comments 2

A Night When I Was a Pretty Cool Driver

Untuk urusan berjalan kaki, bisa dibilang saya cukup bisa diandalkan. Menembus hutan menuju kampung Cibeo, atau bahkan menyusuri jalanan tandus yang sepi ke desa para keturunan Nabataeans. Untuk orang yang mulai memasuki tiga puluh, saya lumayan juga. Tapi tidak untuk mengemudi jarak jauh. Untuk yang satu ini, saya sungguh payah.

Dalam setiap road trip, saya selalu adalah pilihan terakhir dalam giliran mengemudi. Saya tidak tahan berlama-lama menyetir. Tidak lebih dari dua jam biasanya sudah minta diganti. Dibandingkan Ginting tentu saya kalah jauh. Anak ini raja jalanan. Selama ia bisa membual, maka ia akan tancap terus. Itu artinya, ia bisa tahan menyetir semalaman. Sayapun mengemudi dengan sangat hati-hati, atau kasarnya, lamban. Bandingkan dengan Ginting yang mengemudi seperti kesetanan.  Jika ia kentut saat kami masih di tol Bekasi, maka saat bau kentutnya belum hilang dari mobil, tiba-tiba kami sudah keluar tol Pasteur di Bandung.

Tapi malam itu, dengan berat hati, dunia tidak punya pilihan lain.

Arip harus melakukan suatu urusan pribadi di Garut dan berangkat dari Jakarta tengah malam itu juga. Ginting dan semua kawan lain sedang di luar jangkauan. Sementara Arip, dasar bocah setan, sedang tergeletak teler di kursi depan. Jangan tanyakan apa yang terjadi padanya, seperti pernah saya katakan sebelumnya, hal-hal ganjil selalu terjadi pada kawan saya ini. Jadi pada tengah malam itu, walaupun setengah mengantuk, tampaknya saya tak punya pilihan lain.

I put some old  jazz on and drove south!

Jazz and a sleepy road

Beberapa kali saya berhenti dan menelan segala macam doping. Minuman energi, kopi, dan siraman di wajah. Bagi kalian para raja jalanan, perjalanan Jakarta-Garut mungkin hal remeh. Tapi ayolah, sudah saya katakan, untuk urusan ini saya sungguh payah. Dan arip masih terus tergeletak tak sadar. Ia bahkan tidak bisa sadar sebentar di pompa bensin hanya untuk memberi tahu mobilnya menggunakan premium atau pertamax. Anak setan. Untuk menghindari subsidi bahan bakar yang salah sasaran, saya isi pertamax saja. Kalau nanti dia marah-marah saya akan suruh dia mampus. Tapi satu hal yang menyenangkan dari situasi ini adalah saya bisa mendikte musik tanpa ada yang mengganggu. Tak seorangpun protes saat saya mendengar siaran radio tengah malam yang memperdengarkan lagu-lagu lama macam Singin in the Rain atau tentunya, favorit saya sepanjang masa, Fly me to the moon.

Fly me to the moon and let me play among the stars

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars..

Saat matahari terbit akhirnya kami sampai di desa Cisurupan di kaki gunung Papandayan. Di sana Arip akhirnya tersadar. Membuka mata dengan bingung dan kaget menemukan dirinya sudah ada di Garut. Ia mulai mengacak-ngacak kepala saya dan bilang bahwa saya keren juga untuk bisa sampai Garut dalam 5 jam. Tak lupa ia berterima kasih untuk mengantarnya ke sana. Ternyata biarpun dalam versi terburuk, si Arip masih keturunan manusia juga.  Setelah itu ia mulai mengacak-ngacak kepala saya lagi.

Good Morning!

Masih ada waktu sebelum Arip musti mulai membereskan urusan-urusannya. Jadi sementara ia beristirahat di warung-warung sekitar sana, saya berjalan kaki naik menuju kawah gunung Papandayan. Gunung yang terakhir meletus tahun 2002 ini memiliki beberapa bagian terbaiknya. Areal kawah yang masih aktif, danau warna, serta  pemandangan pohon-pohon yang mengering karena lahar panas. Suatu hari, saat saya memiliki waktu lebih banyak, saya akan naik lebih ke atas ke daerah padang rumputnya yang memiliki hamparan pohon edelweis. Kemping di sana dan memandangi matahari terbit tentu akan hebat sekali. Gunung ini tidaklah sulit, jadi seharusnya orang macam Arip pun bisa naik dan kemping. Untuk kali ini, saya cukup naik sampai sekitar kawahnya saja. Memandangi kawah dan daerah garut di kejauhan saat matahari mulai naik sudah cukup untuk membuat semua kegilaan malam sebelumnya jadi masuk akal. Saya betah untuk berlama-lama melamun di sana melihat ke timur.

Setelah semua urusan Arip selesai dan ia sudah kembali segar, kamipun kembali ke Jakarta. Arip di belakang kemudi sementara saya tergeletak tidur di jok belakang di sepanjang perjalanan. Hidup normal kembali.

Twosocks, April 2010

2 Comments

    • dustysneakers

      What do u know about number man? You were not even sober! but yeah, I think it was 4,5. Cool, huh?

Leave a comment