comment 0

Dari Sebuah Sudut Kamar di Jepara

Empat tahun dalam pingitan.

Sebagai anak yang terlahir dalam dekade 80-an, membayangkan berada dalam kungkungan tembok rumah tanpa sekali pun diperkenankan keluar sungguh berat rasanya. Satu minggu saja rasanya tak tertahankan.  Kartini harus menjalankannya selama enam tahun, mengerikan sekali.

Kami memulai Tur Kartini di ujung selatan rumah dinas Bupati Jepara, rumah masa kecil Kartini. Walau bukan tempat yang biasa dijadikan tempat wisata, Bupati Jepara membuka pintunya bagi pengunjung. Di sana pengunjung bisa melihat tempat Kartini dulu mendirikan sekolah untuk gadis pribumi dan tempat ia menuliskan surat-surat yang membuat namanya mendunia. Kami sudah pernah melihat foto-foto kamar tidur Kartini dan beranda tempatnya mengajar di salah satu buku referensi Tur Kartini, namun benar-benar berada langsung di sana tak pelak membuat saya merinding.

The Dusty Sneakers - Tur Kartini 1

Bayangan-bayangan Kartini kecil melesat di kepala saat saya melihat meja tulis dari kayu jati yang menghadap tembok di kamarnya. Saya membayangkan Kartini usia sepuluh tahun sedang tekun menggarap pekerjaan rumah dari Europhesche Lagere School, walau biasanya ia sibuk meloncat-loncat dan terbahak-bahak. Kebiasaan yang membuatnya dijuluki kuda kore di rumah. Terbayang Kartini menangis pilu, kepalanya tertumpu di atas meja dan bahunya terguncang-guncang, ketika melihat adik-adiknya pergi ke sekolah sementara ia gagal melanjutkan sekolah ke Semarang karena terjebak dalam pingitan di usia dua belas setengah tahun. Kemudian, Kartini yang sudah lelah menangis dan bertekad bangkit dari keputusasaan, duduk tegak dan membaca bertumpuk-tumpuk buku, majalah, dan koran dari leestrommel, kotak bacaan ayahnya.

Sejak pertama kali membaca Habis Gelap Terbitlah Terang di sekolah menengah dulu, saya bisa menghayati kenapa Kartini menyebut masa pingitannya “seolah hidup dalam neraka”. Saya dulu tidak habis pikir dengan keputusan ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat, untuk memaksakan pingitan. Bukankah ayah yang begitu menyayangi putrinya tidak akan ragu mendobrak tradisi demi kemajuan dan kebahagiaan anak secerdas Kartini?

Baru setelah membaca referensi Tur Kartini saya bisa melihat bahwa ayahnya dihinggapi rasa bersalah. Ia pelan-pelan melunak. Ia ajak Kartini menghadiri acara pembaptisan gereja baru di Kedungpenjalin. Itulah pertama kalinya Kartini melihat dunia luar setelah empat tahun hanya menginjakkan kaki hingga serambi rumah. Sang ayah menuruti saran sahabat-sahabat Belanda-nya yang terkesan akan kecerdasan Kartini untuk membiarkan putrinya berlangganan majalah-majalah terbitan Belanda. Salah satunya De Hollandsche Lelie, majalah yang akhirnya menjadi tempat Kartini memasang iklan mencari sahabat pena. Melaluinya Kartini berkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelar, nama yang begitu familiar di halaman-halaman Habis Gelap Terbitlah Terang. Akhirnya, sang Ayah mengakhiri masa pingitan Kartini walau belum ada laki-laki yang melamarnya. Setelah enam tahun, Kartini serta kedua adiknya diajak menghadiri upacara penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang sebagai pertanda berakhirnya pingitan. Dengan caranya sendiri, Raden Mas Sosrodiningrat pun bergulat dengan tradisi Jawa.

Setelah lepas dari pingitan, Kartini semakin giat menulis. Bersama Kardinah dan Roekmini, ia menulis tentang isu sosial dan budaya untuk De Locomotief, harian terbesar di Hindia Belanda saat itu. Mereka menggunakan nama samaran Tiga Saudara dalam tulisan-tulisannya. Kartini juga menulis artikel tentang seni batik, yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1899.

