Jika kamu melihat keseharian Jakarta dengan seksama, atau kamu mengingat bagaimana ia menuliskan sejarah hidupmu, terbitkah cintamu padanya?
Ojek yang saya tumpangi menyelip di antara mobil, polisi cepek, penyeberang, bus, motor lain, sampai titik di mana bahkan pengendara motor paling lihai pun harus berhenti. Kemacetan di Jl. Tendean sedang menggila. Tukang ojek menghela nafas. Ia bergumam sekilas; kampret, begitu kalau tak salah. Kami masih berhenti saat beberapa meter di belakang terdengar makian. Seorang pria membuka helmnya lalu mencerca supir mobil Kijang yang memasang wajah memelas. Rupanya mobil tak sengaja menyenggol motor. Pemilik motor murka. Dimakinya si supir dengan kemarahan yang layak dimiliki seseorang yang kepalanya dikencingi dari atas loteng. Berlebihan sekali lagaknya, memaki sambil menunjuk-nunjuk. Tak lupa bagian depan mobil digebuk dengan gaya dramatis sebelum ia melanjutkan perjalanan. Tukang ojek tertawa-tawa melihat pemandangan itu. Terhibur ia rupanya.
“Jakarta sudah normal lagi,” katanya saat motor kami kembali menyelip-nyelip.
Minggu kedua bulan Januari, Jakarta sudah berputar dalam kecepatan penuh. Pernah saya katakan, di bulan Desember dan awal tahun wajah Jakarta selalu lebih tenang dan dipenuhi harapan baru. Masa itu sudah berlalu. Hari ini ia kembali menampakkan wajahnya yang susah dicintai itu. Kemacetan yang brengsek, wajah bosan, orang berangasan, asap knalpot, bunyi klakson. Saya tak rela kenikmatan Desember dan awal tahun itu berlalu cepat, maka saya mencoba mencari wajah-wajah ramah di antara hal kacau balau itu. Seorang perempuan memeluk pria yang memboncengnya dengan pelukan yang jelas menunjukkan mereka sedang mabuk cinta. Remaja tanggung tertawa-tawa bersama remaja tanggung lain, entah untuk urusan apa. Saya ingat polisi cepek tadi juga berwajah bungah. Tangannya mengatur kendaraan dengan semangat penuh. Selain jadi banyak rejeki, ia sedang merasa punya peran besar.
Tukang ojek berhenti di sebelah tukang ojek lain yang rupanya berasal dari pangkalan yang sama. Sang teman sedang membonceng perempuan cantik. Tukang ojek saya berkata kepada penumpang temannya, “Kalau Mbak mulai dirayu, jangan digubris ya. Anaknya sudah setengah lusin.” Ia lantas tertawa besar-besar. Tukang ojek temannya ikut tertawa besar-besar. Perempuan cantik juga ikut tertawa, tapi kecil saja. Jika Jakarta adalah ombak yang besar, beberapa orang bisa berselancar di atasnya sambil berakrobat.
Saya teringat Mira, kawan baru yang baru-baru ini bikin inisiatif berjudul Poetry of Space. Ia mengajak para seniman mencari sisi-sisi puitis Jakarta dengan bereksperimen melalui intervensi-intervensi ruang publik di Jl. Sudirman. Ada yang memasang suara cicit burung di jembatan penyeberangan dan memperhatikan bagaimana para penyeberang bereaksi. Ada yang meletakkan binokular di bangku pinggir jalan dan meletakkan narasi pendek di dekatnya. Kalau tak salah narasi pendek semacam, “Di seberang sana ada seorang perempuan yang sedang menunggu”. Ia mengajak orang untuk melihat hal-hal detil di tengah keruwetan yang seakan tanpa jeda. Ada yang mengajak pejalan kaki untuk berhenti sejenak di sebuah kotak telepon umum dan mendengarkan kompilasi lagu yang menenangkan. Yang lain menempelkan kalimat-kalimat tokoh besar di berbagai tempat umum dan melihat bagaimana reaksi orang saat membacanya.
