comments 7

Merapi: Cerita dari Atas Awan

Sabtu pagi itu saya tiba di terminal Jombor, Yogyakarta, dan menunggu. Tak lama dua sosok yang mudah sekali dikenali itu tampak. Rambut keriting nan lebat Sinta dan tubuh jangkung Bastien. Hari itu kami bertiga sepakat untuk bertemu di terminal Jombor untuk melakukan perjalanan yang megah: mendaki puncak gunung Merapi.  Dari terminal Jombor kami naik bus jurusan Magelang turun di daerah Blabak untuk kemudian berganti angkot ke desa Telatar, lalu desa Jrakah, diakhiri menumpang pick up menuju kecamatan Selo. Walau berliku, perjalanan di pick up cukup menyenangkan karena angin yang sejuk dan pemandangan kebun tembakau yang menghijau di sepanjang jalan.

Pukul 3 sore di Selo, kami siap memulai pendakian.  Gunung yang terakhir kali meletus tahun 2006 lalu itu tampak menjulang menantang. Ransel sudah dipenuhi berliter-liter air, tenda, sleeping bag, senter, bahan makanan dan segala keperluan lain.  Ditemani pemandu setempat, mas Jarwo dan mas Trubus, kami mulai berjalan. Menapak naik melewati kebun-kebun tembakau, terus naik memasuki hutan, dan terus naik saat jalanan mulai berbatu.  Ransel kami yang menanggung beban air perlahan mulai terasa berat. Gunung Merapi memang tidak memiliki sumber air sehingga cadangan air yang cukup banyak musti disiapkan. Namun pemandangan menakjubkan yang seolah tak berhenti membuat kami lupa akan penat dan terus bersemangat berjalan ke atas. Tak terhitung berapa kali kami tertegun dan mengeluarkan suara-suara takjub. Kumpulan awan di bawah yang membuat kami seolah berada di negeri atas awan, pemandangan gunung Merbabu di kejauhan, hamparan hutan jauh di bawah, atau kumpulan bunga edelweis yang hanya tumbuh di pegunungan. Saat senja kemerahan, kami melihat matahari terbenam di balik awan sambil duduk di atas batu di sebuah tempat yang disebut Selokopo Atas. Sebuah tempat diatas awan.

Sore dari Selokopo Atas

Hawa mulai dingin saat hari perlahan gelap. Kami mulai mengenakan jaket dan terus berjalan menembus malam. Jalanan mulai lebih berbatu dan semakin terjal. Kira-kira kemiringan mencapai 50-60 derajat. Jauh di bawah tampak lampu-lampu kota Boyolali dan Magelang yang mulai menyala. Sinta tampak mulai kelelahan, napasnya mulai tersengal, tapi ia bertahan dan tetap menapak. Setelah empat jam mendaki kami sampai di hamparan lapang yang disebut pasar Bubrah. Konon pasar Bubrah ini adalah pasarnya para mahluk halus. Dedemit, memedi dan semacamnya tinggal di sana. Batu-batu di sana adalah tempat mereka berjualan dan berkehidupan. Tapi sudahlah, kami terlalu awam untuk hal-hal semacam ini. Jadi kami mencari sebuah batu yang cukup besar untuk melindungi dari angin kencang dan mulai mendirikan tenda. Setelah tenda didirikan kami mulai membuat api dan memasak makan malam. Mi instan adalah makanan paling enak di dunia. Ditemani teh hangat, kami para pendaki kelaparan ini, menikmati salah satu makan malam terbaik. Sebelum kantuk datang kami saling  berbicara tanpa henti. Saya pun sempat ngobrol banyak mas Marjo dan mas Trubus. Mereka sehari-hari adalah petani tembakau. Sepanjang malam mereka bercerita tentang kisah-kisah petani tembakau yang menakjubkan. Termasuk kisah ketika mas Marjo ditahan Polisi saat mencari bibit tembakau di Garut. Waktu itu ia membeli bibit dari seorang petani lain di sebuah desa di Garut, namun rupanya semua orang hanya boleh membeli bibit dari pengepul setempat. Membeli langsung dari petani adalah larangan dan untuk itu ia dibawa ke kantor polisi. Kami terus bertukar cerita, tentang anak-anak mas Marjo, tentang kisah-kisah pendaki Merapi, tentang macetnya jakarta, sampai kantuk datang dan kami tertidur. Angin dingin bertiup cukup kencang malam itu dan kami meringkuk dengan pulas di kantung tidur masing-masing.

