comments 2

Hari yang Bersedih di Pantai Bandengan

Suara ombak yang menyentuh bibir Pantai Bandengan tentu masih memperdengarkan riak yang serupa. Pasirnya yang menelan kaki yang menjejak tentu menciptakan sensasi lembut yang sama. Matahari tentu masih selalu terbenam di tempat yang sama. Lebih dari seratus tahun lalu, sore di Klein Scheveningen, begitu pantai ini dulu disebut Kartini dengan sayang, selalu membuat suasana hatinya menjadi tenteram. Di sinilah ia berbicara dari hati ke hati dengan saudaranya, di sini ia mengenang ucapan sayang dan pemberi semangat dari sahabat-sahabatnya, di sini ia memupuk mimpi-mimpinya akan kebebasan kaumnya dan martabat bangsanya. Sore ini, lebih dari seratus tahun kemudian, kami pun ada di sana, mendengar suara ombak yang sama, merasakan lembut pasir yang sama, melihat matahari terbenam yang sama.

Pantai Bandengan terletak tujuh kilometer dari pusat kota Jepara. Sebuah pantai rekreasi berpasir putih yang dapat dicapai dengan kendaraan kurang dari tiga puluh menit saja. Selain kami, banyak warga Jepara yang sore itu juga menghabiskan waktunya di sini. Bermain air, berjalan-jalan, atau sekedar duduk-duduk. Kami membayangkan sebuah gambar di mana dulu Kartini berkunjung ke sini dengan diantar kereta kuda. Kereta kuda yang akan diparkir di bawah pohon besar di pinggir jalan itu sementara beliau berjalan kaki sepanjang bibir pantai yang berpasir lembut itu.

Kami memandangi laut yang pada sebuah masa menjadi saksi dari gelora seorang perempuan yang melampaui jamannya. Namun selain saksi dari nyala semangatnya, Pantai Bandengan juga saksi akan remuk hati Kartini. Di pantai ini pulalah awal dari padamnya api yang bergolak terang benderang itu. Saat semangat Kartini yang tengah di puncak terjerembab, terhempas jatuh, hingga sang perempuan perkasa tersimpuh di kakinya. Takluk.

Saat itu, di bulan Januari 1903, semangat Kartini sedang membubung. Salah satu sahabatnya, Ir. Van Kol, seorang anggota parlemen Belanda dari partai sosialis berhasil mengusahakan beasiswa untuk Kartini melanjutkan sekolah di Belanda. Perasaan Kartini terbang ke bulan oleh suka cita. Telah lama ia mendamba kesempatan untuk menuntut ilmu di Eropa, di mana sumber-sumber ilmu pengetahuan dan kemajuan budaya bisa dikecap seluasnya. Ilmu yang akan ia gunakan untuk mendukung cita-citanya yang mulia, memajukan kaumnya di tanah air.

Kartini, seorang perempuan pribumi, akan bersekolah tinggi. Berita besar! Tidak sembarang sekolah tinggi, namun sekolah tinggi di Belanda. Tentu ini bukan hal biasa dalam sebuah bangsa yang terpuruk dan budaya feodal yang begitu menghimpit perempuan. Tentangan pun muncul dari mana-mana. Kerabat sesama bangsawan kerap mengkritik bahwa tak pantas seorang perempuan bersekolah tinggi-tinggi apalagi ia belum bersuami di usia yang lebih dari dua puluh tahun. Bahkan beberapa sahabatnya pun menyatakan keberatannya termasuk Nyonya Abendanon yang mengatakan pergi ke Belanda hanya akan membuat Kartini lupa akan cita-citanya. Namun Semangat Kartini tidak surut, ia selalu meyakinkan semua orang bahwa ini dilakukannya bukan untuk kepentingan pribadinya, namun untuk dia bisa kembali dengan bekal yang cukup untuk memajukan kaum perempuan di Hindia Belanda. Semangat yang menyala-nyala. Kemauan yang begitu keras. Ia seorang batu karang.

Sampai hari di pantai Bandengan itu.

