Kali ini saya meminta kawan lama saya, Rini Hanifa, untuk berbagi tentang Papua, tempatnya tinggal selama satu tahun terakhir. Sebelum tinggal di Papua, Rini sempat menghabiskan satu tahun sebagai relawan di sebuah kampung kecil bernama Rupununi di Guyana, Amerika Selatan. Pengalaman uniknya di Guyana bisa dibaca di kumpulan tulisannya dalam blog Indonesian Volunteer atau di buku ‘God, Do You Speak English?’. Selamat membaca kisah Rini kala terbang melintasi langit Papua! – Gypsytoes
Jikalau kita berbicara mengenai Papua, tidak akan pernah luput dari keindahan alamnya. Keindahan alam yang selalu membuat saya berdecak kagum dan tidak akan pernah merasa bosan. Mau dari sudut manapun, Papua itu indah. Baik dilihat dari laut, dari gunung, dari mobil, dari kapal – keindahan alamnya tidak terbantahkan. Termasuk pemandangan Papua dari udara.
Sejak pertengahan 2012 lalu, saya tinggal di sebuah pulau kecil bernama Pulau Yapen, tepatnya di ibukotanya yang bernama Serui. Untuk mencapai Serui, saya harus menggunakan jasa Susi Air, maskapai pesawat-pesawat kecil dengan kapasitas penumpang 10 hingga 12 orang.
Terbang dengan pesawat kecil ternyata cukup mengesankan. Pesawat Susi Air biasanya terbang cukup rendah, sehingga batas kita dengan keindahan alam dibawahnya sangat tipis. Penerbangan dengan pesawat Susi Air baik dari Biak ke Serui, atau sebaliknya dari Serui ke Biak, adalah bagian yang paling saya sukai dalam setiap perjalanan saya di Papua. Ada satu lokasi pemandangan favorit dilihat dari atas pesawat Susi Air, yaitu Sarawandori. Saya bahkan sudah hafal harus duduk dimana agar bisa melihat pemandangan ini. Jikalau dari Biak, saya harus duduk di jendela sebelah kiri, kursi satu. Dan sebaliknya jikalau dari Serui saya harus duduk di jendela sebelah kanan, di kursi dua.
Bagi saya Sarawandori ibarat melihat versi mini dari Wayag, Raja Ampat. Karena biaya ke Raja Ampat begitu mahal, tidak masuk dalam hitungan saya, saya cukup berpuas diri untuk menyaksikan keindahan Sarawandori. Selama 1 tahun pertama saya di Yapen, Papua, saya sudah bepergian dengan Susi Air sekitar 16-18 kali. Cukup sering. Dan dalam setiap penerbangan itu, saya hampir tak pernah lupa untuk mengabadikan keindahan alam Papua dengan kamera yang saya miliki. Keindahan yang masih belum banyak diketahui orang.
Bepergian dengan pesawat Susi Air adalah salah satu warna dari serangkaian pengalaman bepergian di Papua. Pilot dan co-pilot pesawat Susi Air selalu orang asing, dan mereka selalu berganti, shift pergantian mereka juga termasuk cepat. Saya hampir tidak pernah bepergian dengan pilot yang sama, jikalaupun ada, paling dua kali, kemudian saya akan melihat wajah baru lagi.
Hal yang menarik bagi saya adalah pilot atau co-pilot tersebut tidak hanya laki-laki, banyak juga perempuannya. Dari pengalaman saya bepergian, bisa dibilang ratio-nya sekitar 60:40. 40% untuk pilot dan co-pilot perempuan bagi saya keren. Saya juga pernah bepergian dengan co-pilot perempuan berambut hitam berwajah Asia. Dari aksen, sepertinya co-pilot perempuan tersebut dari Singapura. Melihat wajah Asia dari sekian banyak wajah kulit putih-pilot & co-pilot Susi Air bagi saya menyegarkan.
Bepergian dengan pesawat kecil tidak selalu menyenangkan. Di musim angin dan di musim hujan, bepergian dengan pesawat kecil bisa menyebabkan jantungan. Tak jarang ketika pesawat sudah sampai di tujuan tetapi tidak bisa mendarat dikarenakan angin kencang, sehingga pesawat berputar-putar diudara mencari posisi. Mencoba mendarat, gagal, coba lagi, hingga akhirnya bisa.
