Perjalanan kembali ke kota masa kecil selalu memberikan suasana yang melankolis. Ada suasana hati yang berbeda saat melihat kembali sudut-sudut yang menyimpan cerita masa kanak-kanak kita. Bayangkan perasaan yang timbul saat menyusuri lagi jalanan yang dulu dilalui bersama pasangan cinta monyet kalian. Saat dengan malu-malu untuk pertama kalinya kalian bergandengan tangan. Bayangkan mengunjungi kembali sebuah pojokan tempat dulu kalian bersedih setelah dipukul oleh kakak kelas SD mu yang bengis. Beberapa tempat lebih berdebu dan letih sejak terakhir kalian melihatnya. Beberapa sudut lebih mentereng atas nama pembangunan.
Hampir empat belas tahun sejak terakhir kali saya berada di Singaraja, sebuah kota kecil di utara Bali. Kota yang membentuk masa kecil saya, orang-orang yang menciptakan aksen Buleleng saya yang kental.
Di Jl. Ngurah Rai, salah satu jalan utama kota ini, saya mampir ke SD Mutiara. Sekolah kebanggaan saya dahulu. Bangunan yang sama, lapangan bermain yang sama. Dulu lapangan ini penuh dengan lubang-lubang kecil di tanah untuk anak-anak bermain gundu. Lubang-lubang itu tidak lagi bisa ditemui karena lapangan sudah di-paving. Sekolah sedang lenggang tanpa kegiatan, tapi saya sempat bertemu dengan Pak Wayan, sang penjaga sekolah. Selain kerut usia yang semakin jelas, ia masih Pak Wayan yang pendiam. Ia tidak lagi ingat siapa saya. Terlalu banyak anak dengan rambut terbakar matahari, berkelakuan tidak masuk akal, dan berbau keringat yang telah diurusnya. Dulu ia dan istrinya, Bu Nyoman, sering membantu saya menyeberang jalan. Bu Nyoman juga adalah orang yang membantu saat dulu saya panik karena untuk pertama kalinya hidung saya mimisan. Ia juga yang kerap membantu Aldo, kawan saya yang sering mencret di celana. Di sana, di bawah pohon sekolah, saya berbicara dengan Pak Wayan tentang guru-guru masa lalu saya. Banyak di antara mereka yang dengan penuh dedikasi melawan gerogotan usia dan masih mengajar. Ah, seandainya saya berkesempatan bertemu mereka lagi.
Sayapun sempat mampir ke rumah masa kecil saya di Jl Rajawali. Ibu Cidra, yang sekarang menempatinya adalah kenalan lama orang tua saya. Dengan senang hati beliau mengijinkan saya untuk kembali melihat sudut-sudut penuh kenangan itu. Di halaman belakang, walaupun dengan jaring yang sudah tiada, ring basket itu masih kokoh berdiri. Saya teringat betapa dulu saya sangat bahagia saat almarhum ajik (sebutan untuk ayah di Bali) membangunnya untuk saya. Dengan tangannya sendiri ia menyemen bidang di halaman belakang untuk saya menyalurkan energi berolahraga saya yang menggebu. Ring dengan ukuran resmi 3,05m dan jaring yang gagah sekali. Jaring yang akan berbunyi wusss jika saya memasukkan bola dengan benar. Gambar-gambar masa lalu kembali muncul saat saya memandanginya. Sore-sore saat saya bermain basket dengan penuh semangat bersama ajik atau beberapa kawan sampai tiba waktunya ibu mulai sibuk menyuruh saya mandi. Saat saya memandangi ring basket ini kembali, saya berbisik kepada diri saya di masa kecil, ”it was a good game kid..”
Dan tentunya sayapun sempat bertemu beberapa kawan lama yang masih ada di kota itu. Salah satunya sahabat masa kecil saya, Oka Sanjaya. Sekarang ia adalah seorang ayah yang bahagia dan menjadi kepala cabang di PT PNM di sana. Masih seperti dulu, Keprut (demikian ia dipanggil) masih adalah sosok yang selalu yakin dengan apa yang dilakukannya dan selalu memastikan hal-hal terkontrol. Dulu saya selalu pergi kemana-mana mengendarai sepeda kebanggaan kami. Ajik dan Ibu selalu merasa tenang kalau saya pergi bersamanya. Bahkan saat kami terkadang keluyuran sampai malam di usia yang masih sangat belia. Dengan tubuhnya yang lebih besar, ia adalah anak yang dipercaya bisa menjaga saya. Dan dalam beberapa kasus memang demikian adanya. Suatu hari saya pernah dicegat dan ditantang berkelahi oleh seorang anak nakal di sekolah. Ia meyakinkan saya untuk berani dan melawan. Saya ingat ia berkata kurang lebih seperti ini, ‘Lawan gen gung, nyanan lamun kenken kenken, rage nguyeng jelemane ento’ (lawan saja, nanti kalau ada apa-apa, aku yang akan menghajar orang itu). Sepanjang senja kami ngobrol mengenang kebodohan-kebodohan masa kecil, kebebasan masa kanak-kanak.