Menurut Mira, hampir semua seniman itu menawarkan “jeda” dalam karyanya. Mungkin diantara keruwetannya, di belantara Jakarta ini terdapat hal-hal subtil yang tak terlihat, yang jika kita berhenti sejenak, melihatnya lebih seksama, akan menjadikan Jakarta puitis juga.
Pernah saya dan Gypsytoes berbicara tentang betapa manusia-manusianyalah yang membuat keindahan sebuah tempat tak ada habisnya. Sebuah tempat yang indah akan menerbitkan kagum pada pengunjung karena kebaruannya, tapi pada satu titik ia akan diterima sebagai kewajaran. Tapi manusia-manusianya, kalau kamu cari dengan mata terbuka, akan sanggup mengejutkanmu lagi dan lagi. Dan Jakarta, dengan jutaan manusianya, jika dilihat dengan seksama, akan membuatmu jatuh cinta. Lagi dan lagi. Kami kerap bersyukur dapat berkenalan dengan kawan-kawan yang selalu mengajak orang untuk menikmati keindahan sehari-hari Jakarta. Hanny, Windy, dan Novi menggagas Jakarta On Foot untuk mengajak orang berjalan kaki dan menghayati keseharian Jakarta, Popomangun menggagas kegiatan menggambar bersama di berbagai tempat publik, Rain dan Avi melahirkan The Murmur House, media bagi anak muda untuk berkarya dan menikmati karya-karya sastra, Yudhi membuat Minggu pagi di Taman Suropati bergairah dengan kegiatan yoganya, dan banyak lagi. Merekalah beberapa yang membuat sudut-sudut Jakarta menjadi riang gembira.
Jakarta memang sulit untuk dicintai, tapi mungkin. Kau bahkan mungkin sudah terlanjur mencintainya. Bagaimanapun ia juga yang menuliskan atau menjadi saksi sejarahmu sendiri. Di sana saya jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta lagi, menemukan pertemanan, dan lain-lain. Kalau kenangan akan Jakarta disimpan dalam kaleng yang dijual, si penjual kaleng tentu sudah kaya raya. Saya ingat beberapa waktu lalu Andine, seorang kawan baru juga, mewawancarai kami tentang bagaimana kami melihat Jakarta. Pertanyaan-pertanyaannya membuat saya banyak bernostalgia. Salah satunya ia bertanya memori terawal saya akannya. Saya langsung teringat hari kedua di Jakarta saat saya bertengkar dengan seorang tukang limun di Blok M. Ia menaikkan harga dengan semena-mena hanya karena saya lupa menanyakan harga limun sialan itu sebelum membuatnya tandas. Kenangan-kenangan terus bertumpuk sesudahnya. Bersama waktu Jakarta menjadi semakin dekat di hati saya. Ia seperti saudara tua dengan kepribadian unik. Terkadang ia bikin geram, di lain waktu ia muncul dengan kejutan manis.
Ojek berhasil menembus segala kemacetan dan tiba di rumah saya walau sedikit terlambat. Si tukang ojek minta tambahan lima ribu. Macetnya parah, begitu ia beralasan. Saat permintaannya saya penuhi, di wajahnya terbit senyum lebar. Ia pergi dengan kalimat “Terima kasih, Boooosss” dengan nada belakang yang, kamu tahu kan, dipanjang-panjangkan. Saya terbayang dia ini pemain akrobat.
Dan Jakarta masih akan terus berjalan, mungkin merayap. Ia masih akan membawa kabar yang membuat geram. Namun, kabar baik juga akan berdatangan. Tunggulah, atau cobalah mencari dengan lebih seksama. Ia ada. Sungguh.
Twosocks
- Poetry of Space dipamerkan di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta pada akhir Desember lalu. Esai kuratorial Mira yang bagus itu bisa dilihat di sini
- Wawancara oleh Andine bisa dilihat di sini (untuk saya) dan di sini (untuk Gypsytoes).
