Hubungan saya dengan Yogyakarta bisa dikatakan naik turun. Pertemuan awal terjadi lebih dari dua puluh tahun lalu. Saat itu saya anak tengik yang berjongkok kagum di emperan Malioboro melihat pelukis jalanan yang sedang membuat sketsa wajah ayah saya. Itu pertama kali saya melihat langsung pelukis wajah. Lirak lirik, goras gores, jadi! Hebat sekali. Walau tidak mirip benar, saya tetap takjub. Buktinya, hingga sekarang wajah ajik (sebutan ayah di Bali) yang terlalu kurus dan sedikit miring di sana sini itu masih terbingkai rapi di rumah di Bali. Itu juga masa awal saya mendengar beberapa kisah kerajaan selain kisah dunia pewayangan yang memenuhi masa-masa kecil dahulu. Walau agak samar, di sana pertama kali saya mendengar dari ajik soal bagaimana kesultanan Yogyakarta menjadi bagian penting dari berdirinya republik ini. Di sana saya menjadi bagian dari barisan yang memandang segan sekaligus haru pria-pria tua yang menjadi pasukan kerajaan keraton. Kawan saya Najib menyebut mereka, soldiers of past glories. Sebutan yang penuh cerita.
Kekaguman atas kebersahajaan kota ini sedikit terganggu dalam sebuah kunjungan di awal masa kuliah. Saat itu saya menghabiskan malam dengan duduk di angkringan bersama beberapa aktivis dan pemain teater mahasiswa Yogyakarta. Diperkenalkan sebagai mahasiswa dari Jakarta ternyata tidak membuat malam saya begitu nyaman. Beberapa dari mereka mulai berbicara kepada saya dengan logat betawi yang dibuat-buat dan dengan nada yang sedikit merendahkan. Setiap saat mereka seolah menyampaikan bahwa mahasiswa Jakarta adalah mereka yang sok kota dan mengadu pada orang tua saat kesulitan hidup datang. Bahkan sampai beberapa saat kemudian ketika mereka mendengar logat Bali saya yang masih kental. Mahasiswa Yogyakarta dikenal sebagai mahasiswa yang pintar tetapi sederhana, tidak mengutamakan penampilan luar, dan merakyat. Namun saat itu untuk pertama kalinya saya menemukan bahwa untuk beberapa orang kesederhanaan adalah identitas yang juga merupakan strata sosial. Terkadang menjadi sederhana dan menggembel ternyata bisa merupakan label yang memberi legitimasi untuk merendahkan orang lain. Malam itu tidak terlalu menyenangkan.
Namun di atas semuanya, Yogyakarta tetap adalah kota dengan sejarah tradisi yang kuat yang menciptakan wibawa di setiap sudutnya. Berjalanlah di sepanjang jalannya, jalan utama maupun gang-gang pemukiman, kenali orangnya, dengarkan kisah-kisahnya, maka tak mungkin kita tak menaruh hormat padanya. Kota Yogyakarta juga selalu dipenuhi mahasiswa. Pemuda-pemuda dengan mimpi dan kebebasan tak terbatas. Selalu menyenangkan melihat mereka duduk di sana sini, di ruang-ruang terbuka kotanya, berbicara, berdiskusi, berpacaran, membaca, tergelak. Ia kota yang juga romantis.
Minggu lalu saya menikmati pertemanan di kota ini. Tanpa direncanakan saya berada di kota yang sama dengan dua kawan lama, Bram dan Arip. Pertemuan yang tak direncanakan. Kami memutuskan menghabiskan malam bersama-sama, berjalan kesana kemari, berbicara-bicara. Bercerita tentang banyak soal, masa lalu, petualangan Bram, keresahan Arip, hal-hal penting, hal-hal remeh. Makan gudeg, minum ronde, makan jagung rebus. Saya bercerita tentang para peternak kambing di Magelang yang saya temui siang hari sebelumnya. Bram bercerita tentang hal-hal yang dihadapi yayasan anak wayang, LSM yang ia gagas di Belanda sana. Lalu Arip yang mengajak kami mengenang masa-masa awal kami berteman belasan tahun lalu. Masa-masa yang penuh tenaga. Kami berbicara, berjalan, dan sesekali berhenti untuk minum teh atau ronde dan mendengarkan para pengamen yang menciptakan suasana khas Yogyakarta. Tembang tak henti mengalir, mulai dari lagu-lagu campur sari yang kadang manis kadang nyeleneh, lagu-lagu tua John Denver, sampai lagu sepanjang masa, Fly me to the moon. Ada kendang, ada ukulele. Ada pengamen tua, ada pengamen muda. Rangkaian kesenian diakhiri oleh Arip yang bergabung bersama para pengamen di alun-alun dan ikut menyanyi suka-suka.