Tur Kartini - 2

Meski demikian, waktu Kartini tidak hanya dihabiskan di balik meja belajar. Bersama Roekmini dan Kardinah, ia sibuk menjalankan cita-cita yang mereka bertiga bangun selama terkungkung di rumah. Ketiga saudari memanfaatkan koneksi ayah mereka untuk mempromosikan seni ukir Jepara dan meningkatkan kesejahteraan para pengrajin yang selama ini dibayar rendah. Kardinah dan Roekmini menyurati kawan-kawan mereka untuk menawarkan mebel dengan mode terbaru, lalu mengurus pemesanan kepada pengrajin dan melakukan pengiriman ke Batavia, Demak, Semarang, bahkan juga ke Belanda dan Jerman. Kartini turun tangan mendesain berbagai motif ukir, termasuk motif macan kurung yang kemudian menjadi ikon kota Jepara. Berkat upaya mereka, pesanan membanjir.

Terlepas dari kesibukan mereka menulis dan bekerja dengan pengrajin, ketiga saudari tetap merintis cita-cita utama mereka: memulai sekolah untuk gadis pribumi. Pada bulan Juni 1903, Kartini menerima siswi pertamanya. Selama empat hari dalam seminggu, dari pukul 8.00 hingga 12.30 siang, mereka mengumpulkan siswa-siswanya di beranda tempat mereka dulu belajar membatik dan mengaji. Selain membaca, menulis, menggambar, dan budi pekerti, murid-murid juga diajari merenda, memasak, menjahit, dan kerajinan tangan lainnya. Kartini menganggap bahwa keterampilan praktis penting untuk diajarkan, agar para siswi kelak mampu membiayai dirinya sendiri bila diperlukan. Sambil mengajar, Kartini pun memupuk cita-citanya sendiri untuk melanjutkan pendidikan keguruan.

Tur Kartini - 1

“Kartini bagaikan terbang setelah lepas dari pingitan,” saya bergumam saat kami beranjak ke beranda tempat sekolah Kartini dulu dilaksanakan. Beranda itu kini penuh dengan puluhan kursi yang disusun berderet-deret, menghadap ke sebuah meja besar dengan tiga kursi di baliknya. Menurut informasi dari salah satu staf, beranda ini kini sering digunakan untuk rapat PKK atau Dharma Wanita.

“Namun nasibnya sungguh malang,” bisik Twosocks. “Tak henti situasi di sekitar menekan segala idealismenya. Ia terpaksa batal bersekolah ke Belanda dan Batavia. Lima bulan setelah sekolahnya di Jepara berdiri, Ia harus pula menikah dengan Bupati Rembang yang usianya dua kali lipat umur Kartini. Satu tahun kemudian, ia meninggal.”

Kami semua terdiam. Nasib Kartini memang malang, namun sepertinya terlalu muram bila kami meninggalkan rumah masa kecilnya dengan mengenang kemalangan Kartini. Seolah membaca pikiran saya, Afra bertanya, “Seperti apa ya sepak terjang Kartini bila ia jadi bersekolah ke Belanda lalu meninggal di usia tua?”

“Oh, dia pasti akan jadi guru handal. Ia pun tentu akan mengusahakan semakin banyak sekolah untuk gadis pribumi di tanah airnya!” seru Indah bersemangat.

“Hmm, menurutku ia juga akan bergaul dengan banyak perintis perjuangan kemerdekaan di Belanda, atau malah dengan orang-orang partai sosialis Belanda yang menentang kesewenang-wenangan di Hindia. Tebakanku, Kartini akan menjauhkan diri dari politik etis dan ikut serta dalam gerakan kemerdekaan,” timpal Fani.

Kami meninggalkan rumah masa kecil Kartini, tempatnya dipingit sekaligus di mana ia merintis cita-citanya membangun sekolah bagi gadis pribumi, sambil terus berangan-angan tentang gebrakan Kartini bila ia dianugrahi umur panjang. Dengan semangat seperti yang dimilikinya, kami yakin hasil perjuangan Kartini akan jauh melampaui daya khayal kami.

The Dusty Sneakers - Tur Kartini - 1

Gypsytoes

Catatan ini adalah artikel ketiga dari Seri Tur Kartini, inisiatif kolaborasi The Dusty Sneakers dan Pamflet, organisasi anak muda yang berbasis di Jakarta, untuk mengenal sosok dan pemikiran Kartini lebih jauh dengan melakukan perjalanan ke Jepara dan Rembang. Kumpulan catatan perjalanan Tur Kartini dapat diunduh di sini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s