Dan kami kembali di sini, di jalanan lapang di antara padang rumput yang tak habis-habis, dan langit yang luas, dan biru, dan awan-awan yang menggerumbul seakan memanggil-manggil. Kami bergerak ke selatan di Aotearoa yang tetap dingin di musim panas. Maesy ada di sisi, membantu navigasi, menyusun daftar lagu, membuat obrolan, menimpali perdebatan, menyodorkan keripik ke depan bibir. Kendaraan memapas satu-satu, dalam jarak yang jarang-jarang. Maesy berkata roadtrip selalu menyenangkannya. Ia merasa seakan seseorang membelek kepalanya lalu meniupkan udara segar ke dalam. Puffffh. Pikiran-pikiran lewat dan tidak meminta dikejar, berlalu saja, seperti gerumbulan bunga lupin berwarna ungu di pinggir jalan, atau domba-domba yang merumput. Ingatan-ingatan, hal personal, hal sepele, saling bertumpuk bersama percakapan baru, candaan baru, beberapa akan diingat untuk waktu yang lama, atau dikenang kembali suatu hari nanti, dengan sayang, dalam melankolia yang biasa dimiliki mereka yang usianya terus bertumbuh.
Di dekat danau Pukaki kami menghentikan kendaraan tanpa direncanakan. Di bawah bukit terlihat telaga kecil dengan air berwarna biru muda. Tak seorang pun di sana. Kami nenuruni bukit, membuka sepatu, mencelupkan ujung kaki ke air. Dingin sekali. Dari sisa-sisa kemudaan yang enggan dilepas, saya membuka pakaian dan terus mencebur dengan kepala di bawah. Rasa dingin seperti merayapi setiap bagian kulit seperti gurita yang mendekap erat. Tak lama setelah berada di tengah dan tangan menyentuh dasar telaga, saya naik, dinginnya tak tertahankan. Maesy menyusul, berenang ke tengah beberapa saat, untuk kemudian kembali ke pinggir. Saat saya bertanya bagaimana airnya, ia mengeluarkan makian yang ditirunya dari anak-anak muda di Jakarta yang duduk-duduk di dekat minimarket,”dingin banget, anjing!”
Di lembah Tasman kami menyetir kendaraan pelan-pelan saja. Di beberapa tempat sinar matahari menembus awan sehingga berbentuk seperti sinar lampu sorot yang menimpa bebatuan, juga padang rumput, dengan danau Pukaki terlihat di kejauhan, begitu besar, dengan warna biru muda yang tak pernah kami temui. Di belakang kami berdiri gunung Aoraki yang puncaknya seperti dilapisi es serut. Siang sebelumnya Maesy nyaris tertiup angin kencang saat kami naik ke salah satu tebingnya. Saya ingat bagaimana ia berpegangan pada batu besar dangan wajah pucat. Kendaran terus berjalan pelan. Kami tidak saling bicara, hanya melihat apa yang ada di depan.
Maesy jenis yang selalu terencana. Semua rencana perjalanan ia cari tahu sebelumnya, bekal-bekal disiapkan rapi di kotak-kotak biru kami; buah ceri, pisang, roti lapis, keju dan ham madu, juga kopi di termos. Ia hapal kapan hujan turun, kapan matahari terik. Tugas saya, ya, menyetir saja. Sementara itu ia klak-klik-klak-klik dengan tangan kecilnya itu dan kami tahu beberapa jam lagi akan ada telaga bernama Kali Monyet yang airnya bagus. (“Kita bisa mengisi botol-botol air di sana,” katanya, “Oh di dekat sana ada bapak tua yang berjualan kopi dalam karavan bergambar kucing. Nama kopinya, coba tebak, gampang kok, ya, tentu saja ‘coffee cat’!”) Suatu malam di Twizel, di penginapan kami yang terbuat dari bekas kontainer, saya menyeduh teh cranberry yang ternyata enak. Maesy bertanya besok pagi saya kepengin kopi atau teh cranberry saja. Saya katakan padanya bahwa saya baru kepikiran minum teh cranberry ini lima menit lalu, bagaimana mungkin saya tahu apa yang saya inginkan besok pagi. Ia memandang dengan pandangan seolah kebingungan itu tidak masuk akal.
