Saya dan Arip Syaman, sahabat saya yang ajaib, ada di New York. Terdengar ganjil. Tapi begitulah adanya. Kami pun masih sering tidak mempercayainya. “Gile men! Kita di New York! Becandanya parah ni!’ kata saya kegirangan. “Gile men! Kita di New York! Becandanya parah ni!” kata Arip Syaman, yang saking girangnya tidak bisa mencari ekspresi yang lain. Dan kami masih mengulang-ngulang ekspresi yang sama kepada satu sama lain sepanjang perjalanan. Saat kami melihat patung Liberty, saat kami keluar dari stasun kereta dan melihat Times Square yang gegap gempita, atau saat kami melihat Manhattan di malam hari sambil berjalan menyeberangi Brooklyn Bridge. Kami tak percaya, tapi begitulah adanya. Kami ada di New York. Hari-hari yang akan selalu kami kenang dan ceritakan kepada anak cucu kelak. “Screw you grand kids! Kakek ancur-ancur gini pernah ketiduran di Central Park!”
Dan kami pun berjalan, melihat Liberty di pagi hari, melamun di Central Park, berjalan kaki di Brooklyn Bridge melihat lampu-lampu Manhattan yang mulai menyala. Ah, begitu banyak film yang menampilkan adegan melankolisnya di jembatan itu. Pria yang tersadar akan cintanya lalu menghentikan taksi kuning khas New York dan berpacu menuju sang kekasih melewati gemerlap jembatan ini. Berjalan di atasnya rasanya sureal. Di banyak tempat kami masih terkesima dan nandak-nandak kegirangan. Norak minta ampun. Siapa pun kalian, akan ada saat-saat dimana kalian tidak akan mengakui kami teman. Namun di atas semuanya, ada beberapa hal dalam perjalanan itu yang sungguh sangat berkesan dan sulit dilupakan.
Pertama, kami ke Bronx! Ini agak tidak normal, tapi ide impulsif ini tiba-tiba muncul. Karena pengaruh film, kami selalu mengidentikkan bagian ini sebagai jantung kekerasan New York. Perang antar gang, obat terlarang, dan sejenisnya. “Kita musti ke sana men! Paling ga kita bisa bilang udah pipis di Bronx!” kata Arip. Dan kami pun naik kereta menuju ujung Utara. Bahkan di kereta pun, saat kami memasuki wilayah Bronx, suasana agak lain sudah mulai terasa. Kereta mulai diisi pria-pria bertubuh besar , dengan wajah sangar dingin, tubuh bertato, mengikuti irama hip-hop yang mereka dengar di earphone nya, dan berbicara dengan aksen khas. “You got the stuff? A’aight man, you chill, i’ll pick it up,” kata pria sangar yang sedang bertelepon di sebelah saya. Saya menoleh Arip dan saling membayangkan kira-kira the stuff itu apa ya? Kami turun di daerah West Bronx Park, melihat taman dan daerah permukimannya. Pemandangan memang tampak seperti di film-film, tembok penuh grafiti, pria-pria Afro American atau Latin yang mengendarai mobil bergerombol dengan suara musik mendentum dan posisi mengemudi yang khas, atau mereka yang duduk-duduk bergerombol di tangga apartemen. Mungkin sebenarnya daerah ini baik-baik saja, tapi kami tidak banyak riset sebelumnya dan terlalu banyak dipengaruhi film, jadi ya kami sedikit gentar juga. “Yakin mau lanjut Ted?” tanya Arip setengah menggoda setengah ragu. “Bodo, bantai man!” kata saya sok yakin. Saya membayangkan kalau salah satu saja dari mereka menggebug saya, cukup dengan tangan kiri, saya akan mati di tempat. Kami bahkan segan untuk sekedar mengambil foto. Kami terus berjalan putar-putar. Sempat juga menonton permainan basket setempat, melihat seorang pemain yang memaki-maki pelatihnya karena di ganti di tengah permainan. “Yo coach man!! You told me to play D, I played D, and you pulled me out! what’s wrong with you, dawg?!!’ dengan aksen yang khas. Saya geli bercampur segan. Menjelang gelap, kami kembali ke Manhattan.
