Pengeras suara mengumandangkan penundaan keberangkatan pesawat. Itu artinya saya masih harus berada di ruang tunggu ini paling tidak satu jam ke depan. Sebenarnya saya bersungut-sungut juga. Ini adalah hari libur dan saya harus melakukan perjalanan ke luar kota untuk sebuah pekerjaan. Tidak, saya tidak membenci pekerjaan sehari-hari saya, saya mencintainya malah. Namun, saat saya meninggalkan Jakarta tadi, Gypsytoes sedang menghabiskan siang dengan salah satu cara terbaik untuk menikmati libur di kota yang berpeluh itu. Bersantai dengan bacaan, kopi, dan bincang-bincang hangat dengan beberapa teman dekat. Kehilangan kesempatan bersantai semacam itu untuk duduk sendiri di Bandara yang bising tentu sedikit banyak membuat gusar juga.
Saya menelepon Gypsytoes untuk sekadar berkeluh kesah, tapi ia menghardik agar saya tidak berlaku cengeng. Sejak kapan kau gusar jika harus melamun-lamun saja sendiri? begitu kurang lebih katanya.
“Lagi pula, kau ingat obrolan kita semalam? Tentang betapa belakangan kita kerap punya akhir pekan yang dipenuhi hal baru yang menarik? Sekali waktu, bekerja di akhir pekan seharusnya tak mengapa.” Tambahnya berlagak bijaksana.
Ini adalah salah satu momen itu. Momen di mana ia mengatakan hal-hal yang masuk akal, dan ia tahu bahwa saya tahu apa yang ia katakan adalah masuk akal. Di saat seperti ini Ia sengaja membuat nada suaranya sedikit jumawa hanya untuk menggoda saya. Tapi sudahlah, anak itu memang ada benarnya. Saya pun terkenang betapa sejak memutuskan untuk lebih rajin menulis di sini, hal-hal baru kerap mengisi hari libur atau akhir pekan kami. Beberapa adalah hal menarik yang memberi ruang untuk petualangan kreatif kami.
Di salah satu akhir pekan yang tenang kami menyelesaikan perjalanan panjang menulis manuskrip buku pertama kami. Sebuah memoar perjalanan saat Gypsytoes bertualang di Eropa dan saya di sudut Nusantara. Catatan tentang bagaimana kami saling menulis untuk tetap terhubung satu sama lain. Proses menulisnya akan saya kenang sebagai perjalanan menyenangkan yang sekaligus mendekatkan kami. Ia adalah deretan akhir pekan yang diisi menulis bersama, bincang-bincang, bergelas-gelas teh dan kopi, dan saling berkenang. Tentang pertemanan, perjalanan, kemanusiaan-kemanusiaan di sekitar, dan banyak lagi. Akhir kuartal ketiga tahun ini, saat buku itu betul-betul akan terbit, mungkin kami akan ketakutan setengah mati. Namun untuk sekarang, kami menikmati saja hari-hari girang saat menulis dan menyelesaikan “Kisah Kawan Di Ujung Sana”, begitu kami menyebutnya.
Banyak akhir pekan juga memperkenalkan kami pada kawan-kawan baru yang hangat. Saya jadi lebih mengenal anak-anak muda bergelora di Pamflet saat bersama-sama melakukan Tur Kartini. Kami juga berkenalan dan berteman dengan duo perempuan pejalan Indohoy yang selalu bersemangat menjelajah, menulis, dan berteman. Bahkan, salah satu dari mereka ternyata adalah tetangga kami. Maka kami pun menikmati saling bertandang untuk sekadar minum teh atau bertukar bacaan.
Sebuah bacaan akhir pekan apik berjudul nan indah “Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya” ternyata membawa perkenalan dengan Michel, penulisnya yang begitu belia dan cekatan. Novel apiknya ia selesaikan hanya melalui hari-hari menulis tanpa tidur selama belasan hari saja. Kebeliaannya membuat saya iri juga. Suatu kali saya katakan padanya, tanda-tanda penuaan awal adalah saat bintang sepak bola kesukaanmu berusia lebih muda darimu. Tanda-tanda penuaan tingkat lanjut adalah saat penulis kesukaanmu lebih muda darimu sepuluh tahun lebih. Tak lama untuk kami merasa dekat dengannya. Ia anak muda yang ramah, penolong, gemar berpikir, dan memiliki tutur bahasa yang santun. Saat Gypsytoes di Yogyakarta untuk sebuah urusan, Michel membawanya putar-putar termasuk menculiknya pagi-pagi buta untuk mencari sebuah mata air alami di sudut Yogyakarta.