Di kota kecil Garston kami berhenti tanpa direncanakan, membaca di rerumputan sambil makan roti perut babi. Di dekat kami ada pasangan orang tua yang main jungkat-jungkit (ah, bahagianya). Maesy membaca bacaan masa kecil yang menurutnya tetap bagus, trilogi His Dark Materials karya Phillip Pulman. Gara-gara bikin toko buku, menurutnya, kami membaca dengan cara yang berbeda. Kami membaca sambil memikirkannya secara kritis. Karakter, plot, posisi politis penulisnya, rumit sekali. Tulisan Pulman mengingatkannya lagi akan masa ketika ia tenggelam dalam petualangan fantastis Lyra Belacqua tanpa bertanya ini-itu. Saya membaca Ellena Ferante yang direkomendasikan Maesy dan Norman. Oh! Cerita Lila dan Lenu ini, dinamika pertemanan mereka, bagus sekali.
Di Arrowtown kami berjalan melewati rumah-rumah mungil dengan rimbunan pohon mawar di pagarnya. Sesekali kami mendekatkan hidung, menghirup harumnya dengan mata dipejamkan. Di rerumputan taman kami duduk membaca dengan coklat panas Patagonia. Ada anak kecil berambut pirang berguling-guling menuruni gundukan rumput sambil tertawa-tawa.
Saya kembali membeli coklat hangat Patagonia saat tiba di Queenstown. Segelas saja, agar hemat, selain tak yakin dua gelas bisa kami habiskan sekaligus. Maesy sebetulnya ingin yang ada rasa cabainya, tapi tampaknya ia tak ingin memaksa. Ia menjauh saat saya menghampiri penjual untuk memesan. Saya membawa segelas coklat panas dan kami berjalan di pinggir danau. Saat Maesy minum dan menemukan rasa cabai di dalamnya, senyumnya lebar sekali.
Di depan teras penginapan di Te Anau, Maesy menjemur pakaian saat sinar matahari sedang bagus-bagusnya. Saya menonton saja sambil menuangkan anggur murah yang tadi kami beli di supermarket. Saat itu terdengar lagu yang judulnya The Place Where Lost Things Go. Angin meniup pakaian yang dijemur, bergoyang-goyang, seperti mengikuti lagu yang pelan. Maju-mundur-maju-mundur berpegangan pada penjepit dan tali yang membentang. Sesudahnya Maesy ikut duduk di sisi saya, minum anggur dan menonton jemuran bergoyang-goyang, juga domba-domba di balik pagar. Esok paginya, di teras yang sama, kami melihat pelangi dalam setengah lingkaran penuh.
Kami melewati jalanan tak beraspal yang dipenuhi batu saat menuju sebuah desa bernama Paradise. Desa di lembah dengan sungai, bukit, dan padang rumput tempat dulu beberapa adegan film Lord Of The Rings diambil. Di sana kami tak menjumpai manusia, hanya sapi-sapi. Kami ngobrol tentang betapa manusia, pada dasarnya, jahat semua. Wajar jika sebuah tempat bernama Paradise, yang mendiaminya sapi-sapi.
Di Doubtful Sound, saat mesin kapal dimatikan kami merasakan sepi yang menenangkan saat yang terdengar hanya suara air dan burung-burung hutan, juga embusan nafas yang mengeluarkan asap. Kami melihat sungai yang terbentuk dari es yang mencair, juga batu-batu membukit yang tak terhancurkan, juga lumut-lumut yang bertahan ratusan tahun dan menjadi dasar tertanamnya tumbuh-tumbuhan yang kemudian membentuk hutan. Maesy berdiri lama di ujung dek, angin meniup rambutnya yang tak diikat, sesekali ia mengencangkan dekapan tangannya. Saat kembali ke dalam wajahnya pucat dengan bibir pecah-pecah karena kedinginan. Saya menyodorkan padanya gelas teh panas dengan asap mengepul. Ia berkata seperti anak kecil yang menemukan kebijaksanaan baru, “Lumut itu keren banget, ya. Aku nggak akan menganggapnya benda hijau remeh lagi.”