Perjalanan ke masa lalu selalu menciptakan perasaan melankolis. Seperti kata penulis Sam Ewing, When you finally go back to your old hometown, you find it wasn’t the old home you missed but your childhood. Gambar-gambar masa lalu akan muncul dalam gerak lamban yang hitam putih. Anak-anak yang melompat, bernyanyi, bermimpi, dan berlari ke sana kemari dengan rambut terbakar matahari. Untuk beberapa orang perasaan yang muncul adalah perasaan yang sedih atau traumatis. Tapi untuk kebanyakan orang termasuk saya, perasaan sentimentil saat melakukannya atau saat menuliskannya adalah perasaan yang indah sekali. Saya bahkan menemukan diri saya tersenyum-senyum sendiri saat menulis catatan ini. Beruntunglah mereka yang memiliki tempat-tempat masa lalunya.
Twosocks, June 2010
nice post 😉 and suddenly miss my childhood friends..
Lovely note 🙂 Kok lagi in the same mood yah? lagi inget masa kecil belakangan ini, I miss little me and my wonderful childhood…
Terima kasih teman-teman 🙂 yeah, childhood is really seems like a short season ya? miss those days..go visit your old hometown, your childhood buddies, and enjoy the feeling. sing! hop! laugh! talk to strangers! be carefree!
sweet post, touching…
childhood is too precious to be forgotten
hey hey… sori gue baru liat comment lo 🙂 thanks for visiting!! Blog & tulisan lo kereeennnn…. Saya jadi semangat buat nulis lagi, hehe, udah lama gak aktif 🙂
Nuriniw: yeah, let’s not forget the days when our feet were dirty, our nose was wet, and we just didn’t care. thanks ya. Salam kenal.
Duy: Sama2 duy!! weis senang elo semangat nulis lagi. ditungu next post nya ya!
gw baru baca lagi tulisan yg ini. Sweet writing emang. Ayo menulis lagi. it’s been a month!
Hehe thanks dyah. baru2 ini sempat naik ke merapi dan menulis tentangnya. Bentar lagi gw post. yeah, it’s been a month!
hai… saya juga alumni TK & SD Mutiara sekitar tahun 82an tapi naik kelas 3SD saya pindah ke mataram, guru yang saya ingat adalah guru kelas 1 yaitu bu nik… mungkin karena galaknya makanya saya tetep inget ma beliau, oiya 1 lagi guru kelas 2 pak rena…yang lainnya dah lupa..hehehe… oiya lapangan yang di dalam sekolah masih terbagi 2 atas dan bawahkah? jadi pengen berkunjung jadinya…
hai febrie,
berarti saya adik kelas hehe yap lapangan masih terbagi dua seperti dulu dan saya ingat bu nik. beliau mengajar bahasa Indonesia. ayo bekunjung ke sana suatu hari. selalu menyenangkan berjalan ke masa lalu 🙂
ahhh..baca tentang di rumah jl.rajawali..mengingatkan lagi kenangan2 yg lama..kenakalan dan keributan kita yg bikin tetangga sebelah terganggu ( yg pnya anak2 kos)..
“When you finally go back to your old hometown, you find it wasn’t the old home you missed but your childhood.”
Well said, Sam Ewing.
Dan tulisan lo ini membuat gue teringat dengan Pak Edi, penjaga sekolah TK Tunas Karya II dulu. Kurus, tinggi, sawo matang, rambut ikal, dan nggak pernah kehabisan senyum meskipun bocah-bocah bau matahari baru saja tertangkap basah habis jajan es kelapa muda di depan sekolah. 😀
Thanks for sharing Ted. Yes, that was a good game.
You are the inspiration of my writing this time. Check it here http://len-diary.blogspot.com/2013/02/angkot-bawa-aku-ke-masa-lalu.html
thanks Lenny dan Sara 🙂
Pantas bacaan pertamanya Twosocks Mahabharata. Hahaha. Sesama Balinese. 😀
Haha yep! salam dari sesama Balinese 😀