Michel pun memperkenalkan kami dengan Mas Yusi, seorang penulis senior yang belakangan saya kagumi betul. Perkenalan dengan Mas Yusi pun terjadi dengan bersahaja, Ia mengundang kami ke acara sunatan putra keduanya. Ia katakan ia punya banyak sekali makanan enak dan bersedia dimarahi jika ternyata sajiannya tidak terbukti nikmat. Sang penulis juga ternyata seorang yang hangat. Dua pekan sesudah acara sunatan itu, kami menghabiskan lebih dari lima jam bersamanya di kedai kopi berbincang kesana kemari, atau dalam istilahnya, berbual-bual. Tentang kepenulisan, keluarga, ugal-ugalan masa muda, pertemanan, cinta, dan banyak lagi. Kami langsung menyukainya. Ia tentu seorang yang jauh lebih berpengalaman dan bijaksana dibandingkan kami, namun tak sedikitpun ia berkesan menggurui. Itu adalah perbincangan yang hangat dan setara.
Betul juga si Gypsytoes yang penuh lagak itu, akhir-akhir ini banyak hal di sekitar yang merangsang kami untuk lebih menyalurkan sisi kreatif kami. Saya bahkan iseng mulai belajar menulis cerita pendek. Sekarang saya sedang menulis kisah seorang gadis yang sedang gundah di hari terakhirnya di Jakarta. Tak akan lagi ia melihat kota yang mengisi masa kanak-kanaknya yang penuh rasa ingin tahu dan masa remajanya yang begitu menggebu. Ini adalah kota yang sontoloyo tak ketulungan, tetapi di sini pula harapan baru selalu muncul. Saat Soeharto terjatuhkan, ia berada bersama para pemuda dengan semangat menyala-nyala dan penuh harapan itu. Harapannya pun ikut redup saat melihat bagaimana “Indonesia baru”-nya banyak membawa kecewa. Ia bersemangat saat tiang monorel terpancang, dan ikut bersedih saat mereka hanya teronggok letih. Harapan muncul, untuk pupus, untuk muncul lagi. Begitu terus. Bukankah tidak ada yang lebih indah dari harapan-harapan? Begitu suatu kali ia berkata. Saya belum tahu akan ke mana kisah ini saya bawa, dan kualitasnya tentu masih jauh sekali dari matang. Namun, mencobanya saja untuk saya sudah sangat menyenangkan.
Dan panggilan untuk masuk pesawat berdengung.
Penumpang yang tak sabar sudah bergegas mengantri menuju pintu masuk pesawat. Ini hari yang membludak. Sebaiknya saya pun menghentikan dulu catatan ini dan bergegas. Hari libur ini akan diisi dengan berpindah dari satu pesawat ke pesawat lain saja, tetapi seperti yang sudah-sudah, akhir pekan di Jakarta masih akan berderet-deret. Hal-hal menarik masih akan selalu terjadi. Jika tidak, Gypsytoes akan saya marahi.
Twosocks
Kadang saya sering lupa bahwa banyak hal kecil yang bisa membuat saya bahagia. Alangkah lucunya untuk menyadari bagaimana saya kerap berfokus pada energi negatif, pada beratnya tiap masalah yang tak kunjung usai. Memang benar, tidak boleh cengeng.
Hola Sefiiin sang penyelamat hiu!! senang bisa bikin kamu ikut berefleksi 🙂
Mejanya koq lucu bgt gitu hihi
Haha Iya, cocok untuk ketawa-ketawa bersama 😀
Banyak banget hal2 kecil yg kita keluhkan, delay 1 jam bikin murka tp kalo kita ikhlas syukuri pasti nikmat. Memperhatikan orang lalu lalang itu makin memperkaya hati hehehe
Ah, Bung Cumi bijaksana sekali
Sebuah narasi yang kontemplatif.
Mungkin karena dibaca sedikit lewat tengah malam? haha
Ditunggu bukunya, Kak..
Terima kasih atas ucapan penyemangatnya, Wisnuu 🙂
kapan kak bukunya keluar?
ga sabar, hehe
Semoga menjelang akhir kuartal ketiga tahun ini. Sekarang kami sedang berdebar-debar hehe
Petualangan yang kreatiff…
Hola Tiarani! Mudah2an masih akan terus berderet2 🙂
kalo penulis surat panjang tentang jarak kita yang jutaan tahun cahaya sampe ga tidur nulisnya, yang baca pun demikian adanya, hampir saja niat ga tidur untuk menyelesaikannya, untungnya masih inget bahwa keesokan harinya kudu ngantor jadi buku itu disimpan untuk esok hari.
dan, benar sekali ketika melihat tahun dimana penulisnya lahir, ya, Tuhan, saya tua! hahaha
Michel sekarang sedang mulai menulis buku berikutnya, “Obituari Omi”, sepertinya akan indah juga. Mari sama2 menunggu, Bung Dansapar di Riau, kami di Jakarta.
thanks sob untuk postingannya…
article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
maju terus dan sukses selalu…
salam kenal yach…
kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
http://chaniaj.blogspot.com/