Bersama waktu, kami adalah anak-anak yang mulai tumbuh dewasa dan berumur. Perlahan kami mulai berjalan sendiri-sendiri, dalam hidup masing-masing. Bahkan untuk Bram, ia memulainya jauh sebelum kami. Karena itulah, bertemu kembali di saat yang tidak terduga di tempat yang bersahaja seperti Yogyakarta sungguh sebuah momen berharga. Dan saya yakin, malam itu di depan benteng Vredeburg, bukan hanya spesial untuk kami. Kami sempat berkenalan dengan pasangan yang sedang menghabiskan malam terakhir pertemuan mereka di Yogyakarta. Si perempuan kuliah di Yogyakarta sementara si pria akan berangkat keesokan paginya untuk bertugas di Lampung. Mereka memutuskan menghabiskan malam terakhir mereka dengan duduk-duduk di jalanan depan benteng tua itu. Keesokan paginya, saat si pria berjalan ke terminal, atau saat si perempuan berjalan ke kampus, mereka pasti terkenang akan malam terakhirnya, lalu senyum-senyum sendiri. Di ujung perempatan, kami juga melihat sekumpulan mahasiswa yang sedang berkumpul dan tergelak-gelak. Juga beberapa anak berdandan punk yang saling bercanda. Sungguh bebas dan bahagia. Bertahun tahun dari sekarang, tentu mereka akan mengenang malam-malam seperti ini dan menjadi melankolis. Malam yang bahagia.
Dan kami masih berjalan, melihat-lihat, omong-omong, sampai akhirnya tak tahan oleh kantuk dan kembali ke penginapan. Bagaikan babi besar, Arip tidur membabi buta. Bram yang malang, ia tak berdaya meringkuk di pojokan. Pemandangan langka yang membahagiakan. Sebenarnya saat itu belum terlalu pagi di Yogyakarta, mungkin baru pukul dua. Tukang ronde masih berjaga, pemuda-pemuda masih bercanda, kehidupan masih berjalan. Ah sudahlah, sudah saya katakan tadi, perlahan kami mulai tua.
Twosocks, Oktober 2011
jogyakarta mempunyai cerita menarik.. kebanyakan kenangan saya berada di Solo, namun juga juga mempunyai cerita cerita yg unik bagi saya.
kenangan di yogyakarta cuma satu, tapi sangat berkesan…
mm belum pernah kejogja niie,,
huuuh 😦
Jadi kangen sama jogja. Jogja menurut saya adalah kota paling nyaman se-indonesia. Jogja adalah kepingan puzzle yang menyempurnakan indonesia, dengan budaya dan keramahan penduduknya jogja memang top abis.
salam cinta indonesia.
Semalem aku baru tiba dari sana. Tapi cara “penuturan”-mu memang sialan, Ted!!! Seumur-umur hidup di sana,, aku belum pernah menggembel secara “melankolis” seperti yang kalian lakukan malam itu… Jadi pengen pulang lagi 😦
Haha mungkin aku yang kadang kelewat melo. But seriously, Yogyakarta memang ramah untuk mereka yg sedang agak melankolis. You have a warm hometown there, Ket! 🙂
Mampir ke sini gegara mau ke Jogja, jadi pengen bisa menikmati Jogja seperti ini. Btw, yeah, Fly me to the Moon, sama, masih kesukaan sampai saat ini, baik dinyanyi2in kecil atau hanya dengerin si om Frank Sinatra nyanyi. 🙂
waah Maesy kebetulan juga sedang di Yogya. Selamat berjalan-jalan di Jogya ya. Senang tentu.
I do not even understand how I finished up right
here, however I thought this submit was once great.
I don’t realize who you’re however certainly you are going
to a famous blogger in the event you aren’t already. Cheers!