comments 24

Empat Hari di Portibi Farm

“Lihat! Aku baru memetik kacang tanah. Ini enak buat kalian makan mentah-mentah. “ kata Daniel, pria gundul brewok kenalan baru kami.

Ia benar, kacang tanah yang biasanya kami makan setelah direbus atau digoreng itu ternyata enak juga dimakan mentah-mentah.

Tak lama, Jocean muncul membawa segenggam tanaman di tangan kiri dan golok di tangan kanan. “Selada Romaine ini baru kupetik buat makan malam kalian. Ini, cobalah sedikit.”

Ia mengambil sebagian daun dan memberikannya ke Gypsytoes yang langsung memakannya bagai anak kelinci. Jocean juga membawa bunga selada Romaine. Ternyata bila kuncup bunga ini dibuka, akan tampak butiran-butiran hitam kecil yang merupakan bibitnya. Jocean berencana menanam sebagian bibit dalam bunga yang dipetiknya itu di sebidang tanah lain yang masih kosong.

Empat hari itu Gypsytoes dan saya menginap di Portibi Farm, sebuah perkebunan sayur organik di wilayah Cicurug, Sukabumi. Kami berkeinginan untuk menghabiskan beberapa waktu di bulan Desember ini di sebuah tempat yang sejuk, berudara bersih, serta menenangkan untuk sekadar melamun dan menulis. Dan di sinilah kami, bangun tidur di teras kayu sambil minum kopi dan memandangi perkebunan sayur. Gunung Salak juga tampak di kejauhan.

Pertama kali melihat desain komplek pemondokan di perkebunan ini, kami langsung menyukainya. Bahan kayunya yang sejuk, jendela yang besar, langit-langit yang tinggi, berbagai teras dengan bangku-bangku kayu, interior yang memadukan unsur tradisional Jawa seperti gamelan atau topeng wayang orang dengan dekorasi retro seperti foto Paul Simon muda atau pemutar piringan hitam yang memainkan lagu-lagu lama David Bowie hingga Emilia Contessa. Disinilah kami menghabiskan empat hari dengan menulis, makan makanan sehat, memetik sayuran, mendengar lagu tua, bermain di kebun, dan berbicara kesana kemari.

Jocean, sang pemilik perkebunan, adalah penggiat sustainable farming dan penggemar makanan sehat. Ia menanam sayuran organik dan tak henti mengajak semua orang untuk kembali ke bagaimana dahulu para tetua kita makan saat segala pupuk kimia dan pestisida belum ditemukan.

Jocean, pria Amerika Serikat yang hangat ini, mulai jatuh cinta pada Indonesia dua puluh tahun lalu saat ia adalah siswa pertukaran di sini. Sembilan tahun lalu ia memutuskan untuk menjadikan Indonesia rumah untuknya dan melakukan hal yang begitu ia cintai, berkebun. Bersama keluarga angkatnya ia mengolah sebidang tanah di Cicurug dan memulai perkebunan organiknya. Idealismenya mengenai sustainable farming dan kehidupan yang sehat juga memberi peruntungan yang baik untuknya. Bersama petani-petani setempat ia bekerjasama untuk semakin mengembangkan perkebunan organik di wilayah itu.

Selain menyukai udara sejuk dan ketenangan penginapannya, Gypsytoes dan saya begitu menyukai keseharian di sana. Jocean membiarkan kami memetik sendiri bahan salad kami di kebunnya. Kami memetik daun basil, arugula, parsley, rocket, ketumbar, dan singkong. Nama-nama sayuran yang sebagian besar sama sekali tidak saya kenali. Gypsytoes berusaha memberi penjelasan yang mana bernama sayur apa. Tentu saya mengangguk-ngangguk dan segera melupakannya. Saya sudah cukup senang dengan udara segar, tanah basah, bau daun-daunan, dan kegiatan memetik kesana kemari. Semua hal sepertinya bisa dipetik dan dimakan begitu saja. Bahkan kami menemukan buah markisa yang langsung kami petik dan makan di tempat.

