comment 0

Ia yang Disayang Setiap Generasi

Terik di Jepara sedang membakar bagai panggangan yang menyala penuh. Bagian belakang leher kami terasa seperti tertempel bara. Kami duduk di bangku taman di seberang Museum Kartini, menyegarkan diri dengan susu dingin dari penjaja keliling. Di sini pohon-pohon tumbuh rindang dan angin bertiup semilir. Sepanjang pagi hingga siang itu kami menyusuri tanah yang mengisi masa kecil dan remaja Kartini itu. Melihat halaman belakang rumah Bupati Jepara di mana dulu Kartini membangun sekolahnya yang pertama, melihat kamar tempatnya dipingit, hingga melihat foto-foto tua hitam putih yang penuh kenangan di museumnya. Di antara teduhnya pohon-pohon taman, dengan tenggorokan yang tersegarkan oleh kucuran minuman dingin, kami berbicara mengenai sudut-sudut kota Jepara pada masa yang lebih dari seratus tahun lalu itu. Kami membayangkan saat Kartini menuliskan surat-suratnya di antara temaram lampu minyak, saat ia beristirahat sesudah hari pengajaran yang antusias, saat ia bersedih akan segala ketidakmungkinan yang membelenggu cita-cita nan besarnya, atau saat dengan tekun ia membaca buku Max Havelaar di sudut ruang pingitnya. Itulah hari-hari yang dikenang, dibicarakan, diperdebatkan untuk waktu yang begitu lama sesudahnya.

“Aku selalu mengagumi perempuan-perempuan muda yang keras hati,” kata Gypsytoes. “Saat itu ia ada di lingkungan yang begitu feodal, di mana garis keturunan menentukan derajatmu, di mana perempuan ditempatkan jauh di belakang. Walau tertatih-tatih, ia terus berusaha menggugat.”

Kami teringat akan pembicaraan dengan Riza Khairul Anwar, penjaga Museum Kartini Jepara, yang bercerita bahwa Kartini adalah sosok perempuan muda yang selalu menggugat berbagai tradisi feodal. Ia tak memperbolehkan adiknya menyembah atau berjalan jongkok di dekatnya. Saat menikah pun ia menolak untuk berjongkok dan menyembah sang suami. Sikap-sikap yang begitu tak lazim ditunjukkan seorang perempuan pada zamannya. Cita-citanya akan pendidikan bagi perempuan dan persamaan derajat sesama manusia telah menjadikannya sosok yang begitu dicintai jauh sesudah ia tiada.

“Ia perempuan pemberani bercita-cita besar yang kemudian meninggal pada usia belia. Ia bisa menjadi sosok yang begitu menginspirasi. Kemudaan, idealisme dan kekerasan hatinya akan dengan mudah membuatnya dicintai siapapun. Tak heran semua berlomba menjadikannya ikon,” tukas Afra.

Kami lantas berbicara bagaimana kecintaan masyarakat akan Kartini terus dipupuk. Tidak hanya oleh pemerintah kolonial, namun juga pejuang kemerdekaan, pemerintah orde lama, hingga orde baru. Sosoknya direka ulang, disunting, dibangun oleh semua pihak, semua generasi. Pada masa kolonial, ia dijadikan ikon politik etis dalam bidang pendidikan. Saat itu ia ditonjolkan sebagai perempuan muda pribumi yang berpengetahuan luas, mencintai bacaan, dan menginginkan kemajuan pendidikan untuk kaumnya.