Oh, dan kami tidak sempat pipis di Bronx.
Kedua, Times Square. The crossroad of the world. Tempat yang begitu gegap gempita. Lampu-lampunya yang gemerlap, orang-orangnya yang lalu lalang. Begitu banyak hal menarik yang kami jumpai di sana, mulai dari Batman yang termakan usia, orang tua yang membawa spanduk permintaan uang untuk membeli mariyuana, seorang remaja yang menyebarkan pesan cinta dengan mengajak semua orang berpelukan, cowgirl tua yang mengamen sambil telanjang, sampai demonstrasi menentang pembunuhan anggota Falun Gong di Cina. Tapi dalam perjalanan saya di sana ada sesuatu yang menyita perhatian dan membuat kami duduk berjam-jam. Sekumpulan pria Afro American dalam pakaian unik ala panglima perang jaman dahulu sedang melakukan demonstrasi. Mereka rupanya berasal dari kelompok yahudi kulit hitam garis keras. Kami baru tahu kalau ada yang seperti ini. Mereka sedang berbicara lantang menghina ras kulit putih dan umat Kristiani pada umumnya. Saya terkesima, ini adalah siar kebencian, dan dilakukan di Times Square New York! Dan mereka terus menghina, menghujat, dengan suara menggelegar. Namun yang lebih menarik bagi saya adalah seorang pria kurus yang ada di dekat mereka. Ia mengacungkan poster bertuliskan LOL (laugh out loud) menunjuk pada para penyiar kebencian itu. Dan ia melakukannya sendiri saja. Sungguh berani. Dan ini berlangsung berjam –jam tanpa terjadi apa-apa. Saya sempat berbicara dengannya, rupanya ia tidak sengaja lewat dan mendengar siar kebencian itu dan memutuskan untuk ikut berdemonstrasi menyatakan apa yang mereka katakan adalah sampah. Terkadang ia berkata pada para pejalan yang lewat, “Live comedy, People!” Sungguh saya kagum. Saat demokrasi berjalan, kebebasan berekspresi terlindung oleh hukum. Saya teringat beberapa hari sebelumnya di Jakarta, FPI membubarkan diskusi buku di Salihara dan aparat hukum justru berada disisi mereka yang mengedepankan kekerasan. Membayangkannya saya menghela nafas sedih. Sebelum pergi saya menyalami si pria kurus dan mengatakan betapa ia sungguh pemberani.
Dan yang ketiga, menonton musikal ‘Evita’ di Broadway. Arip menentang habis rencana ini tapi saya katakan padanya, jika saya belum menontonnya, saya tak akan bisa meninggal dengan tenang. Dan itulah yang saya lakukan, melihat Elena Roger memerankan Eva Peron. Membeli tiket dengan harga yang artinya saya memerlukan belas kasihan Arip untuk sewa penginapan malam itu. Tapi di sudut teater itu, saya adalah anak yang kegirangan minta ampun. Melihat Elena Roger, Michael Cerveris, dan Ricky Martin menari dan menyanyikan lagu-lagu Andrew Lloyd Webber yang begitu indah. Ada kesempurnaan di setiap detil gerak dan tarikan suaranya. Tersampaikanlah gairah, kesedihan, ambisi, dan keputusasaan dari perempuan yang pada suatu masa menjadi perempuan paling berpengaruh di Argentina itu. Saya terkesima dengan kisah dan lagu-lagu musikal ini semenjak saya duduk di bangku SMA. Lagu seperti High Flying Adore atau “I’d be surprisingly good for you” selalu membuat saya termenung atau tersenyum. Dan hari itu saya melihatnya dalam versi terbaiknya. Di Broadway! Di akhir pertunjukan saya begitu terharu dan bertepuk tangan membabi buta. Saya mengirim pesan teks kepada Gypsytoes mengatakan, “I’ll die a happy man..”