Kemping di Pasar Bubrah

Pukul empat pagi kami sudah bangun dan mulai berjalan lagi. Terus mendaki dalam gelap, dingin, dan sedikit bau belerang menuju puncak Merapi. Kali ini medan yang dilalui lebih berat dan berbahaya. Kemiringan mencapai tujuh puluh derajat dan sedikit kesalahan dapat berakibat fatal. Dengan bantuan senter dan sisa cahaya bulan kami terus mendaki. Beruntung di sepanjang tebing selalu terdapat batu-batu yang kokoh untuk berpegangan atau berpijak. Saat berada dalam posisi yang cukup kokoh, beberapa kali saya melihat ke bawah atau ke kejauhan. Tampak lampu-lampu di kota Magelang dan Boyolali yang masih lelap. Setelah sejam mendaki akhirnya kami tiba di puncak merapi tepat menjelang matahari terbit. Dimanapun, matahari terbit selalu memberikan suasana yang ajaib. Menyaksikannya dari puncak gunung adalah keajaiban yang berkali lipat. Di antara angin yang berhembus dingin kami duduk di puncak Merapi menghadap ke timur. Melihat garis berpendar merah di kejauhan, yang kemudian berubah menjadi keemasan, sampai kemudian matahari sedikit demi sedikit muncul di balik awan. Bersama warna keemasan itu mulai tampak puncak gunung Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan yang tertinggi gunung Slamet menyembul di balik awan di kejauhan. Saya teringat catatan perjalanan Soe Hok Gie yang menyebut puncak gunung Slamet sebagai ‘si Botak’. Asap dari kawah merapi yang masih aktif muncul di sisi-sisi yang berlainan.  Dan kami terus menatap takjub ke timur, diantara angin yang bertiup dingin. Negeri di atas awan, di sanalah pagi itu kami berdiri. Perasaan yang tak tergantikan.

Pagi hari dari puncak Merapi

Negeri Atas Awan

Saat matahari mulai meninggi kami turun. Membuat sarapan sebentar di tenda kami di pasar Bubrah, melipat tenda, dan berjalan turun. Seperti halnya perjalanan naik, saat turun pun kami tak henti dibuat kagum oleh alam yang dilalui. Jalanan berkarang yang malam sebelumnya kami lalui dalam gelap kali ini membentangkan keindahannya dengan gamblang. Pemandangan gunung merbabu di kejauhan, hamparan hutan dan jurang di bawah, semuanya tampak indah dari sisi yang berbeda dari saat kami naik sebelumnya.

Di Perjalanan Turun

Tapi perjalanan turun ini juga memberi tantangan yang lain. Setelah separuh jalan Sinta tampak sangat kelelahan. Kakinya gemetar dan tak kuasa diperintahnya. Setiap langkah dibuatnya dengan begitu berat. Sahabat saya ini, selamanya ia adalah pejuang yang tak kenal menyerah. Tapi kali ini ia telah mencapai ambang kekuatannya. Namun dengan keras kepala ia tetap tak menyerah. Dengan tertatih ia berjalan turun. Berkali ia harus turun dengan menyeret pantatnya. Dan Bastien, dengan penuh kasih sayang membantu menuntun Sinta. Beruntung beban di ransel sudah jauh berkurang dan karang-karang yang paling terjal sudah dilewati. Lewat tengah hari akhirnya kami semua sudah sampai di Selo untuk langsung kembali ke Jakarta. Gunung Merapi berdiri menjulang di belakang tampak makin menjauh. Walaupun lelah minta ampun, kami kembali ke Jakarta dengan senyum yang lebar luar biasa. Kami, para pendaki amatiran ini, sudah mencapai puncak Merapi.

Tim Merapi

Keesokan harinya saya berjalan ke kantor terpincang-pincang. Kaki rasanya mau lepas.

July 2010, Twosocks

7 Comments

  1. duy

    keren amattt… gue juga mengincar merapi nih 🙂

    ajak2 ya kalau ada trip selanjutnya 🙂

  2. dustysneakers

    hehe thanks duy! merapi emang keren banget. bener2 musti masuk daftar thing to do before you die. Kalo naik gunung, gw berencana ke Merbabu sometimes abis lebaran. so far, Bram Hendrawan yg saat itu akan ada di indonesia bilang ngikut, ada juga Rivan Royono dan Apu yg bilang tertarik. kalo jadi pasti akan dikabari! 🙂

    • dustysneakers

      haha seru emang kemping di sana, biarpun setiap kali pipis gw musti komat kamit segala macem dulu hahaha
      Btw Ajeng, always love your backpacker’s notes project! it’s getting more and more awesome!

  3. Irfan

    Wow! bagus sekali catatan pendakiannya. dulu saya mendaki merapi dan niat sekedar bikin catatan kecil tapi batal terus. Nanti kalau jadi ke Merbabu, bagi pengalaman di sini ya. Lumayan untuk referensi

Leave a Reply to Ajeng Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s