Melalui tulisan-tulisannya di beberapa koran, Kartini sesungguhnya telah mulai dikenal masyarakat Belanda sebelum akhirnya meninggal dunia. Namun baru sesudah buku kumpulan suratnya diterbitkan J.H. Abendanon tahun 1911-lah, narasi mengenai Kartini terus membubung. Dua tahun sesudah terbitnya buku itu, berdirilah Yayasan Kartini oleh kelompok masyarakat Belanda yang menaruh perhatian akan kemajuan pendidikan di tanah jajahan. Yayasan ini mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Acara pendiriannya diliput besar-besaran di Belanda. Sejarawan Zen R.S. menuliskan bahwa surat kabar Der Leeuwarder Courant memuat tentang sekolah ini dalam tulisan berjudul “Kartini Scholen”. Tulisan yang mengisi penuh halaman depan koran itu. Gegap gempita kecintaan akan Kartini pun menjalar hingga ke Hindia Belanda. Kelompok-kelompok perempuan pergerakan ikut menjunjung Kartini sebagai inspirasi bangkitnya kaum perempuan. Dan narasi tentang Kartini terus didukung dengan besar-besaran oleh pemerintah Belanda. Buku-bukunya terus diterbitkan dan diperbincangkan. Melalui sosok Kartini, pemerintah Belanda mengatakan pada dunia betapa mereka telah berperan besar menciptakan pribadi-pribadi tercerahkan di Hindia Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, narasi akan mulianya Kartini tidak berubah. Berbeda dengan narasi tokoh-tokoh lain yang bisa berubah bersama dengan pemindahan kekuasaan, Kartini tetap sosok yang dicintai. Jika Belanda menganggap Van den Bosch sebagai salah satu penyelamat kerajaan Belanda dari kebangkrutan, Indonesia menganggapnya penghisap darah dengan kebijakan tanam paksanya. Jika Belanda menganggap Diponegoro pemberontak, Indonesia menggadang-gadangnya sebagai pahlawan. Namun Kartini yang dianggap anak emas oleh Belanda, tetap merupakan panutan bagi Indonesia. Ia adalah perempuan pencerah, ia pendobrak kegelapan kaum perempuan, ia seorang penebar inspirasi.

“Kalian tahu,“ ujar Gypsytoes, “di Kongres Perempuan Nasional beberapa bulan sesudah kemerdekaan, para pesertanya berkali-kali menyanjung nama Kartini dalam pidatonya. Bulan April 1946 peringatan hari Kartini juga sudah mulai dilakukan.”

“Iya tadi aku juga dengar soal itu dari Pak Riza. Narasinya juga sama, Kartini pejuang hak pendidikan perempuan,“ kata saya sambil minum dari plastik susu dingin kedua. “Tapi baru-baru ini aku membaca dari tulisan Zen R.S. bahwa modifikasi terhadap narasi Kartini dilakukan gerakan kiri di Indonesia yang menonjolkan narasi Kartini sebagai tokoh anti feodalisme dan anti kolonialisme. “

Adalah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Gerwis (Gerakan Wanita Sadar) yang berafiliasi dengan PKI yang tanpa kenal lelah berkampanye betapa Kartini adalah tokoh yang tak hanya berjuang untuk hak pendidikan kaum perempuan, namun juga untuk tergerusnya budaya feodalisme dalam masyarakat Indonesia yang demikian kental. Ia juga disebut tokoh yang bersuara untuk enyahnya segala bentuk kolonialisme. Begitu teladannya ia, majalah perempuan yang diterbitkan Gerwani pun mengambil nama “Api Kartini”.

Gerakan kiri Indonesia benar-benar berusaha untuk mengambil narasi Kartini ini sampai akhirnya usaha untuk menjunjung tinggi perjuangan Kartini sebagai tokoh pendidikan, anti feodalisme, dan anti kolonialisme mencapai puncaknya pada tahun 1964. Saat itulah Kartini resmi menjadi seorang pahlawan nasional. Narasi Kartini sebagai tokoh anti feodalisme pun terus diperkuat. Pramoedya Ananta Toer, tokoh penting Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) memberi judul biografi Kartini yang ia tulis dengan pesan anti feodalisme yang begitu kuat, “Panggil Aku Kartini Saja.” Di situlah pemikiran Kartini yang tidak menyukai segala atribut feodal yang menciptakan kasta-kasta dalam masyarakat itu begitu ditonjolkan. Salah satu ucapan Kartini yang begitu kuat akan hal ini terkutip di sana, “Tiada yang lebih gila dan bodoh daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya itu.”  Tentu ini adalah penggambaran Kartini yang jauh lebih tepat daripada terjemahan bahasa Inggris kumpulan suratnya yang diberi judul “Letters From A Javanese Princess”  yang rasanya kurang pas karena sosok KArtini justru tidak menyukai segala gelar kebangsawanan itu.  Pada masa ini,  lagu mengenai Kartini pun yang saat ditulis WR Soepratman berlirik “Raden Ajeng Kartini…” diubah menjadi “Ibu kita Kartini…” Hal ini untuk menghilangkan unsur feodal pada narasi Kartini.

“Kupikir-pikir, inilah masa di mana narasi mengenai Kartini dituturkan dengan cara yang paling lengkap,” tukas Fani.

Kami semua mengangguk sepakat.

