Gunung Sumbing, saat kami mengunjunginya, sedang tidak menjadi tuan rumah yang repot-repot bersolek. Tak terlihat matahari terbit, padang rumput di kejauhan, dan semacamnya. Ia berkabut dan nyaris selalu hujan. Ia bahkan seperti tuan rumah yang mengunci pintu depan dan menyuruh si tamu lompat pagar samping lalu jalan jongkok di bawah jemuran yang airnya masih menetes. Jalur baru desa Garung yang lebih landai dan pendek telah dipenuhi rombongan pendaki. Pos perizinan pendakian meminta kami naik lewat jalur lama untuk menghindari resiko kehabisan tempat berkemah. Jalur ini sedikit lebih terjal dan panjang. Hujan, kabut, serta jalur yang lebih terjal. Lengkap sudah.
Saya yang sehari menjelang pendakian sedikit demam, sempat kurang percaya diri untuk dapat mencapai puncak. Terkutuklah Arip Syaman yang batal ikut. Ia mencabut jaminan terhindarnya saya dari predikat pendaki yang paling gemar tercecer. Tiga kawan mendaki lain semuanya begitu muda dan bugar. Irma adalah pelari marathon yang catatan waktunya selalu bikin saya rendah diri. Simon adalah anggota termuda yang saking berlebihnya energi yang dimiliki sempat naik ke pohon dan menyamar menjadi kera hanya untuk mengejutkan kami yang melintas kemudian. Dan Steven, ia sanggup mencapai puncak dengan enteng saat malam sebelumnya main basket gila-gilaan. Saya tahu kelompok main basketnya. Mereka gerombolan yang datang ke lapangan tidak untuk bermain basket tapi untuk saling jagal dan cari ribut. Sampai empat tahun lalu saya terkadang ikut bermain bersama mereka. Hingga sebuah malam sial saat tangan saya terkilir karena ditabrak seseorang yang lebih menyerupai truk gandeng dibandingkan manusia beradab.
Dan begitulah adanya. Tanjakan yang licin dan terus menerus beberapa kali bikin saya keteteran. Di sebuah jalur yang sempit tepat di bibir jurang, sakit di lutut kanan agak kambuh dan saya harus mengendap-endap dengan kaki gemetar. Saat itu Irma dan Steven menjaga sambil memberi semangat. Saya berjalan dengan perasaan rapuh yang dimiliki seorang dengan usia seratus tahun.
Namun ternyata, selain masalah lutut di jalanan sempit itu, kebugaran saya masih cukup untuk dapat mencapai puncak. Walau licin dan konsisten menanjak, ia bukan pendakian yang berlarut-larut tanpa ujung. Kami mencapai puncak tepat pada waktu matahari terbit. Matahari yang tertutup awan itu. Lewat tengah hari, kami sudah kembali di kaki gunung. Seperti pendakian lain, ia tetap memberi pertemanan yang hangat, seberkabut apapun medan yang dilalui. Pada tanjakan-tanjakan yang melelahkan, Irma dan Simon saling memompa semangat dengan menyanyikan lagu rakyat Prancis yang berkisah tentang sebuah penjara di Nantes. Konon putri kepala penjara jatuh cinta kepada seorang terpidana mati. Si putri lantas mencuri kunci dari ayahnya dan membebaskan sang kekasih. Di beberapa bagian lagu diperdengarkan suara-suara meraung yang aneh. Kata Simon, itu adalah lolongan yang selalu terdengar tiap tengah malam di penjara tua itu. Begitu kurang lebih.
Seperti perjalanan panjang lain, berjalan setapak demi setapak di tengah hutan juga membuatmu memikirkan hal-hal yang jarang kau pikirkan di situasi lain. Steven tiba-tiba muncul dengan ide kalau dia membuat dan menjual jilbab khusus mendaki, mungkin tak butuh waktu lama untuknya jadi saudagar. Irma, yang jelas tak berjilbab, sempat menyambut dengan berjanji akan membeli produk itu dan memakainya naik gunung. Atas nama loyalitas, begitu dia bilang. Tentu semua ini adalah pemikiran yang muncul sambil lalu dan tidak hendak dibikin serius.
Perbincangan di antara istirahat juga adalah hal yang disambut baik selain kesempatan meluruskan kaki. Saya ingat bagaimana Simon, mahasiswa pertukaran Prancis Singapura, berkeluh kesah betapa mahasiswa-mahasiswa Singapura betul-betul menghajar pantatnya. Di Prancis, dia bilang, dia mahasiswa informatika yang cukup pintar. Tapi membandingkan kemampuannya dengan mahasiswa Singapura seperti membandingkan kemampuan seorang profesor dengan anak kecil yang masih gemar menempelkan daki hidung di bawah meja. Para mahasiswa Singapura itu, juga ibu-ibu mereka yang demikian obsesif, seperti tak kenal lelah untuk membuktikan betapa bodohnya dia. Sehari sesudah pendakian, Simon akan menghadapi ujian semester. Ia mengaku tak punya harapan. Kami katakan padanya, mendaki gunung sebelum ujian mungkin bisa dipikirkan sebagai sebuah penjelasan kenapa bokongnya ditendang mahasiswa-mahasiswa Singapura itu.