- Semua foto diambil dari atas ojek.
Jakarta :’) Hubungan saya dengan Jakarta semacam love and hate relationship^^ Tapi biar gimanapun Jakarta tetap bisa jadi sumber inspirasi untuk menulis puisi…
Btw, akhirnya saya akan baca buku kalian dalam waktu dekat, yay! Buku itu terbang dari Jakarta ke Edinburgh dan sekarang sedang menunggu dikirim ke Leicester. I definitely can’t wait! 😀
Halo Dhieta! Semoga berada jauh darinya, akan membuat inspirasimu tambah berjubel lagi 😀
Tentang si buku biru, selamat membaca ya, semoga catatan-catatan kami juga mengingatkanmu akan kawan-kawan perjalanan terdekatmu 🙂
Ah…tulisanmu ini justru membuat aku kangen dan ingin pulang. Kegilaan Jakarta yang out of this world yet somehow comforting.
Andine! Kawan baru dan jauh yang lama-lama terasa makin dekat. Aku dan Maesy beberapa waktu lalu juga sempat ngomong Andine kapan pulang ya? Saat itu terjadi kita akan omong-omong dan minum teh mungkin sampai bergentong-gentong karena saking lamanya 😀
Pada suatu ketika mobil kami melambat karena lampu merah di perempatan Cempaka Putih. Sebelum kendaraan berhenti total, pedagang asongan sudah menyerbu jalan. Seorang di antaranya tak sengaja tersenggol kaca spion mobil kami, dan ia langsung murka. Sebelum saya sadar apa yang terjadi, ia sudah meludah ke kaca jendela dekat muka saya…
Kenangan jalanan Jakarta terbersit setelah baca postinganmu yang ini. Thanks for sharing, Ted! Btw salut juga atas effortnya motret dari atas ojek tapi komposisinya dapet banget 🙂
Terima kasih ya Gio, sudah ikut berbagi 🙂 Kenangan macam begini, semenyebalkan apapun saat terjadinya, di waktu yang lama sesudahnya malah bikin kita melankolis dan semacamnya ya?
Ah, saya pun merasakan bagaimana Jakarta yang tak bersahabat tetap saja menjadi rumah; tempat yang selalu saya rindukan untuk kembali.
Ngomong-ngomong, hebat banget bisa foto sebagus itu di atas ojek 😀
Hi Zelie, senang bisa bikin kamu ikut bernostalgia 🙂 Soal foto, sebetulnya itu pakai kamera HP saja, dan karena macet dan banyak diam, jadi bisa foto2 sedikit,hehe
Ketika sedang di Jakarta, rasanya ingin berjalan-jalan ke luar kota tiada henti tapi jika sedang di luar kota, rindu dengan Jakarta. Aku yakin yang mempunyai perasaan ini bukan hanya aku saja. 🙂
Iya, tentu banyak yang begitu. Minggu lalu saya pergi ke luar kota seminggu, saat pulang, saya pun kegirangan selayaknya anak yang baru pulang ke rumah. Terima kasih sudah mampir dan membaca ya, Deva 🙂
Tulisannya jelek.
Haha, Mumun jahat 😀
Saya pun jatuh cinta dengan jakarta. Padahal saya bukan warga jakarta. Tulisan yg keren, membuat saya kembali bernoatalgia perjalanan ke sudut2 jakarta,menteng,cikini,napak tilas proklamasi,napak tilas sumpah pemuda,weltevreden,passer baroe,jatinegara,marinda,kp.tugu,molenvliet,glodok,kota tua,nginep di museum dan jakarta historical race nya traveller kaskus…..
Jakarta emang gak ada habisnya jika kita bs melihatnya dr sisi yg berbeda….