Kami pun senang melihat bagaimana makanan itu dibuat. Saat Jocean dan Ayu, sang istri, membuat dressing salad dari markisa dan minyak zaitun, orek tempe dengan kacang mete dan rempah-rempah segar, atau bahkan memanggang kalkun menjelang Natal. Mereka tampak sangat mencintai makanan sehat dan bahagia dalam proses membuatnya.

Pada sebuah sore Jocean berkata pada saya bahwa ia hendak membuat roti untuk malam itu. Dengan ringan ia bertanya apakah kami mau ia ajari membuat roti sendiri. Tawaran yang disanggupi dengan antusiasme meluap. Maka kami pun mencampur tepung, ragi, garam, bubuk kayu manis, ubi manis, dan menguleninya dengan tangan sendiri. Saat malam tiba kami dengan bangga mempersembahkan kepada semua warga perkebunan roti gandum kayu manis buatan Gypsytoes dan roti nasi jinten buatan saya. Semua orang memuji dan memakannya dengan lahap. Saya tertawa berpuas diri. Tentu tak seorang pun saya beritahu bahwa saya tak ingat sedikitpun bagaimana cara membuat roti-roti sialan itu.

Namun di atas semuanya, saat-saat semua orang berkumpul di meja dan makan bersama adalah favorit kami. Selalu tercipta percakapan menyenangkan dengan kawan-kawan baru yang kami temui di sini. Kisah Jocean dan bagaimana ia memulai perkebunan ini, atau penjelasannya mengenai berbagai dedaunan yang tak pernah saya kenali, selalu menjadi bagian yang menarik. Bersama waktu, bersama alunan musik dari piringan hitamnya, percakapan juga mengalir kesana kemari.

Di satu masa Jocean berkisah tentang ketidaksukaannya pada para hipster dan kehidupan superfisialnya. Tentu saya menyelanya,
“Tapi lihatlah dirimu, namamu Jocean, kau hanya memakan makanan organik yang kau tanam sendiri, kau bisa membuat bir-mu sendiri, kau mendengarkan musikmu dari vinyl-vinyl itu, janggutmu kau biarkan sedemikian rupa, dan kau menamai bar mu “Pacifist Cannibal”. Oh, dan kau benci jika disebut hipster. Kaulah hipster sejati.”

Semua tertawa mengangguk-ngangguk. Jocean pun tersenyum-senyum masam sambil mengibas-ngibaskan jari tengahnya ke arah saya.

Disini pun kami berkenalan dengan Daniel dan Duree, dua orang pejalan yang tiga minggu belakangan menjadi pekerja suka rela di perkebunan Jocean.

“ Telah delapan bulan aku berjalan,” begitu kata Daniel. “Aku berkeliling di beberapa negara Asia tenggara, Korea Selatan, dan India. Melakukan apapun yang dilakukan para turis. Berenang, mengambil foto-foto, menggelapkan kulit, mengikuti upacara tradisional, dan lainnya. Sampai kemudian aku ingin melakukan hobi lamaku, berkebun. Jadilah aku disini, bantu-bantu sukarela di perkebunan. Lumayan, aku bisa berkebun dan mendapat penginapan cuma-cuma.”

Daniel adalah seorang desainer grafis di San Fransisco. Setahun lalu ia memutuskan menjual perusahaannya dan mulai berkelana. Untuk waktu yang tidak ia tentukan ia akan berjalan dan menjadi designer freelance saja. Ia berkisah betapa ia menyukai berkebun dan membuat hal-hal dengan tangannya. Ia pun membuktikannya pada sebuah malam saat ia membuatkan kami secangkir hot toddy, minuman campuran cengkeh dan jeruk di dalam rum, teh panas, serta gula aren. Ia namakan minuman kreasinya itu “Petang Toddy” setelah ia bertanya apakah bahasa Indonesia untuk sore menjelang malam. “Petang Toddy” buatannya enak sekali.

Sementara Duree, perempuan Korea yang manis sekali, dulu bekerja untuk sebuah LSM pertanian di Korea Selatan. Kami bercerita bagaimana ia dulu ikut mengorganisir petani-petani di pedesaan Korea untuk bisa memiliki akses pasar yang lebih baik. Juga bagaimana ia bertemu Daniel, sang pengelana, jatuh cinta dan memutuskan ikut berkelana bersamanya. Tiga minggu ini, setiap hari bangun pagi bersama Daniel, dan mulai berkebun membuat wajah Doree selalu tampak berseri-seri. Kami pun terus berbicara kesana-kemari mengenai kisah-kisah perjalanan.