Hari itu J.H. Abendanon, sang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, datang ke Jepara khusus untuk menemui Kartini. J.H. Abendanon, seorang penyokong politik etis, adalah sosok yang dekat di hati Kartini. Ia adalah salah satu kawan diskusi Kartini mengenai soal-soal pendidikan perempuan. Bahkan J.H. Abendanon sempat begitu terinspirasi oleh pemikiran Kartini sehingga mengirimkan edaran bagi Bupati-Bupati di tanah Jawa untuk membuat sekolah-sekolah untuk perempuan. Walau budaya feodal masih begitu kuat sehingga edaran J.H. Abendanon ini belum mendapat sambutan, Kartini tetap begitu menghormatinya. Saat J.H. Abendanon datang tanpa pemberitahuan ke Jepara dan mengajak Kartini berbicara di pantai Bandengan, timbul semangat Kartini. Sungguh di luar dugaannya, di pantai Bandengan J.H. Abendanon bukan memberinya kata-kata penguat untuk kelanjutan cita-citanya, namun justru bujukan agar Kartini membatalkan keberangkatannya ke Belanda.

J.H. Abendanon mengemukakan beberapa alasan mengapa Kartini sebaiknya tidak ke Belanda. Jika ia pergi ke Belanda ia akan dilupakan oleh bangsanya dan bahkan hanya akan dianggap Nona Belanda saja, jika ke Belanda maka ia akan mengalami banyak kesusahan hidup, dan terakhir, betapa kasihan jika ayah Kartini yang telah mulai sakit-sakitan ditinggal belajar jauh. Ini tentu bukan argumen baru bagi Kartini. Ia tentu sudah sadar bahwa keputusan pergi ke Belanda akan berat dan untuk cita-cita besarnya banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Selama ini Kartini selalu tegar dan tetap kokoh. Ia yakin bahwa untuk bisa mencapai cita-citanya ia harus menuntut ilmu yang tinggi dari sekolah. Ia pun ingin menimba pengalaman dari pergaulan dengan sahabat-sahabatnya di Belanda yang memiliki pemikiran maju mengenai perlindungan hak-hak kaum perempuan dan soal-soal kemanusiaan lain. Namun hari itu di Pantai Bandengan, segala argumen J.H. Abendanon dan juga iming-imingnya untuk segera bisa mendirikan sekolah di sini berhasil menundukkan Kartini. Kartini menurut.

“Aku masih tak bisa mengerti,“ kata Fani saat kami berlima sama-sama duduk memandang laut. “Kartini adalah seorang dengan kemauan yang begitu keras dan keyakinan yang besar akan langkahnya mencapai cita-cita. Kenapa ia tunduk akan permintaan J.H. Abendanon ini, ya?

Dari buku biografi Kartini karya Sitisoemandari kami menemukan kemungkinan-kemungkinan penjelasannya. Disebutkan bahwa Kartini meyakini J.H. Abendanon adalah sosok yang selalu mendukung cita-citanya. Ia begitu menghormati sosok J.H. Abendanon laksana seorang ayah, sehingga kata-kata J.H. Abendanon akan didengarkan betul-betul dan walau pun berat akan tetap ditelannya. Tak sedikit pun Kartini menaruh prasangka buruk kepadanya. Selain itu, kedatangan J.H. Abendanon yang tba-tiba dan dengan pesan yang mengagetkan ini membuat Kartini limbung, tak siap, dan akhirnya tunduk.

“Tapi aneh juga J.H. Abendanon ini,“ ujar Afra. “Sebelumnya ia selalu mendukung Kartini, kenapa sekarang ia malah menghalanginya?”

Di sinilah konon kepentingan politis pemerintah Hindia Belanda ikut bermain. Ir. Van Kol, tokoh yang mengusahakan beasiswa untuk Kartini, adalah anggota parlemen Belanda dan tokoh golongan sosialis. Kedekatan langsung Kartini dengan Ir. Van Kol dan juga tokoh sosialis lain seperti Stella Zeehandelaar akan dapat mengganggu pemerintahan Belanda sekarang, apalagi posisi Ir. Van Kol sebagai anggota parlemen yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Kartini dikenal kritis dan begitu awas akan keadaan sekelilingnya. Ia tahu banyak keadaan di Hindia Belanda dan kekurangan-kekurangan pemerintah Belanda di sini. Ia tahu mengenai panen yang gagal, kelaparan yang terjadi, salah urus saluran air bagi petani, termasuk kesewenang-wenangan banyak pejabat Belanda di Hindia Belanda. Jika Kartini berangkat ke Belanda dan dekat dengan tokoh-tokoh sosialis, dikhawatirkan banyak kebobrokan yang bisa dibeberkan Kartini pada pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah Belanda saat itu.