Di Hawea kami menghabiskan hari-hari menginap di Yurt, berkenalan dengan Dexter, bocah lelaki kelas empat SD berambut gondrong. Ia mengajak kami keliling-keliling termasuk mengompori kami main trampolin yang dulu dibikin bapaknya. Saya melompat-lompat dan mencoba salto beberapa kali. Berhasil, tapi sesudahnya leher saya sakit. Kami menyukai hari-hari di sana, minum kopi di rerumputan, atau melihat sinar lampu di Yurt saat malam benar-benar gelap dengan bintang-bintang di atas. Randall si pemilik yurt, bapak si Dexter, adalah pria yang gemar bermeditasi dan berpenampilan berantakan dengan sweater yang robek di beberapa tempat. Ia ramah dan baik, membuatkan kami roti gandum dan selalu bertanya apa semua baik-baik saja. Menjelang pamit untuk perjalanan enam jam ke Akaroa ia memberi pelukan hangat dan berpesan, “Hati-hati sama sopir-sopir Kiwi itu, ya, 100 km/jam di tikungan masih terlalu pelan untuk mereka.”
Musim panas di Aotearoa, apalagi di selatan, tidak betul-betul panas. Lebih sering kami tetap mengenakan jaket dan memasukkan tangan ke saku saat angin bertiup. Di malam hari kami meringkuk dan tidur dengan kaus kaki. Tapi ada satu hari di sekitar Hawea dan Wanaka saat matahari terik sepanjang hari. Kami bergembira dengan baju selapis saja dan mencebur di mana pun genangan air dijumpai. Walau air tetap dingin, kami mencemplung ke danau Hawea, berenang di sungai Cleddau, naik sebentar agar badan hangat lalu mencemplung lagi. Gelombang di danau tenang dengan kelap-kelip pantulan sinar matahari bermunculan. Maesy mengambang telentang, tubuhnya enak saja terombang-ambing seperti kapal mainan. Banyak kerumitan dalam hidupnya belakangan ini, tapi saat mengambang begitu, semua seakan tak ada masalah. Di Yurt saya membuka kaos dan ke sana ke mari bertelanjang dada saja, memutar lagu, minum anggur, membawa pemutar lagu keluar. Di satu bagian terdengar lagu dari Badly Drawn Boys, dan saya — mungkin karena pengaruh anggur– mulai menari-nari di rerumputan. Maesy — yang selalu suka menari — langsung ikut gila-gilaan sampai napas kami sama-sama habis.
Saat ini pagi hari di Akaroa. Kami menulis di depan penginapan, belum sikat gigi, apalagi mandi. Di kejauhan terlihat beberapa kapal kecil berwarna putih yang tertambat di dekat dermaga, Maesy menulis di jurnal kecil berwarna coklatnya. Setiap hari ia menulis di sana, dengan tulisan tangannya yang kecil sehingga sulit saya baca. Hal-hal pribadi, kegembiraan-kegembiraan kecil, juga keresahan-keresahan. Siang ini kami berencana berjalan kaki ke mercusuar di dekat laut, lalu ke dermaga. Di dekat sana ada yang menjual kerang yang dibaluri anggur putih. Jika matahari sedang bagus kami akan berenang ke jeti dan melompat dari sana.
000
Selalu menyenangkan jika ada tulisan baru di sini. Serasa turut menjelajah tiap sudut tempatnya
Terima kasih Nasirullah sudah membaca tulisan2 kami 🙂
Hi. It’s always calming to read your writing. Thanks for sharing. 🙂
Thank you Sun, for reading the story. So glad you liked it.
Kemarin sempat was-was waktu baca berita mengenai abu kebakaran hutan di Australia yang sampai ke New Zealand pas kalian lagi ada di sana. Untungnya trip kalian sepertinya tetap menyenangkan dan gak terdampak sama abu dari seberang Laut Tasman sama sekali. Duh, ceritanya, foto-fotonya, jadi bikin semakin kepengen ke New Zealand.
Iya, kami beruntung sekali tidak terkena abu dari Australia. Ini jadi salah satu roadtrip paling menyenangkan 🙂
Apakah Teddy catat-catat juga? Karena ingatan-ingatannya lengkap sekali dan lucu-lucu. Aku mau juga roadtrip seperti ini, rasanya bakalan ketemu hal-hal yg menghangatkan hati kayak cerita kalian berdua.
Halo Justin. Iya, aku catat-catat juga (walau tak setekun Maesy hehe). Kalau bisa dijahit-jahit, jadi tulisan buat blog haha. Terima kasih ya sudah membaca
salam lestari kaks…..
Bersyukur disasarkan semesta ke tulisan ini. Adem sekali rasanya waktu membaca. Saya seperti sedang membalik-balik bingkai-bingkai foto sepia. 😀
Enaknya … Sumpah …
Selalu suka tulisan kalian. Analogi-analogi yang lucu,,,seperti Es Serut…
Kerenn!!