Suasana meja makan yang dipenuhi makanan lezat hasil karya sendiri, dengan pemandangan perkebunan yang sejuk dan hijau, dan orang-orang yang hangat membuat semua merasa nyaman. Bahkan Howie, putera Jocean yang berusia enam tahun pun bisa melibatkan dirinya dengan baik.

”Ayah, apakah pantatku ini besar sekali?“ adalah kalimat pertama yang dilontarkan Howie malam itu di meja makan.

Gypsytoes dan saya langsung menyukai Howie.

Beberapa saat kemudian, saat pembicaraan berkisar mengenai musik, saya bertanya kepada Howie apakah ia menyukai Justin Bieber. Reaksinya mengejutkan sekali, Ia mulai meringis lalu berlari berkeliling ruangan sambil berteriak-teriak entah apa. Saya bingung apakah ini ada hubungannya dengan pertanyaan saya, jadi saya menanyainya lagi. Ia kembali meringis, berteriak-teriak dan berlari keliling. Saat kembali ke meja akhirnya ia berkata pada saya,

“Kau jangan menanyaiku soal itu lagi,” pinta Howie.
“Kenapa? Apa kau begitu membencinya?” tanya saya sedikit bingung.
“Tidak, aku justru menyukai Justin Bieber. Tapi itu terlalu memalukan,” kata bocah enam tahun ini.

Sejak saat itu, Howie menjadi teman setia kami. Hari-hari berikutnya saya beberapa kali menghabiskan waktu bermain bersamanya. Bermain Twister, monopoli, ataupun karambol. Kami sempat berkolaborasi menciptakan dan menggambar tokoh pahlawan super kami bersama, namanya Chicken Man, tokoh super organik dengan senjata pisau bulu dan telur busuk. Semua berkat imajinasi Howie yang kemana-mana. Gypsytoes pun sempat menceritakannya dongeng gadis bertudung merah padanya. Kisah dongeng yang cukup menyeramkan yang membuat si kecil Howie mulai meringis-ringis ketakutan.

Empat hari di perkebunan Portibi itu begitu berkesan untuk Gypsytoes dan saya. Kami menulis dengan produktif, kami makan makanan sehat, kami trekking ke hutan dan berenang di air terjun, kami menghirup udara segar, kami membuat roti sendiri, kami bertemu orang-orang yang hangat dan menyenangkan. Gypsytoes berkata bahwa kunjungan kami kesini menimbulkan perasaan seperti menginap di vila seorang kawan dengan keluarga yang begitu hangat.

Sore terakhir saat kereta menjauhi Cicurug dan kami melambai pada Jocean dan Howie, Gypsytoes dan saya tahu bahwa ini akan menjadi tempat yang akan kami kunjungi kembali.

Twosocks

PS: Selamat Natal untuk teman-teman yang merayakan, dan selamat berlibur untuk semuanya 🙂

24 Comments

  1. Anonymous

    aduh pengen ke sana??? semoga kalau udah disana bisa dapat pengalaman menarik dan juga duduk nikmati kopi hangat di teras atas….. su trada kata2….
    WOW…….

  2. ahhh….asri banget. Aku paling suka stay di farm atau perkebunan yang jauh dari kota. Sooo peaceful 🙂
    Btw salam kenal ya

    • Hai DebbZie, salam kenal juga! Ini kali pertama kami berlibur ke perkebunan dan kami setuju banget sama kamu. It really was sooo peaceful! 🙂

  3. Pingback: Dream Explore Wander: 10 Perfect Hideaway Spots

  4. Pingback: Play & Write: Travel Writing Class with Agustinus Wibowo | ibupenyu

  5. Pingback: Memori | The Dusty Sneakers

  6. Pingback: The Blue Book Travels Too | The Dusty Sneakers

  7. Pingback: Play & Write: Travel Writing Class with Agustinus Wibowo | YBS Magazine

Leave a comment