Dan daftarnya bisa panjang tak kira-kira. Patung pancoran, bundaran HI, gang Potlot, lapo-lapo di Rawamangun, lapo-lapo di Senayan, taman Suropati, taman Langsat, Goethe, Muara Angke, Taman Puring, Pegawai kantoran yang terlihat sibuk, pegawai kantoran yang terlihat tidak sibuk, kondektur yang teriak-teriak, kondektur yang diam-diam saja, pengamen biola, pengamen yang tak punya alat, pedagang kopi sepeda, ibu-ibu berpakaian ramai, ibu-ibu berpakaian biasa, hari senin di Jakarta, hari Jumat di Jakarta, grafiti kolong jembatan, pedagang bakpao yang tiba-tiba muncul saat macet, ojek payung yang tiba-tiba muncul saat hujan, polisi yang mencegat di jalur 3 in 1, dan seterusnya.
Terima kasih sudah mampir ya Suci, senang bisa membuatmu bernostalgia 🙂
walaupun tak lahir di Jakarta, saya cinta Jakarta. ;D
bli teddy, tulisanmu makin menggemaskan!
Ah, Yuki. Terima kasih ya. Sampai jumpa sore nanti di Goethe. Selalu senang bertemu lagi denganmu dan pemuda Tama. Muda mudi yang bergolak. 🙂
Halo, ini kunjungan pertama saya ke blog ini dan langsung suka dengan gaya bahasanya. Kutipan paling jos: “Sebuah tempat yang indah akan menerbitkan kagum pada pengunjung karena kebaruannya, tapi pada satu titik ia akan diterima sebagai kewajaran. Tapi manusia-manusianya, kalau kau cari dengan mata terbuka, akan sanggup mengejutkanmu lagi dan lagi.”
Saya belum pernah bersentuhan dengan Jakarta sampai sekarang sih. Dari dulu pun selalu ngeri dengan gambaran tentang kota ini. Tapi memang dibalik segala keruwetan, kalau kita mau menyempatkan jeda untuk mengamati, saya kira memang selalu ada hal-hal manis yang bisa terselip di sana-sini. Saya kira di semua tempat juga begitu. 🙂
Hi Ronny, salam kenal, terima kasih ya sudah mampir dan membaca tulisan-tulisan kami.
Iya, seperti juga tempat lain, Jakarta pun selalu punya wajah yang menyenangkan. Berkabar ya soal penemuan-penemuanmu jika suatu hari Ronny akhirnya ke Jakarta juga 🙂
Mau bilang mulai menemukan kenikmatan Jakarta, tapi tinggalnya di Tangerang. Ke Jakarta cuman pas akhir pekan. -_-
Tulisannya cakep seperti biasa, Om Twosocks.
Haha Tangerang Jakarta saudara dekatlah 😀 Senang Sabtu lalu akhirnya ketemu di POST. Lain kali semoga bisa ngobrol lebih banyak. Terima kasih sudah mampir ya
sebetulnya, jakarta tdk sekejam bayangan saya. setidaknya setelah 4 tahun di sini.
Iya, selalu ada yang manis di antara hal-hal yang kacau balau itu.
Hai mas Tedi, ini tulisan pertama di blog ini yang aku baca. Dan serius, ini tulisan indah yang mengajak saya berefleksi tentang Jakarta. Dibalik kegilaannya yang rentan membuat pendek usia penduduknya, Jakarta memiliki kekuatan magis untuk membuat kita terus bertahan. Ada secuil dua cuil banyak cuil tentang Jakarta yang sepatutnya disyukuri dan dicintai. Nice writing style btw, aku suka!!!
http://www.vericaicha.com
sendokransel.wordpress.com
☺
Hi Cha, terima kasih ya sudah membaca tulisanku. Senang mengetahui kamu menyukainya. Semoga berjumpa lagi di lain waktu ya, sehingga kita bisa omong-omong lebih banyak.
Iya, enggak nyangka tulisannya bisa sebagus dan sereflektif ini. Hehe, semacam ada unsur sastra di dalamnya. Semoga ada lain waktu untuk bersua dan berbincang. Keep posting!
Waw. Gaya penulisan yang renyah. Enak banget bacanya. Saya suka.
Halo Iyos, salam kenal. Terima kasih ya sudah membaca tulisan kami 🙂