J.H. Abendanon mendukung agar Kartini cukup terpelajar sebagai salah satu simbol keberhasilan politik etis, namun ia tidak boleh terlalu maju sehingga dapat terlalu kritis terhadap pemerintah Belanda apalagi mendapat banyak dukungan lawan politik pemerintah. Karenanyalah J.H. Abendanon berkeyakinan kepergian Kartini ke Belanda perlu untuk dicegah.

Dan begitulah, hari itu di Pantai Bandengan, api Kartini yang menyala-nyala itu tidak dibiarkan untuk lebih membara lagi. J.H. Abendanon memadamkannya. Inilah yang dalam buku biografi Kartini tulisan Sitisoemandari disebut sebagai sebagai “tragik Kartini”. Sebuah lembaran paling hitam dalam riwayatnya. Sebuah kejadian yang secara psikis demikian besar pengaruhnya dan terus ia bawa hingga akhir hayatnya.

Kami berlima termenung dengan pikiran masing-masing. Memandangi laut dan langit di kejauhan yang perlahan memerah. Membayangkan sebuah hari yang bersedih lebih dari seratus tahun lalu di tempat yang sama dengan tempat kami duduk ini. Terbayangkan seorang gadis muda idealis sedang tertunduk di bibir pantai dengan pikiran yang berkecamuk.

“Orang mungkin menganggap tunduknya Kartini sebagai kelemahan di sisinya,” Maesy memecah kesunyian. “Tapi aku tetap menganggapnya perempuan pemberani. Itu hanya menunjukkan betapa ia juga manusia biasa.“

Kami mengangguk sepakat. Mengingat situasi saat itu, di mana budaya feodal masih begitu kuat, di mana posisi perempuan begitu lemah, di mana manusia masih harus berjalan membungkuk-bungkuk tunduk pada manusia dan bangsa lain, apa yang dilakukan Kartini sejauh itu telah begitu mencengangkan. Ia berani menggantungkan cita-citanya begitu tinggi dan mulia, ia berani menghadapi tentangan dari kerabat dan kawan-kawan yang mencegah kepak sayapnya. Bahwa ia kemudian tidak siap menghadapi orang yang begitu dihormatinya memadamkan apinya, itu hanya membuatnya menjadi manusia biasa. Seorang pejuang yang sendiri. Ia tetap seorang anak muda dengan pemikiran yang demikian maju dan bergelora di sebuah zaman yang begitu mengungkung. Bahkan sesudahnya, walau ia menyesali keputusannya, ia pantang menarik keputusan yang telah dibuatnya di depan J.H. Abendanon itu. Hal yang menunjukkan betapa ia juga seorang ksatria.

Gelap mulai benar-benar merangkul Pantai Bandengan. Di dekat kami sebuah keluarga tampak baru menyambut ikan bakar pesanan yang baru datang. Sang ibu memanggil anak-anak mereka yang bermain-main di bibir pantai. Anak-anak berlarian ceria menuju meja makan untuk menyantap ikan yang mengepul-ngepul itu. Ah, begitu banyak wajah kemanusiaan yang telah disaksikan pantai ini. Keriangan dan kesedihan Kartini lebih dari seratus tahun lalu, perasaan haru yang kami rasakan saat mengenangnya di sini, canda tawa keluarga kecil di dekat kami yang menikmati ikan bakarnya yang tampak begitu lezat.

Dan matahari masih terbenam di tempatnya yang sama, suara riak ombak masih terdengar serupa, dan lembut pasir masih terasa sama saat kaki menjejak di atasnya. Dan masih akan begitu untuk waktu-waktu yang lama dari sekarang.

Twosocks

Catatan ini adalah artikel kelima dari Seri Tur Kartini, inisiatif kolaborasi The Dusty Sneakers dan Pamflet, organisasi anak muda yang berbasis di Jakarta, untuk mengenal sosok dan pemikiran Kartini lebih jauh dengan melakukan perjalanan ke Jepara dan Rembang. Kumpulan catatan perjalanan Tur Kartini dapat diunduh di sini.

2 Comments

  1. ahn

    kisah yang sangat menyentuh di hati….
    Dan juga memberi inspirasi untuk generasi perempuan saat ini yang juga sedang dan akan mengalami hal yang sama dengan Kartini….
    bagaimana rasanya membayangkan situasi yang dialami oleh Pahlawan kita seorang Wanita hebat… KARTINI….

    • Ternyata melakukan perjalanan bisa membantu kami lebih berempati terhadap seorang tokoh. Rasanya Kartini lebih manusiawi setelah kami membaca kisah pembatalan beasiswanya dan berkunjung langsung ke Pantai Bandengan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s