Sementara itu, kawan kami Steven sedang ada di persimpangan. Sehari sebelum mendaki ia baru saja berhenti dari tempatnya bekerja. Ia belum memutuskan apa yang dia mau bikin sesudah ini. Yang ia tahu, sehari sesudah pendakian ia akan jalan-jalan ke Halmahera Utara. Entah apa yang akan dilakukan di sana, ia belum tahu persis. Ia akan putar-putar saja, begitu katanya. Steven memang jenis yang gemar berbuat seperti ini. Dulu, ia pernah luntang luntung ke pulau Buru. Di sana ia menginap di rumah seorang penduduk yang ia temui di sebuah warung nasi. Sampai suatu hari ia diusir adik si tuan rumah. Si adik ini rupanya seorang tentara, dan tindak tanduk Steven membuat pak tentara mencurigainya sebagai mata-mata dari Amerika.
Dengan bercanda kami membuat skenario hidup Steven jika ia tak kunjung menemukan pekerjaan di Indonesia. Ia akan kembali ke kampung halamannya, sebuah kota kecil di Amerika bernama Eureka, bekerja di pabrik suku cadang, menikah dengan gadis setempat bernama, katakanlah, Mary Lou, menjadi buncit dan gemar menggerutu, dan tak pernah keluar lagi sampai riwayatnya tamat. Membayangkan itu Steven cengengesan dan mengundang kami untuk sesekali mampir ke Eureka. Omong-omong tentang percintaan, di salah satu pemberhentian kami bertanya pada Steven pernahkah ia mendepak perempuan dengan kalimat paling klise yang ada di dunia perkencanan. Kau tahu, kalimat seperti ini, “It’s not you, it’s me..” Steven berbicara putar-putar sebelum tiba pada pengakuan bahwa ia pernah melakukannya.
Gunung Sumbing sedang tidak bersolek saat itu. Ia bahkan meminta kami mengendap-endap di bawah tiang jemuran. Namun, ia tetap akan dikenang sebagai pendakian yang gembira. Berjalan di hutan, hanya kau, alam, dan kawan-kawan dekat, akan tetap menciptakan kenangan manis. Dan saat puncak dicapai, kau tetap akan kegirangan, walau matahari tak sedikit pun tampak. Seperti serombongan mahasiswa yang kami lihat melompat-lompat girang saat mencapai puncak. Mereka berteriak-teriak segala tentang betapa mereka cinta Indonesia. Baiklah, kami tentu tidak seterbawa emosi seperti itu. Kami bukan jenis yang kepengin upacara dan menghormat bendera saat mencapai puncak gunung, tapi tingkat girangnya kurang lebih samalah.
Sehari sesudah pendakian kami berpisah. Simon kembali ke Singapura untuk ujian semester. Steven ke Halmahera Utara untuk urusan tak tentu arahnya. Irma juga kembali ke Singapura dan tetap segar bugar. Ia sudah omong-omong soal keinginannya ikut marathon di Bali. Sementara saya, saya kembali ke Jakarta dengan membayangkan bagaimana seminggu ke depan saya akan berjalan terpincang-pincang dan meringis setiap kali melihat tangga. Umur, kau tahu, terkadang memang bicara banyak.
Twosocks
Mendaki itu sama dengan menapaki jejak kaki diantara rerumputan dan batu-batu, serta menhirup udara alam yang lembut, serta menikmati matahari yang hangat menyapa kalbu
Waduh. Bung Salman ini puitis betul 😀
Walaupun berat akhirnya nyampai puncak juga, setiap pendakian pasti selalu memuaskan hati
Iya betul. Bikin ketagihan ya?
