comments 22

Tahun dengan Corat-Coret di Dinding Kamar, Mungkin.

Maesy dan saya belakangan punya kebiasaan baru. Satu atau dua kali seminggu kami memulai hari di sebuah kedai kopi di wilayah selatan Jakarta. Sebelum jam tujuh kami sudah mandi bersih dan berangkat. Saat kami datang, kedai masih sepi. Barista kerap terlihat masih mengantuk. Suatu kali ia bahkan sangat mengantuk dengan muka teler. Kantung matanya seperti kemasukan kelereng. Pesta semalam sedikit gila-gilaan, begitu katanya.

Memulai hari di sana dan di rumah sebetulnya sama saja. Kami minum kopi dan omong-omong ringan. Terkadang soal pekerjaan, tapi lebih banyak soal hal lain. Soal buku, teman, atau sekadar adu jahil. Tetapi beberapa waktu lalu, sebuah pagi di sana menjadi cukup istimewa. Di antara percakapan tiba-tiba tercetus sebuah gagasan baru untuk kami menulis bersama. Semuanya dimulai dari sebuah esai yang kami baca di bangku kayu dekat jendela, Memory Lane judulnya. Esai itu bertutur soal perjalanan darat jarak jauh sebuah keluarga serta soal kenangan masa kecil. Esai itu ditulis dengan penuh nostalgia, sehingga kami ikut teringat akan memori-memori kami sendiri, soal remah makanan penuh micin di jok belakang, permainan-permainan kecil untuk membunuh waktu, tangan mungil yang dijulurkan keluar jendela, dan lain-lain. Saat membincangkannya, Maesy — yang di atas kepalanya kerap timbul bola lampu — tiba-tiba muncul dengan ide sebuah novel pendek. Tidak hanya ide cerita, tapi juga bagaimana ia akan disampaikan.

Maesy selalu lebih nyaman menulis dalam bahasa Inggris. Buku kami yang lalu, walau kami sangat bergembira akannya, tetap memiliki ganjalan. Itu disebabkan tulisan Maesy, mau tak mau, harus saya terjemahkan. Sekeras apa pun saya berusaha, tentu ada suara Maesy yang gagal saya sampaikan dengan tuntas. Pagi itu di kedai kopi, di mana sinar matahari terasa hangat di kulit, Maesy muncul dengan sebuah plot cerita yang dapat disampaikan dengan dua bahasa, dari dua sisi yang saling melengkapi. Tentu ide ini masih ruwet di kepala, tapi kemunculannya tetap kami sambut dengan sulangan dua gelas kopi. Kami bersalaman dan menjalani sisa hari dengan berbinar.

Terlepas dari apakah ini akan berujung pada sebuah karya jadi atau tidak, saya menyambutnya juga karena prospek melakukan kerja penulisan buku bersama lagi. Buku pertama kami ditulis lebih dari setahun yang lalu. Karenanya, timbul juga rindu kami akan prosesnya. Saat-saat Maesy menghias tembok kamar dengan post-it aneka warna, saat saya cemas ketika Maesy membaca naskah awal dengan kening yang berkerut, saat kami menulis bersebelahan hingga larut, dengan Kings of Convenience, Tom Waits, Sidney Bechet, juga poci-poci teh yang diisi lagi, lagi, dan lagi.

Pertengahan Desember lalu, bulan di mana Jakarta terasa masuk akal, kami teringat betapa kami senang membuat karya tulisan bersama. Betapa ia adalah proses panjang yang menyenangkan sekaligus mendekatkan kami. Di bulan Desember itu kami menulis untuk Pindai, sebuah portal yang memuat tulisan-tulisan non-fiksi naratif. Kami menyukai situs yang digagas anak-anak muda di Yogyakarta itu. Ia mengobati rindu pembaca non-fiksi akan tulisan berbentuk narasi panjang dan mendalam. Beberapa tulisan di sana, yang kemudaan penulisnya membuat kami merasa renta sekali, masih kami bicarakan jauh sesudah membacanya untuk pertama kali. Ada tulisan Dea Anugerah soal dampak karya Proust pada kepenulisan seseorang, juga tulisan Dewi Kharisma Michellia soal penerbit buku independen — Marjin Kiri dan Kobam — yang setia bekerja di pasar yang sepi, juga beberapa tulisan yang lain. Saat Fahri Salam, editor Pindai, mengajak kami menulis di sana, kami tak perlu waktu lama untuk mengiyakan.