Itulah masa di mana Kartini adalah perempuan cerdas yang berjuang untuk hak pendidikan, persamaan derajat, dan juga hilangnya penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Dalam situasi di mana perempuan selalu pada posisi inferior, inilah narasi yang diperlukan. Kartini diteladani sebagai sosok yang begitu sadar politik. Sungguh kontras dengan bagaimana narasi Kartini begitu direduksi setelah komunis mengalamai kehancurannya di Indonesia.

Bersamaan dengan tergerusnya PKI dan juga Gerwani, gerakan perempuan pun dihalau paksa untuk kembali ke dalam rumah.

“Jika sebelumnya peran politik perempuan coba untuk terus didorong, pada masa orde baru perempuan dikembalikan ke dapur,” ujar Gypsytoes, kawan yang selalu berapi-api saat berbicara soal kesetaraan gender.

Pemerintah Orde Baru memang tidak meniadakan Kartini. Ia masih tetap dicintai. Ia tetap pahlawan nasional, tidak seperti nama Tan Malaka yang kepahlawanannya dihilangkan. Namun pada masa itu, tidak ada lagi gembar gembor akan pemikirannya yang menginspirasi tentang persamaan derajat manusia. Tidak ada lagi kisah tentang Kartini sebagai simbol perempuan yang begitu sadar politik. Keteladanan Kartini terbatas sebagai Ibu yang peduli pada isu pendidikan perempuan semata. Bahkan lebih sering, penonjolan akan ketokohannya kerap sebatas simbol seorang seorang Ibu yang berkebaya dan bersanggul saja. Seorang Ibu yang jinak. Maka tak akan kita jumpai pada masa orde baru perayaan hari Kartini yang benar-benar menghormati apa yang ada di kepalanya, namun terbatas pada apa yang dikenakannya. Ini sejalan dengan bagaimana pemerintah orde baru memang me”rumah”kan perempuan. Sebuah rezim yang meletakkan perempuan dalam konteks pendamping suami, pengasuh anak, dan pengurus rumah tangga belaka. Maka jadilah hari lahir Kartini tetap diperingati setiap tahun, namun hanya sebatas pada lomba bersanggul, berkebaya, atau masak-memasak.

“Aku jadi berpikir, Kartini ini mirip seperti Katniss Everdeen di cerita Hunger Games, ya?” kata Indah. “Ia dijadikan simbol oleh berbagai pihak untuk kepentingannya masing-masing.”

Kami tertawa sekaligus miris juga dengan analogi ini. Bersama perjalanan panjang bangsa ini, Kartini yang selalu dicinta dituturkan dengan cara-cara yang selalu berbeda, dengan kepentingannya masing-masing.

“Aku membayangkan, tentu perasaan Kartini akan semrawut juga,” kata saya. “Ia mungkin akan senang betapa hingga sekarang ia tetap dicintai. Namun ia tentu juga bersedih betapa sekarang ia tak jauh lebih dari simbol ibu berkebaya dan bersanggul. Tentu ia merasa nelangsa saat khalayak tidak lagi menghargainya atas apa yang ada di kepalanya. Padahal inilah hal yang juga selalu diperjuangkannya, agar seseorang dihormati bukan dari bagaimana ia tampil atau dari mana ia dilahirkan, namun dari apa yang ada di kepalanya dan apa yang diperbuatnya dalam hidup.”

Sore menjelang di kota Jepara. Kami semua menikmati perjalanan ini. Saat kami membaca tulisan-tulisan Kartini, mengunjungi tempat-tempat bersejarahnya, mendiskusikan pemikirannya, hingga membicarakan bagaimana orang memandangnya. Perjalanan hendak kami lanjutkan ke Pantai Bandengan, tempat di mana Kartini senang menghabiskan sore harinya. Matahari terbenam dengan indah di sana, begitu yang kami dengar. Jadi beranjaklah kami, menjauhi taman kota di depan museum Kartini itu. Menuju matahari terbenam di Pantai Bandengan.

Twosocks

Catatan ini adalah artikel keempat dari Seri Tur Kartini, inisiatif kolaborasi The Dusty Sneakers dan Pamflet, organisasi anak muda yang berbasis di Jakarta, untuk mengenal sosok dan pemikiran Kartini lebih jauh dengan melakukan perjalanan ke Jepara dan Rembang. Kumpulan catatan perjalanan Tur Kartini dapat diunduh di sini.

Leave a comment