Mas tulisannya bagus benar. Seolah terbuai-buai membacanya 🙂
Waduh, terima kasih Evi, sudah membaca tulisannya 🙂
Akhirnya baca lagi tulisannya twosocks 🙂
Selalu suka, karena mengalir gitu. Bacanya pelan-pelan biar gak cepet selesai 😀
Waah terima kasih Dita, senang mengetahui kamu menyukai tulisan yang ini. Ini perjalanan yang menyenangkan, menuliskannya pun gembira 😀
Seumur-umur mendaki Gunung baru sekali, bulan lalu di Gunung Merbabu 🙂
Seru 🙂 ada rencana pengen lagi ke gunung, tepatnya gunung Sumbing atau Sindoro
Selamat ya Rullah untuk gunung pertamanya. Sukses untuk Sindoro Sumbing 🙂
LOL, Steven jadi bahan tulisan ini :))
Hehe iya di gunung si Steven ini lumayan bawel juga 😀
Two socks, terima kasih atas tulisannya, senang hati ini membaca tulisan ini sambil mengenang wiken yang indah itu. Ternyata lagu folk Perancis itu susah dan panjang sekali ya? Sepertinya kita harus pergi ke Kerinci supaya gw bisa belajar syair2 berikutnya… Dans le prison de Nantes, lun dididi dan, lundilundilundi dididi dan, dans le prison de Nantes, ‘y avait un prisonnier, ‘y avait un prisonnier…
Irm
Sebelum hapal lengkap, belum boleh turun Kerinci, haha
Wah, medan terjal itu hampir sama dengan jalur Selo yang kemarin aku lalui pas menuruni Merbabu. Nggak berbatu-batu, tapi curam. Aku sampai frustasi karena sepanjang jalan harus menggunakan otot-otot paha untuk menahan gravitasi, bahkan ada saat-saat harus merosot karena udah males jalan pakai kaki.
Naik gunung emang untung-untungan, mas. Pas aku ke Prau, paginya juga berkabut dan mendung. Nggak dapet sunrise sama sekali. Bahkan sekedar semburat keemasan pun nggak ada 😦
Memang benar. Puncak adalah bonus. It’s the climb.
Wah senang membuatmu ikut bernostalgia, Matius. Dulu, saat saya ke Merbabu, sepanjang jalan juga diguyur hujan terus 😀
Aku cuma kehujanan dari pos 2 sampai medan berbatu-batu itu. Di puncak Kentheng Songo udah reda, bisa dapet panorama 🙂
ah, teddy, di gunung gerutumu berkurang sedikit, ya! senang membaca tulisanmu! 🙂
Haha yang penggerutu itu alter ego yang muncul sesukanya saja 😀
Tulisannya memanjakan pikiran saya. Rapi, mengalir, dan memberi pandangan baru. Secara resmi jadi fansmu! Salam kenal 🙂
Wah terima kasih banyak Maharsi. Senang mengetahui kamu menyukai tulisan ini. Salam kenal. Kita punya beberapa kenalan yang sama sepertinya 🙂
Saya gak suka travelling, apalagi naik gunung. Tapi, tulisannya apik sekali. Jadi senaaaanggggg bacanya 🙂
Salam saya untuk Maesy, ya 😀
Terima kasih banyak Feni 🙂 Salam manis dari Maesy untukmu.
artikel yang sangat seru, ane ikut berimajinasi ini seperti berada disana..
Hey, new comer here. dan artikel pertama kali yang saya baca adalah artikel ini karena langsung kepincut sama kalimat-kalimat awalnya. Bagus! 🙂 now where’s the following button?
Ola Nina! Salam kenal. Terima kasih ya sudah mampir. Semoga senang juga membaca tulisan-tulisan kami yang lain 🙂
ah. Teddy bikin aku iri. udah mendaki gunung mana saja, kamu? :))) oh iya, berapa jam waktu yang kalian perlukan untuk bisa sampai ke puncak? setiap perjalanan memang rasanya lebih menyenangkan jika dilakukan bersama kawan, ya. 🙂
mampir ke blog #senjamoktika ya -> http://senjamoktika.com/ dan tinggalkan komentar kalau berkenan 🙂
Ah Sefiin. Justru kemudaan dan tempat-tempat yang kamu datangi yang selalu bikin aku iri
:))) kalau begitu, mungkin lain kali kita harus datang ke tempat yang sama bersama-sama..dengan pasangan sadewa dan pasangan kak vira-dian :)))
haha ide bagus. Klab romansa, begitu kami menyebutnya 😀
asyik! ditunggu undangan berikutnya dari Klab Romansa, ya! 😉
Ini bagus sekali, Twosocks!
Terima kasih, Justin Larissa!
Kenapa aku baru menemukan tulisan-tulisan ini? :’)
Jadi teringat, akhir Agustus kemarin bersama tiga teman pergi mendaki Sindoro.
Yang kami alami persis sekali waktu kalian mendaki Sumbing.
Rain all the way from the bottom to the top.
Tapi dapat bonus penampakan Sumbing yang gagah dari pos 4 via jalur Kledung.
Seru sekali!
Trims tulisan-tulisan nya 🙂
Ah, terima kasih svoytruffle sudah membaca tulisan-tulisan di sini 🙂