ia ajarkan di sekolahnya, dan banyak lagi, kami rasa itu wajar. Mereka toh masih siswa taman kanak-kanak. Di usianya, bahwa mereka masih mengenang Kartini sebagai tokoh kemajuan perempuan saja kami rasa sudah sangat membanggakan.

Kami tertarik dengan eksperimen ini, di sepanjang sisa perjalanan kami kerap bertanya bagaimana warga Jepara mengingat Kartini. Saat sedang duduk-duduk di alun-alun kota Jepara yang berangin sejuk itu, kami berbicara soal Kartini dengan kelompok-kelompok remaja yang juga sedang bersantai di sana. Kami juga bertanya mengenai Kartini kepada anak-anak sekolah menengah yang sedang bermain-main di sekitar Pantai Bandengan.

Ternyata kami menemukan pengetahuan mereka mengenai Kartini tidak lebih mendalam dari siswa taman kanak-kanak tadi. Mereka hanya akan menjelaskan Kartini sebagai pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi kaumnya. Tidak lebih. Peringatan hari kelahirannya pun dilakukan di Jepara dengan cara yang sebagian besar sama saja dengan daerah lain di Indonesia, lomba kebaya, memasak, bersanggul, dan sejenisnya. Mereka semua bangga terlahir di tempat yang sama dengan kartini, mereka hormat kepada Kartini sebagai pejuang kaum perempuan, namun tidak banyak detail yang lebih mendalam yang bisa diceritakan.

Sejujurnya, sebelum ke Jepara ini kami pun tidak tahu banyak mengenai beliau. Ketidaktahuan itulah yang mendorong kami untuk membaca lebih banyak akannya dan melihat jejaknya di tanah kelahirannya ini. Baru menjelang keberangkatan ke Jepara-lah kami tahu lebih mendetail akan jalan hidupnya, perdebatan soal sosoknya, dan juga betapa ia begitu peka akan isu-isu sosial di sekitarnya. Kami baru tahu bahwa beliau ternyata antropolog pertama di Indonesia saat tulisannya mengenai pernikahan suku Koja dimuat di Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania di Belanda tahun 1898. Saat itu ia baru berusia 19 tahun saja. Kami baru tahu bahwa ia juga berjasa mengangkat kesejahteraan pengerajin ukir Jepara dan menemukan ukiran motif macan kurung khas Jepara. Kami baru tahu bahwa isu yang diperjuangkannya lebih dari soal pendidikan perempuan semata namun juga soal kesetaraan manusia, poligami, kolonialisme, bahkan isu opium di tanah Jawa.

Namun mau tak mau kami sedikit kaget juga menemukan bahwa seperti daerah lain di Indonesia, di Jepara pun, di tanah kelahirannya, sosok Kartini tidak benar-benar dikenal secara mendalam. Padahal Jepara dikenal sebagai kota Kartini. Ia adalah sosok kebanggaan Jepara, sosok yang begitu dicintai sehingga namanya diabadikan menjadi banyak sekali hal di kota ini. Sekolah, alun-alun, pantai, rumah sakit, gelanggang olah raga, jalan, dan banyak lagi. Wajar karenanya anak-anak pun telah diperkenalkan soal Kartini semenjak dini. Namun pengetahuan akannya sepertinya tidak berkembang jauh.

The Dusty Sneakers I Tur Kartini I 5

Riza Khairul Anwar, penjaga museum Kartini Jepara, mengatakan pada kami bahwa para siswa di Jepara kebanyakan hanya mengenal Kartini sebatas bahwa ia pahlawan pendidikan kaum perempuan. Tidak lebih. Tidak banyak keingintahuan yang lebih yang ia temui.

“Padahal banyak sekali keteladanan Kartini yang bisa dicontoh para pemuda bangsa kita sekarang ini,“ sambungnya. “Kalau saja pemikiran Kartini soal kesetaraan diketahui banyak orang, keinginannya yang besar untuk menuntut ilmu setingginya itu diresapi banyak pemuda, ia bisa jauh lebih menginspirasi dibandingkan sekarang.”

Inilah potret penghargan kita terhadap sejarah yang masih menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Proses mencintai bangsa juga adalah proses mengenal secara lebih mendalam orang-orang yang berjasa membentuknya. Menghargai perjuangan pahlawan jauh lebih dari mengabadikan namanya sebagai nama jalan, gedung, menghormat pada peringatan kelahirannya, atau menirukan bagaimana ia berpakaian. Menghargainya adalah dengan mengenal lebih jauh sosoknya, jalan hidupnya, pemikirannya, dilema-dilema yang dihadapinya, hingga pergolakan batinnya. Kami pun merasa kami begitu banyak tertinggal dalam hal ini. Saya yang terlahir di Bali tidak benar-benar tahu mendalam mengenal sosok I Gusti Ngurah Rai, atau Gypsytoes yang terlahir di Jakarta tidak benar-benar tahu apa yang dulu dilakukan Si Pitung.

Dengan mengenal mereka yang membentuk bangsa ini, pemikiran-pemikiran mereka, idealisme mereka, hingga kegelisahan mereka, kita akan dapat lebih menghargai apa yang diperjuangkannya. Setelah beranjak dari Jepara, setelah membaca dan berdiskusi banyak akan Kartini, kami sekarang mengenalnya sebagai sosok perempuan perkasa dengan cita-cita nan mulia yang jauh lebih dari sekedar foto Ibu berwajah sejuk dan berkebaya yang kami hormati setiap tanggal 21 April.

Saat bergerak menjauhi Jepara kami saling pandang satu sama lain dan saling bertanya, siapa tokoh berikut yang akan kami telusuri jejaknya? Rohana Kudus? Dewi Sartika?

The Dusty Sneakers I Tur Kartini I 4

Twosocks

Catatan ini adalah artikel kedelapan dari Seri Tur Kartini, inisiatif kolaborasi The Dusty Sneakers dan Pamflet, organisasi anak muda yang berbasis di Jakarta, untuk mengenal sosok dan pemikiran Kartini lebih jauh dengan melakukan perjalanan ke Jepara dan Rembang. Kumpulan catatan perjalanan Tur Kartini dapat diunduh di sini.

1 Comment so far

  1. Pingback: Jika Tahu 7 Hal Ini Tentang Ibu Kartini, Kita Akan Mengerti Kenapa Sosoknya Memang Layak Dihormati | Avatar IT

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s