Atau dalam beberapa kasus, pesawat yang sudah tiba di Serui tetapi karena faktor cuaca tidak bisa mendarat, terpaksa kembali ke Biak. Untuk yang kedua ini saya sudah pernah mengalami. Cuaca sangat buruk waktu itu, pesawat waktu itu dikemudikan oleh pilot perempuan dan co-pilot laki-laki. Yang menarik dari pengalaman ini adalah sikap “cool” dari pilot tersebut. Si pilot terlihat tenang, cekatan, dan handal.
Menurut saya ini menarik karena mayoritas penumpang adalah laki-laki Papua yang sangat terkenal dengan “kelaki-lakiannya”, dan sekarang yang memegang kuasa di pesawat adalah seorang perempuan. Tetapi ketika saya tatap wajah-wajah penumpang, meski pesawat oleh ke kiri atau ke kanan, berguncang, wajah penumpang sangat tenang. Di Biak penumpang turun kembali menunggu hujan reda, dan penerbangan kedua ini berjalan lancar dan sukses mendarat di Serui. Penumpang menarik nafas lega, dan mengucapkan terima kasih ke pilot.
Ketika turun tangga pesawat, saya sempat mencuri dengar pembicaraan dua bapak Papua. Salah satunya bertutur bagaimana dia awalnya deg-degan, tetapi berangsur menjadi tenang melihat sikap tenang si pilot. “Ah, itu Mace barat bawa pesawat mantap,” begitu katanya.
Kalau di bahasa Indonesia kita secara umum kita menyebut orang barat dengan sebutan bule; bule laki-laki atau bule perempuan. Tetapi, di Papua beberapa kali saya dengar mereka menyebut orang barat dengan Pace barat atau Mace barat. Pace adalah sebutan untuk laki-laki, kurang lebih berarti pak, mas; sedangkan Mace adalah sebutan untuk perempuan, seperti ibu atau mbak.
Menurut saya, beruntung sekali mereka yang berkesempatan melayang di langit Papua bersama pilot-pilot perempuan. Banyak orang di Indonesia yang tidak berkesempatan melihat bahwa perempuan dapat menjadi pilot yang piawai, sehingga berpikir kalau pilot itu hanya laki-laki. Semoga, dengan melihat pilot-pilot perempuan handal tersebut bisa menginspirasi anak-anak muda Papua, termasuk perempuan untuk menjadi pilot juga. Dengan kondisi geografis Papua, dimana banyak tempat masih hanya bisa ditempuh dengan pesawat, Papua akan membutuhkan pilot-pilot yang handal.
Cerita dan foto oleh Rini Hanifa, ia bisa dihubungi di rini.hanifa@gmail.com. Sesekali, kami meminta kawan-kawan kami yang gemar menulis dan senang berjalan-jalan untuk mampir dan menceritakan kisah perjalanan mereka. Kisah kawan-kawan kami bisa dilihat di kategori Guest Writer.
Inspiring!
Halo, Fe! Ternyata punya blog wordpress juga ya. Asik, tujuan blogwalking berikutnya, nih.
Wuaa,,Papua!!
btw, aku baru ajah baca buku itu, selesai Oktober kemaren. inspiring book, tambah pengen jadi volunteer 😀
Aku sampaikan komentarmu ke Rini ya, dia pasti senang. Kalau jadi volunteer, kami tunggu ceritanya yang seru-seru!
Wuah, makasih banyak, kemren sempet liat2 yang web VOA mereka (info dari buku), tapi nampak gak ada spesialist major aku. Thanks yah
-Yuna, si adek
Very inspring story Rini! For everyone interested in volunteering with VSO seperti Rini: from 03 december you will find all placements on our website http://www.vsoindonesia.org and you can apply directly. Also 05 december we will celebrate International Volunteer Day in Jakarta and you can join us to hear more about volunteering. Check our Facebook page for more info: https://www.facebook.com/pages/VSO-Indonesia/139122762862895
Hope to see you there
Thank you Sarah for sharing the volunteering opportunity. Good luck with Event!
Halo Yuna! Silahkan di cek info dari Sarah di atas 🙂
Mantab Mbak!
wow sangat menyenankan baca tentang Papua dan Portibi pagi ini! apakah kata Mace bukan berasal dari bahasa Belanda, meisje?