Sebelum meninggalkan New York kami sepakat untuk sedikit minum-minum di bar nya para New Yorker pinggiran. Jadilah kami berjalan agak ke pinggir dan masuk ke sebuah bar kecil dan minum bir. Bar kecil dengan orang tua yang setengah mabuk, dua perempuan yang mampir untuk minum sebentar sebelum pergi ke sebuah pesta di daerah Brooklyn, bartender perempuan yang tampak perkasa, dan mesin pemutar musik yang memainkan lagu tua ‘Moon River’. Kebetulan sekali saya sangat menyukai lagu ini. Saya dan Arip bersulang lalu berkata riang, “Gile men! Kita beneran di New York!!”
Twosocks, May 2012
Udah denger cerita absurdnya Arip ttg “business” trip kalian ke US, trutama yg bronx.. gileee bahkan ke amrik aja berduaan! so sweett!
haha it was absurd indeed. Btw, selamat Ghi, sebentar lagi jadi Ibu. Will still keep the traveling spirit won’t you?
2 be honest can’t wait to take the baby traveling –> kalo kata ayahnya asal ada duitnya ajaaaa hohohooo
Love this one so much! Nice writing and so funny. dan si pria LOL itu, top abis!
Thanks Tania. Yeah he is super awesome. ada yang berpikir melakukan hal yang sama saat FPI berdemo?
Ted, sayang loe nggak berhasil ngajak Arip ikut nonton “Evita”. Mungkin kalau kalian di sana pas “Rent” masih main, itu lebih cocok buat Arip.
“Mereka rupanya berasal dari kelompok Yahudi kulit hitam garis keras…” <– gue juga baru tahu ada yang kayak gini.
Haha Per, kalau soal beginian sih, hopeless si Arip. dan soal kelompok garis keras ini, yap, gw pun kaget2 nemunya. ini site mereka http://www.isupk.com serem juga.
seru ceritanya, keep writing
thanks Arsa 🙂
Muantaaaaaab gan tulisannye, berkarya terus, minggu 3 juni kite mancing yuk di Merak sonoan dikit……..one more time: “gile man! kite pernah ke New York”
Arip Syaman himself! minggu itu gw akan ada di Bima. tapi saat gw, elo dan ginting lagi in town, mari mancing. one classic fishing trip!
Ted, you have no idea how this silly note lifted my feeling up! Thanks Man!
Haha glad to know this made your day and lifted your feeling up. Hope it stays that way 🙂 See you around Michelle!
I love you, LOL-man!
he is super awesome! Btw, one cool blog you have there Elsara :).
Ted… lucuuu banget sih ceritanya! gue tadi geli sendiri bacanya (pas lg nongkrong sendirian pula nih). Udah lama ga liat blog ini, salam kenal buat gypsytoes, seru baca jalan-jalan kalian 🙂
santi santobri! lama juga elo tidak tampak beredar. trims ya, senang bisa menghibur saat elo sedang bengong. Tar gw salamin ke Gypsytoes, ni bentar lagi gw mau ketemu dia
Gila! Keren banget, bang Teddy! I wonder, how do you manage your time between works and these amazing trips? I envy you, really! 😀
Keep writing, keep walking! 😀
works? what works? hahaha. Selalu ada weekend dan sisa cuti yg segambreng. oh dan sedikit berbuat dosa (ngaku2 sakit hehe). thanks ya Andre!
V. funny. 🙂 made me smile.
Glad you like it, Andine. I enjoy reading through your blog posts today 🙂
Ow.. thank you for putting the effort in reading my posts. It is not as entertaining or as well written as yours, but I am trying to improve. 🙂
bhuahahaha… gue ngakak pas baca bagian Arip ngulang kalimat Teddy plek-ketiplek! Didn’t see it coming at all! :))))
Arip Syaman memang mengidolakan gw plek-ketiplek. Haha
Pingback: Sua Pelancong 6: Travel & Music | suapelancong