Di sana kami menulis soal amatan kami terhadap perkembangan tulisan perjalanan di Indonesia. Soal apakah jenis tulisan ini masih bisa berkembang dalam hal kualitas dan keberagaman, atau ia akan semakin gaduh dengan promosi pariwisata, deskripsi tempat yang melulu indah, atau orang lokal yang melulu bijaksana. Proses menulisnya menyenangkan, mulai saat menyusun argumentasi, mencari referensi yang pas, mewawancarai Windy Ariestanty dan Farid Gaban, mendengarkan ulang rekaman percakapannya, membangun kerangka tulisan, hingga menyelesaikannya. Dalam prosesnya, sedikit perselisihan tentu terjadi. Ini lebih karena cara menulis saya yang main terobos sementara Maesy memiliki obsesi berlebih pada kematangan struktur sebelum bergerak maju. Namun akhirnya, saat di penghujung Desember tulisan itu selesai, kami bergembira akan dua hal, menyelesaikan tulisan itu dan menyelesaikannya bersama. Untuk kami, ia menjadi kado tutup tahun yang manis.

Tentang rencana menulis novela, tentu ini masih akan menjadi perjalanan panjang. Mungkin setahun, mungkin dua tahun. Kami bahkan tidak tahu apakah ia akan berhasil diselesaikan atau akan terlantar begitu saja. Banyak hal yang kami mulai bersama dan kandas, seperti halnya banyak hal yang kemudian berbuah manis. Saya teringat sebuah coret-coret awal naskah novel tentang kakek penggerutu yang hingga sekarang masih tersendat-sendat. Bagaimana pun, menulis fiksi adalah hal baru yang membuat kami gugup juga. Mungkin menulis catatan ini adalah bagian dari menciptakan tekanan pada diri sendiri untuk menyelesaikannya.

Namun di atas semuanya, pagi itu di kedai kopi, di bangku kayu dekat jendela di mana sinar matahari terasa hangat di kulit, kami bergembira untuk sebuah kerja penulisan yang akan kami lakukan bersama lagi. Pagi itu kami merasa bahwa tahun ini akan menjadi tahun yang menyenangkan. Tahun dengan corat-coret di dinding kamar, malam-malam panjang saat kami menulis bersisian, pagi yang dimulai lebih awal, kening yang berkerut, Kings of Convenience, Tom Waits, Sidney Bechet, juga poci-poci teh yang diisi lagi, lagi, dan lagi.

______

 

*tulisan kami di Pindai, “Menari di Medan yang Riuh”, dapat dilihat di tautan ini.

22 Comments

  1. er_ikaa

    I knew it!!! Pantesaan aja saya merasa sedikit heran membaca tulisan Gypsytoes di buku kisah kawan di ujung sana itu karena gaya berceritanyaa kok mirip Twosocks? Berbeda dengan gaya tulisan2nya di blog. Hohoho, sekarang terjawab sudah rasa penasaran itu ^^. Semoga projek baru menulis bersamanya menelurkan hasil yaaaah. Pasti ciamik! :))

  2. Anonymous

    Waahh…, saya dan teman² di Banjarmasin sana menunggu tulisan² kalian berikutnya… Ada fans kalian yg tidak sabar menunggu kiriman buku dari Jakarta!

  3. Pestha

    Kenapa ya membaca tulisan kalian dua itu selalu membuat hati serasa ikut bergembira. Serasa ikut terlibat di dalamnya (padahal, jelas saja gak ada peran sama sekali). hahaha.. Selamat dan semangat ya kak, semoga proses melahirkan ide menjadi karya bisa lancar dan berbuah manis. 🙂

  4. Marco

    saya baru beli buku the dusty sneakers beberapa minggu lalu, dan baru setengah membacanya. tertarik banget dengan ceritanya sampai penasaran buka situsnya. suka banget deh pokoknya. kayaknya setelah selesai baca bukunya mau ngobrak-abrik situsnya juga. sukses selalu 🙂

  5. Ariesusduabelas

    Padahal tulisanmu yang ini saja, bagus lo. Yah, walau standar tulisan bagus saya tidak sebaik milik kalian. Ditunggu ya buku terbarunya.

Leave a comment